Kamis, 11 Desember 2008

Pemuda yang Bangkit dan Bersumpah!

Putu Wijaya dalam tulisannya “Antara Sumpah dan Soempah” di kolom Bahasa! Majalah Tempo edisi 27 Oktober-2 November 2008, secara menarik membedakan “sumpah” dalam konteks Soempah Pemoeda dan Sumpah Pemuda. Menurutnya, sumpah di dalam Soempah Pemoeda adalah sebuah peristiwa dahsyat, sakral dan transedental. Sumpah di dalam Soempah Pemoeda (1928) merupakan tekad sekaligus ancaman agar tidak ada manusia Indonesia yang berani melanggar persatuan yang diperlukan untuk merengut kemerdekaan. Sedangkan sumpah di dalam Sumpah Pemuda saat ini merupakan sebuah kegiatan seremonial dan terapi psikologis untuk mengatasi segala kegalauan. Seremoni menjadi penting karena dapat mendamaikan perbedaan sesuai slogan: Bhineka Tunggal Ika. Setidaknya inilah realitas yang berhasil ditangkap Putu Wijaya.

Pemaknaan serupa juga didapat pada perayaan hari bersejarah Indonesia lainnya. Seperti halnya sumpah di dalam Soempah Pemoeda (1928), berdirinya Boedi Oetama (1908), Proklamasi Indonesia (1945) dan Reformasi (1998) hanya ada di masa lalu, dan memiliki makna baginya di masa lalu. Sedangkan yang ada di masa sekarang hanyalah seremoni tentang masa lampau. Pembelajaran sejarah, bahkan di perguruan tinggi, juga memperlakukan masa lalu sebagai kenangan romantis dan heroik, semata-mata hanya untuk mempertahankan semangat persatuan dalam tataran psikis. Dengan demikian, tidak ada bedanya “sejarah” dengan dongeng pengantar tidur yang juga mampu menanamkan nilai-nilai pada manusia.

Pemaknaan terhadap sejarah Indonesia selama ini hanya melihat puncak-puncak peristiwa, yang sebenarnya dihasilnya melalui proses panjang yang saling terkait. Masyarakat umum hanya mengetahui 20 Mei 1908 sebagai hari berdirinya Budi Utomo, mengetahui isi sumpah pemuda dan Pancasila. Bahkan Reformasi 1998 hanya diidentikkan dengan gerakan mahasiswa yang berhasil menggulingkan Presiden Soeharto. Apakah mungkin Budi Utomo, Sumpah Pemuda, Pancasila, hingga Reformasi terjadi seketika itu saja, seperti jentikan jemari? Peristiwa-peristiwa yang hanya diceritakan “akhirnya” pada saatnya akan dilupakan dan tidak dihargai.

Kebangkitan Nasional dan Sumpah Pemuda
Perayaan 100 tahun Kebangkitan Nasional pada 20 Mei 2008 diadakan secara besar-besaran. Slogan yang tertera dalam panji-panji besar di setiap bagian jalan mengajak masyarakat untuk bangkit dari keterpurukan. Pemerintah juga menyatakan optimis Indonesia akan bangkit dan mampu mengatasi masalah-masalahnya. Demikianlah 2008! Bagi penulis pribadi, seratus tahun yang lalu kebangkitan adalah kondisi setelah mati. Para pemuda, pelajar dari STOVIA telah menguburkan cara perjuangan fisik yang bersifat kedaerahan. Mereka bangkit dari kematian, dengan metode perjuangan yang baru, melalui organisasi massa. Tujuannya pun tidak lagi kedaerahan, melainkan demi meningkatkan derajat ”bangsa”.

Hasil dari menguburkan cara lama dan ”bangkit” dengan cara baru adalah lahirnya perjuangan melalui organisasi. Setelah Budi Utomo ada Sarekat Islam, Indische Partij, PNI, PKI dan kemudian juga berdiri Indonesia Muda hasil dari Kongres Pemuda II 27-28 Oktober 1928. Organisasi-organisasi tersebut melahirkan sejumlah tokoh yang di kemudian hari mengantarkan Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan. Sehingga pemilihan kata ”bangkit” pada masa lalu memang tepat melihat metode perjuangan benar-benar berubah drastis, seperti kelahiran kembali, bangkit dari kematian. Dengan demikian makna ”bangkit” dalam perayaan 100 tahun Kebangkitan Nasional harus dipertanyakan. Seharusnya kesediaan untuk bangkit harus diikuti dengan penguburan massal cara-cara lama yang dianggap gagal dan keinginan ”revolusioner” untuk bergerak merubah bangsa ke arah yang lebih sejahtera.

Sejarah sebaiknya tidak berhenti pada keberhasilan pemuda untuk bangkit. Tetapi juga mempertanyakan alasan mengapa para calon dokter STOVIA mau berpikir untuk bangsanya. Bukankah mereka adalah golongan pribumi yang terhormat latar belakangnya dan mapan secara ekonomi. Selain itu, bagaimana para pemuda bisa mendirikan organisasi, baik yang kooperatif dan non-kooperatif di masa pemerintahan kolonial. Berbedakah umur kita, mahasiswa Sanata Dharma, dengan Tirto Adi Suryo, Sang Pemula, pendiri Sarekat Prijaji, Sarekat Dagang Islam, jurnalis bangsa yang tulisannya bisa membuat pejabat Belanda ”muntah darah”? Tirto seumur dengan kita, dan dia sangat luar biasa.

28 Oktober 2008 juga diperingati sebagai 80 tahun Sumpah Pemuda. Pilihan untuk mengucapkan ”sumpah” dan bukannya ”janji” atau lainnya, merupakan keputusan bersejarah yang membawa pengaruh bagi masa yang akan datang. Pada 22 Desember 1928, Siti Sundari, sebagai tokoh perempuan (seumur juga dengan kita!) yang baru mengenal Bahasa Melayu (Indonesia) dalam pidatonya di Kongres Perempuan Indonesia memilih menggunakan bahasa persatuan tersebut, meskipun hasilnya masih terbata-bata dalam mengucapkan beberapa kosa kata. Setelah Kongres Pemuda II 1928, organisasi-organisasi yang bersifat kedaerahan juga dilebur menjadi Indonesia Muda. Demikian sumpah tersebut sangat besar pengaruh bagi gerakan pemuda.

Seperti halnya Kebangkitan Nasional, peringatan 80 tahun Sumpah Pemuda sebaiknya tidak hanya berteriak tentang satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa. Namun, juga merefleksikan alasan pemuda-pemuda yang saat itu terbagi dalam organisasi daerah seperti Jong Java, Jong Batak, Jong Celebes, Jong Ambon, dan lainnya, bersedia mengucapkan sumpah yang sakral dan tabu jika dilanggar. Bagaimana para pemuda, yang sebagian besar berumur 20 tahun, bahkan banyak juga yang dibawah 18 tahun, mampu mengadakan kongres di tengah pengawasan polisi intelijen Belanda. Selain itu, bagaimana para mahasiswa di Negeri Belanda dengan Perhimpunan Indonesia-nya mampu meluangkan waktu akademisnya dengan mengeluarkan Manifesto Politik 1925 yang menjadi embrio Sumpah Pemuda.

Semua itu bukan hanya perayaan kembang api, potong tumpeng atau festival diva ibu kota. Tetapi bagaimana kita berdialog dengan masa lalu, mencari alasan, mencari jawaban, menjadikannya inspirasi dan cambuk untuk melangkah ke masa depan. Pandangan umum yang menganggap sejarah hanya belajar tentang masa lalu, sudah harus dibuang ke tong sampah. Sejarah sesungguhnya ilmu tentang masa depan, ilmu yang berkehendak untuk tujuan ke depan. Hanya dalam prosesnya sejarah mencari jawaban dan kebijaksanaan dari masa lampau. Bukan hanya untuk mengetahui informasi di masa lalu, tapi juga mencari sebab mengapa saat ini bisa terjadi dan bagaimana masa depan akan terbentuk. Hal ini merupakan kesadaran sejarah berbasis kontinuitas.

M.S. Mitchel Vinco
Pendidikan Sejarah 2004

(Berusaha) Menemukan Tujuan Perjuangan Kaum Terdidik

A. Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan
Bagaimana ilmu pengetahuan lahir? Pada awalnya hanya ada ilmu filsafat, ilmu yang berusaha menjawab seluruh "kebingungan" atau rasa penasaran manusia akan alam dan dirinya sendiri. Dengan bertambahnya waktu, kehidupan manusia semakin kompleks, dan semakin banyak "tanda tanya" di benak manusia. Filsafat kemudian berkembang dan lahirlah ilmu-ilmu seperti: matematika, fisika, etika, bahasa, musik, arsitektur, dan seterusnya. Semua ilmu pengetahuan mempunyai satu tujuan sebagai jawaban teoritis dari persoalan hidup manusia. Sedangkan jawaban konkrit dari persoalan hidup manusia dinamakan teknik.

Pendidikan dapat diartikan sebagai sebuah sistem dimana pribadi dibentuk. Bertrand Russel menyatakan "...pendidikan dimaksud supaya manusia mencerminkan lingkungannya dengan tepat, lewat pengetahuan yang diperoleh dengan kecerdasan..." Schumacher mengatakan "pendidikan adalah usaha penyebaran nilai-nilai kehidupan sehingga pendidikan harus memberikan kemampuan hidup dan menginterpretasikan dunia". Driyarkara mengatakan pendidikan sebagai humanisasi yaitu "proses manusiawinya manusia berkat meningkatnya daya cipta, rasa dan karsa". Menurut Paolo Freire "peserta didik tidak dipahami sebagai objek yang digarap dan diisi. Namun, harus diterima sebagai subjek yang dilengkapi kemampuan unruk merubah realitas yang dihadapinya...".

Pendidikan dan ilmu pengetahuan sangat terkait. Ilmu pengetahuan dan teknik yang pada hakikatnya jawaban atas persoalan hidup, dibagikan pada generesai penerus melalui pendidikan. Sedangkan pendidikan, meningkatkan "kualitas" manusia dengan mencari ilmu pengetahuan (mempelajari dan menciptakan). Pendidikan tidak pernah berakhir karena persoalan manusia selalu berubah dan berkembang. Pendidikan dan ilmu pengetahuan akan selalu dibutuhkan untuk menjawab permasalahan hidup.

B. Realitas Pendidikan "Kita"
Inilah dunia yang disebut modern! Hampir setiap manusia Indonesia memiliki hand phone, sebagian mahasiswa Sanata Dharma memiliki komputer, beberapa di antaranya bahkan mempunyai televisi di samping komputer. Setiap tahun anak muda merongoh dompet untuk modifikasi sepeda motor, dugem (ajojing!), pesta miras, narkoba, dan tentunya shoping di mall atau butik. Beberapa langkah dari mahasiswa yang modern dan gaul ada fenomena menarik. Seorang ibu membakar tiga anaknya hingga tewas karena tidak mampu menanggung biaya hidup, kemudian sang ibu juga bunuh diri dengan minum racun. Seorang anak SD bunuh diri karena tidak mampu membeli buku dan membayar uang sekolah. Banyak siswa yang belajar di sekolah yang hampir ambruk, atau beratapkan terpal, sedangkan sekolah internasional bertularan berdiri seperti influenza.

Dalam bidang politik muncul UU Badan Hukum Pendidikan seperti yang disebutkan dari pasal 53 ayat 3 UU Sisdiknas No.20/2003 "BHP bersifat nirlaba dan dapat mengelola dana secara mandiri untuk memajukan satuan pendidikan.". Ini berarti mengharuskan intstitusi pendidikan untuk mampu memenuhi segala kebutuhan finansialnya. Akibatnya institusi pendidikan akan berusaha meningkatkan pendapatan, salah satu caranya dengan menaikkan iuran sekolah. Pemerintah kemudian menelurkan program BOS (Bantuan Operasional Sekolah) yang total angkanya milyaran. Namun, setelah dibagi, setiap sekolah di DIY hanya mendapat empat juta rupiah saja (Sumber: Kedaulatan Rakyat). BOS juga tidak memecahkan persoalan lainnya seperti kesenjangan sosial, biaya transportasi, biaya makan, perlengkapan sekolah dan lainnya. Akibatnya pilihan untuk siswa bekerja tetap saja besar.

Dalam dunia kampus (yang katanya intelektual), banyak mahasiswa membeli jasa "swasta" untuk membuat skripsi, di sudut-sudut jalan terpampang iklan-iklan pengolahan data penelitian kuantitatif, banyak mahasiswa yang juga menggunakan jasa pengetikan di rental, bahkan meminta "mas-mas" rental meringkaskan dan membuat makalah. Banyak lulusan perguruan tinggi yang tidak mampu melakukan penelitian ilmiah, tidak terampil dalam organisasi dan teamwork, dan tidak pecaya diri dengan ilmunya. Angka pengangguran semakin meningkat tiap tahunnya.
Benarkah kita memiliki ilmu pengetahuan? Benarkah kita mengalami pendidikan?

C. Analisa Sistem Pendidikan Indonesia
Paolo Freire mengungkapkan tiga hal yang harus diperhatikan dalam mengamati sistem pendidikan: 1) hubungan kurikulum dengan realita sosial; 2) hubungan kekuasaan dengan ilmu pengetahuan; 3) Tugas intelektual.

1) Hubungan kurikulum dengan Realita Sosial
Kurikulum merupakan mata pelajaran yang diajarkan di sekolah. Kurikulum menurut Saylor "the total effort of the school to boing about desired outcomes in scholl and out of school situations" Menurut William B. Ragan "kurikulum mempertemukan peserta didik dengan lingkungannya, agar dapat merealisasikan bakatnya dan menumbangkan jasanya untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat". Dengan demikian, kurikulum berisi jajaran ilmu pengetahuan yang membantu peserta didik memahami dirinya, lingkungannya, masalah yang ada di dalamnya dan turut memberi sumbangsih untuk pemecahannya. Hal ini selaras dengan hakikat pendidikan dan ilmu pengetahuan di atas.

Seharusnya, dengan adanya sarjana-sarjana (mereka yang mendapat pendidikan), mampu menjawab persoalan-persoalan di dalam masyarakat. Bukankah memang demikian hakikat ilmu pengetahuan, pendidikan dan kurikulum. Tidak sesuainya antara teori yang peserta didik dapat dengan realitas sosial menandakan ada sesuatu yang salah. Apakah itu?

2) Hubungan Kekuasaan dengan Ilmu Pengetahuan
Sudah menjadi sifat "kekuasaan" untuk selalu berkuasa, memegang dominasi dalam waktu selama mungkin. Salah satu alat penguasa untuk mempertahankan dominasinya adalah dengan mengendalikan ilmu pengetahuan. Pada awal abad ke-20 pemerintah kolonial Belanda menerapkan Politik Etis yaitu edukasi, irigasi dan imigrasi. Saat ini rakyat Indonesia boleh mengenyam pendidikan. Namun, ada udang di balik batu, ilmu pengetahuan yang diberikan untuk rakyat pribumi hanyalah ilmu pengetahuan "kacangan" yang menghasilkan pekerja-pekerja untuk kepentingan pemerintah kolonial sendiri. Jadilah "intelektual" Indonesia yang bekerja sebagai operasional mesin pabrik, juru tulis, dan pembantu administrasi.

Pada masa Pemerintahan Bung Karno, pendidikan difokuskan untuk tujuan mendukung pemerintah revolusioner. Ilmu pengetahuan yang didapat rakyat lebih "bermutu", tapi tetap saja kekuasaan menguasai ilmu pengetahuan. Sosialisasi ajaran Bung Karno berjalan gencar, rakyat di arahkan untuk anti "barat". Pada masa Orde Baru, ilmu pengetahuan yang diberikan hanya untuk indoktrinasi dan pemenuhan pasar liberal (tenaga kerja terkait industri). Sekarang ini untuk apa ilmu pengetahuan diberikan? Adakah kekuasaan yang mengendalikan kita (mahasiswa)?

3) Tugas Intelektual
Intelektual berasal dari kata intellect yang berarti "orang pandai" (bukan si mbah!). Intelektual menunjukkan orang-orang yang telah menguasai ilmu pengetahuan tertentu, dan juga berarti telah mengalami pendidikan. Seberapa banyak intelektual di Indonesia? Manusia Indonesia yang ada di Perguruan Tinggi hanya 1% dari seluruh penduduk Indonesia, berarti sekitar 2 juta-an. Jumlah profesor di Indonesia ada 2000-an (0,1% dari 2juta), dibandingkan dengan India 60.000, Kanada 2 juta dan Amerika Serikat belasan juta profesor.

Ternyata hanya segelintir saja yang menguasai ilmu pengetahuan, dan ironisnya segelintir itu lupa hakikat ilmu pengetahuan dan pendidikan. Para intelektual ini sibuk dengan mencari citra pribadi, dengan uang yang banyak dan terkenal, pokoknya "elu..elu..gue..gue!" dan "emang gue pikirin?!" Ilmu pengetahuan digunakan hanya untuk "menipu" manusia "bodoh" untuk membeli produknya, menggunakan jasanya, yang ujung-ujungnya duit dan semakin mencekik rakyat kebanyakan. Ke manakah mereka yang menguasai ilmu pengetahuan, yang memperoleh pendidikan? Atau ilmu pengetahuan ada hanya untuk menindas dan menguasai si lemah?

D. Ke Manakah Arah Kita?
Kita sebagai segelintir yang bisa mengalami pendidikan, seharusnya mampu menggunakan ilmu pengetahuan yang didapat melalui pendidikan sesuai hakikatnya. Pendidikan menurut Freire adalah "alat bagi pembebasan", maksudnya ialah pendidikan harus mampu menjawab persoalan manusia berupa penindasan, pengekangan dan penguasaan yang menderitakan rakyat. Ini bukan persoalan ikut menjadi miskin, ikut menjadi pengangguran, tidak memikirkan masa depan dan melupakan kuliah! Namun, ini persoalan tugas intelektual, tugas berpikir, tugas menciptakan "sesuatu". Jangan pikirkan seorang sarjana hanya berupa gelar saja (dan sudah bangga), tapi lebih dari itu adalah kemampuan ilmiah, kemampuan berpikir, kemampuan memecahkan masalah dan akhirnya bertindak.

Manfaatkanlah situasi anda sekarang sebagai mahasiswa, untuk belajar yang "sebenarnya", belajar dari realita, dari luka yang sakit, dari pengalaman yang sedih, dari penghianantan, dari canda tawa seoarang sahabat, dari kerja sama yang melelahkan, dan terus melakukan... jangan berhenti, jangan pernah puas tapi terimalah kenyataan dan ubahlah. Katakanlah pada diri anda "berilah saya keberanian untuk mengubah apa yang bisa saya ubah, berilah saya kerendahan hati untuk menerima apa yang tidak bisa saya ubah dan berilah saya kebijaksanaan untuk membedakannya!" Katakanlah dan kita akan membuat perubahan, tidak ada yang mampu menghadang kita.

Gang Mawar, 27-11-08
Pukul 22:40
M.S. Mitchel Vinco

Senin, 27 Oktober 2008

Hanya Pendapat: Tentang Sejarah Post-Modern!

Sejarah merupakan sebuah kajian keilmuan yang mempelajari peristiwa masa lalu. Meskipun demikian, sejarah tidak akan pernah menghadirkan peristiwa masa lalu tersebut ke masa sekarang. Sejarah hanya bisa “memungut” keping-keping fakta yang berhasil ditinggalkan peristiwa di waktu lampau. Keping-keping fakta yang tidak utuh, yang terkadang terpisah oleh tempat dan waktu, bahkan sekilas tampak tidak berhubungan. Selanjutnya menjadi tugas seorang sejarawan untuk merekontruksi, bahkan mendekontruksi fakta-fakta sisa masa lalu tersebut dalam sebuah narasi yang disebut historiografi.


Tidak berlebihan bila dikatakan interpretasi sejarah merupakan biang subyektifitas. Dalam proses interpretasi sejarawan berusaha menarik hubungan-hubungan dari fakta-fakta sejarah yang ada. Hubungan-hubungan tersebut merupakan celah kosong (missing link) dari peninggalan peristiwa masa lalu, yang berusaha dirasionalisasikan oleh sejarawan. Bahkan dengan hadirnya pendekatan ilmu sosial, tidak mengurangi subyektifitas dalam penulisan sejarah. Pilihan-pilihan teori dalam ilmu sosial yang demikian luasnya dan terus berkembang sepanjang waktu, hanya menjadikan sejarah lebih ilmiah, tapi tidak akan pernah menjadi obyektif.


Kondisi demikian sesuai dengan pendapat J. Huizinga yang menganggap sejarah sebagai “bentuk intelektual di mana suatu peradaban menceritakan dirinya sendiri mengenai masa lalunya.”1 Pendapat Huizinga ini dapat diartikan bahwa dalam penelitian sejarah yang dapat disepakati hanyalah dalam tataran metode, seperti yang tampak dalam kata “bentuk intelektual”. Sedangkan selanjutnya merupakan bentuk-bentuk interpretasi yang khas sesuai dengan semangat jaman sekarang dan terlebih lagi semangat sejarawan yang melakukannya.


Berkembangnya aliran post-modern, yang identik dengan ketidakpastian dan keragu-raguan, dalam filsafat dan kemudian sejarah justru menjadikan sejarah lebih “jujur” dalam tujuan penulisannya. Penelitian Hayden White, salah satu peletak dasar sejarah post-modern, dalam Metahistory (1973) mampu membedah kecenderungan dalam karya-karya para sejarawan.2 Sehingga dapat diketahui idealisme apa yang ada di balik sejarah yang ditulis sejarawan. Metode yang digunakan White memang secara terang-terangan menunjukkan adanya subyektifitas dalam penulisan sejarah. Namun, tidak berarti penulisan sejarah dapat disamakan dengan karya sastra. Penulisan sejarah tetap berpegang pada fakta yang tersisa dari masa lalu, sedangkan dalam sastra tidak diharuskan menggunakan fakta.


Fakta-fakta peninggalan sejarah, menurut pandangan sejarah post-modern, tidak dapat berdiri sendiri tanpa konteks yang bermakna. Jadi apa yang disebut ”konteks” yang dikontruksi untuk mengkontekstualisasi fakta-fakta pada akhirnya harus diimajinasikan atau diciptakan. Hanya tidak seperti fakta-fakta, konteks-konteks tidak pernah secara pasti ditemukan. Oleh sebab itu, agar semua kisah sejarah itu bermakna, maka harus melibatkan hubungan-hubungan bagian ke seluruhan (part-to-whole) atau seluruh ke bagian (whole-to-part).3 Hubungan-hubungan tersebut, seperti telah disebut di atas, harus diciptakan. Sehingga dalam hal ini sangat mengandung subyektifitas.


Salah satu ciri khas filsafat post-modern dan kemudian sejarah post-modern adalah dekontruksi. Kebalikan dengan rekontruksi yang berusaha menarik makna yang terkandung dalam suatu peristiwa, dekontruksi berusaha memberi makna dalam suatu peristiwa. Ahli filsafat sejarah Perancis, Philip Carrard berkata ”karya sejarah... menimbang informasi yang ada, mendiskusikan interpretasi-interpretasi yang sudah ada, dan kemungkinan mengomentari asumsi-asumsi yang telah membuat mungkin interpretasi-interpretasi ini.”4 Dengan demikian aliran sejarah post-modern tidak dapat menerima begitu saja interpretasi yang sudah ada dan berlaku umum. Sejarawan post-modern akan berusaha memberi makna sesuai dengan semangatnya dan hasil ”pembacaannya” terhadap lingkungannya.


Penulisan sejarah post-modern tidak lagi melakukan perdebatan: apakah interpretasi atas fakta sejarah merupakan hal yang obyektif? Namun,: bagaimana interpretasi yang "saya" berikan terhadap fakta sejarah? Seakan-akan teori sejarah post-modern akan meruntuhkan kemapanan teori sejarah lainnya, yang berkembang selama ini. Bagi saya pribadi, semua ini akan semakin menarik... (akhir tulisan yang belum ada kesimpulan) vinco.


1 Helius Sjamsuddin, Metodologi Sejarah, Ombak: Yogyakarta, 2007, hlm. 7.
2 Baca idem., hlm. 334. Bab IX tentang Metahistory dan Puisi Sejarah.
3 idem., hlm. 346.
4 idem., hlm. 347.

Rabu, 11 Juni 2008

Resensi Buku
Awalnya Berawal dari Pikiran

Judul: Pikiran yang Terkorupsi
Penulis: Kwik Kian Gie
Penerbit: Kompas
Cetakan: Pertama, November 2006
Tebal: VII + 228 halaman

"…KKN is the roots of all evils…"
(Kwik Kian Gie)


Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) bagai kanker, menjalar ke semua aspek kehidupan sehingga masalah apa pun yang kita hadapi, akarnya adalah KKN. Sebelum KKN berhasil diberantas atau dikurangi secara signifikan, kita tidak dapat memecahkan masalah apa pun juga dengan memuaskan.


Kwik Kian Gie, seorang intelektual yang dikenal sebagai politikus dan juga ekonom. Dalam bidang politik, Kwik dikenal konsisten berada di Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Beberapa jabatan politis pernah dipegangnnya, yang terakhir adalah Kepala Bappenas (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional). Sebagai seorang nasionalis sejati, Kwik kerap kali menampakkan kegusarannya ketika Indonesia begitu mudah tunduk pada modal asing, terutama IMF.


Sebagai seorang esais, Kwik sangatlah produktif. Tulisannya selalu terkait dengan idealisme Kwik dalam memandang situasi dan kondisi ekonomi Indonesia saat ini. Buku Pikiran yang Terkorupsi, merupakan kumpulan esai ekonomi Kwik Kian Gie yang ditulis di harian Kompas dari 1999-2006. Pikiran yang Terkorupsi adalah buku pertama dari dua buku karya Kwik Kian Gie. Buku keduanya dari dwi tunggal ini, adalah Kebijakan ekonomi Politik dan Hilangnya Nalar.
Dalam dialektikanya, Kwik memandang bahwa akar dari semua kebobrokan di Indonesia adalah KKN, atau bila desederhanakan adalah korupsi. Berikut beberapa contohnya dalam Pikiran yang Terkorupsi bab 1 judul pertama:


Keamanan dan ketertiban tidak ada karena jasa pelayanan untuk memberikan ketertiban dan keamanan diperjualbelikan. Bagi pengusaha yang mengerti dan kalkulasinya masih cocok, keamanan diperoleh dengan membayar aparat untuk menjaga usahanya. Jadi tidak adanya kemanan disebabkan karena sengaja tidak diamankan supaya aparat keamanannya dibayar. Ini adalah mengkomersialkan jabatan atau KKN.


Investasi dari dalam negeri kalah bersaing dengan barang impor. Produsen lebih untung menutup pabriknya dan menjadi importir barang sejenis (yang sama dengan usaha terdahulu) yang diimpor dari luar negeri, misalnya RRC. Mengapa kalah bersaing? Sejak lama di Indonesia dikenal ekonomi biaya tinggi, harga pokok barang apa pun di dalam negeri, lebih tinggi dari barang sejenis buatan luar negeri. Mengapa? Karena banyak pungli (pungutan liar) dan pemerasan oleh aparat negara. Jadi KKN lagi.


Dalam keseluruhan Bab 1 tersebut Kwik Kian Gie mengemukakan banyak contoh, bobroknya bangsa Indonesia, dan hasil analisisnya selalu memperoleh jawaban akhir KORUPSI. Tidak hanya memaparkan analisanya, Kwik juga memberi solusi-solusi untuk memberantas korupsi hingga akar-akarnya.


"Selama manusianya masih korup, pembentukan lembaga , penentuan prosedur dan apa pun juga selalu dapat diselewengkan dalam pelaksanaannya. Otak, akal, daya inovasi, dan daya kreasi manusia sangat dahsyat. Otak, akal, daya inovasi, dan daya kreasi manusia sangat dahsyat. Mereka senantiasa akan menemukan cara agar korupsinya sangat sulit dibuktikan" demikian tulis Kwik pada judul Korupsi Oh Korupsi. Kemudian lanjutnya "pemberantasa korupsi harus berfokus pada bagaimana memperbaiki akhlak, moral dan tata nilai manusia Indonesia. Ini proses yang amat panjang"


Lalu apa langkah konkritnya? Kwik Kian Gie dalam judul Cara Pemberantasan KKN hal 30 menuliskan "konsep pemberantasan korupsi yang sederhana, yaitu menerapkan carrot and stick". Kemudian dibahas bahwa carrot adalah pendapatan neto untuk pegawai negeri, baik sipil maupun militer, yang mencukupi untuk hidup standar. Bila perlu pendapatan ini dibuat sedemikian tinggi, hingga mampu hidup dengan sangat layak. Tidak berlebihan, tapi tidak kalah dengan sektor swasta. Stick adalah hukuman yang sangat berat bila terjadi korupsi.


Lebih lanjut Kwik Kian Gie memaparkan bagaimana cara memperoleh dana untuk gaji pegawai, seprti dalam judul Audit dan Penataan Kembali Organisasi Birokrasi. Secara singkat dikatakan bahwa segala biaya negara dapat terpenuhi bila pemberantasan Korupsi dapat berjalan. Bahkan secara pasti, dengan contoh perhitungannya, Kwik menuliskan "...kalau 30 % dapat diselamatkan dari pemberantasan korupsi tahap pertama, pemerintah sudah mendapat pendapatan tambahan sebesar 92 triliun rupiah...".


Buku Pikiran yang Terkorupsi ini, sebenarnya juga menjadi "trend" di dunia perbukuan. Menerbitkan buku yang merupakan kumpulan artikel yang sudah pernah dimuat di media massa, dalam hal ini Kompas. Kumpulan tulisan lain yang dibuat buku oleh Kompas, salah satunya adalah buku feature Sindhunata sebanyak empat buku. Sebuah usaha yang baik dari Kompas dan menjadi apresiasi bagi penulisnya. Hanya saja kelemahan buku seperti ini adalah keterbatasan kolom – di surat kabar – yang menyebabkan kurang mendalamnya analisis. Selain itu ciri khas sebuah esai adalah pembahasan yang padat, tanpa jeda "istirahat". Meskipun demikian, Kwik Kian Gie memang mampu menjawab tantangan bagi penulisan esai. Tulisannya padat tapi masih bisa dimengerti dengan cukup mudah.


Buku ini layak dibaca oleh mahasiswa, wartawan, politisi, ekonom, dan mereka yang aktif dalam pemberantasan korupsi. Sekaligus juga menarik mengikuti pemikiran Kwik Kian Gie seorang ekonom lulusan Nederlandse Economische Hogeschool di Rotterdam, namun juga seorang nasionalis. Dengan membaca buku ini setidaknya kita tahu, bahwa memberantas KKN harus dimulai dari pikiran. (vinco)
Resensi
Romantisme Derita di Balik Tembok Orde Baru

Judul: Menolak Menyerah – Menyingkap Tabir Keluarga Aidit
Penulis: Budi Kurniawan dan Yani Andriansyah
Penerbit: ERA Publisher
Cetakan: Pertama, Juni 2005
Tebal: XXIII + 166 halaman


Semua yang datang adalah semua yang akan pergi. Semua orang melakoni datang dan pergi ini dalam suasana yang alami, lancar dan tak terganggu. Setidaknya itulah yang biasa kita alami dalam kehidupan. Datang dan pergi telah kita lalui untuk kesekian kalinya, dengan kurang disadari, semua itu telah berlalu.


Bukannya hendak membahas sebuah perjalanan datang dan pergi, ataupun bolak-balik tanpa arah. Namun, makna datang dan pergi bagi keluarga besar Dipa Nusantara Aidit, ketua Centra Committee Partai Komunis Indonesia (CC PKI), begitu berbeda. Datang atau pulang, bagi keluarga korban kedigdayaan orde baru ini, bukanlah menjadi suatu yang membahagiakan, melainkan sebuah ancaman dan derita bagi kerinduan yang tidak terlampiaskan. Sebaliknya makna pergi menjadi sebuah penyelamatan, yang meninggalkan kisah-kisah romantis, dan akan tetap menjadi kisah pengantar tidur.


Kisah-kisah romantis tersebut adalah kenangan-kenangan yang dimiliki: Murad Aidit, Sobron Aidit, Asahan Aidit (yang ketiganya adik DN Aidit), Iwan Aidit dan Ilham Aidit (dua dari lima anak DN Aidit), serta Rini Melati Aidit (keponakan DN Aidit), tentang sosok Dipa Nusantara Aidit, kesehariannya dan perjuangannya. Dibalik keromantisan sebuah kenangan, ternyata menyandang nama Aidit membawa konsekuensi derita dalam kehidupan keluarga besar Aidit. Setelah runtuhnya orde baru, barulah beban derita tersebut terkurangi, walau tak mungkin dihilangkan.


Buku Menolak Menyerah – Menyingkap Tabir Keluarga Aidit, merupakan satu-satunya buku yang mengulas sisi lain pasca peristiwa 30 September 1965. Tidak seperti buku lain yang banyak mengulas peristiwa saja, buku ini lebih menonjolkan sisi human interest para korban dan tipu daya orde baru. Di beberapa bagian juga terdapat informasi tentang gerakan 30 September 1965 yang dapat menambah pengetahuan kita tentang peristiwa tersebut.


Buku ini dimulai dari kisah Ilham Aidit, satu dari anak kembar pasangan DN Aidit dan dr. Tanti. Ilham menceritakan bagaimana perlakuan diskriminatif yang telah dia dapat selama ini, bahkan Ilham pernah menerima kenyataan bahwa dirinya nyaris saja berakhir dibawah kokangan senjata tentara. Kemudian kisah berlanjut ketika Ilham akan menikah, bagaimana tekanan batin yang dia dapat untuk menjelaskan bahwa dirinya adalah anak dari DN Aidit, ketua CC PKI, kepada calon mertuanya.


Bab berikutnya, Sobron Aidit dan Asahan Aidit lebih mengisahkan pengalamannya bersama Bang Amad (panggilan mereka untuk DN Aidit) sebelum peristiwa 1965. Bagaimana kehidupan mereka bersama Bang Amad, termasuk percakapan-percakapan keseharian yang terjadi. Sungguh ironis memang bagi Sobron dan Asahan melihat Bang Amad menjadi penanggung dosa peristiwa 1965, menurut mereka Bang Amad hanyalah korban. Bang Amad bagi mereka adalah sosok yang ramah dan demokratis, itu terlihat pada dialognya dengan Sobron, yang mendukung Sobron menjadi sastrawan ketimbang terjun di dunia politik.


Murad, Rini Melani dan Iwan Aidit turut membagi pengalamannya menjadi korban selama orde baru. Mereka terpaksa menyembunyikan identitas “Aidit” di belakang namanya. Resiko tidak diterima dimasyarakat menjadi trauma yang sebisa mungkin harus mereka hindari. Pernah suatu ketika, hanya untuk menghindari kecurigaan kalangan militer, dr. Tanti, Istri DN Aidit, hanya bisa memandang anak-anaknya bermain dari kejauhan tanpa mencoba mendekat. Bayangkan saja, kemanusiaan seperti apa yang menciptakan kondisi demikian.


Buku Menolak Menyerah – Menyingkap Tabir Keluarga Aidit adalah buku yang dianjurkan untuk dibaca. Karena buku ini tidak saja mengandung unsur historis yang kental, tetapi juga unsur kemanusiaan yang dibalut bahasa sastrawi yang mampu membuka wawasan kemanusiaan kita. Bagi penikmat sejarah dan kalangan pro demokrasi, buku ini dapat menjadi informasi segar, karena memang terdapat data-data sejarah baru dan jelas mengajak kita untuk menolak menyerah.


Kelemahan buku ini, khususnya bagi kalangan peneliti dan sejarawan, terutama pada tata cara penyampaiannya yang cenderung sastrawi. Membuat kita sedikit ragu akan fakta ataukah cerita naratif yang terkandung di dalamnya. Hal tersebut sangat jelas terdapat pada Bab 3, Gesek Biola dan Vietkong yang diceritakan oleh Asahan Aidit. Kritik sejarah dapat kita lakukan untuk membuktikan autentitas buku ini, walaupun yang sangat memukau dan jarang terjadi adalah hampir semua data di buku ini adalah data primer (langsung dari pelaku sejarah).


Terlepas dari semua itu Menolak Menyerah – Menyingkap Tabir keluarga Aidit, merupakan buku satu-satunya yang mengulas DN Aidit, ketua CC PKI, aktor tertuduh peristiwa 1965, secara mendalam. Bacalah…!! Dan renungkan romantisme derita yang terjadi, apakah pada kondisi yang sama anda juga akan menolak menyerah…?!
Oleh: M.S. Mitchel Vinco

Kamis, 27 Maret 2008

Evolusi Manusia: Perjalanan Menuju Kesempurnaan

Scientifie Feature

Oleh: M.S. Mitchel Vinco

Teori evolusi Darwin membawa pada sebuah kondisi bahwa
semua yang hidup akan berkembang dan berubah meski dalam waktu yang lambat sekalipun, termasuk diri kita, manusia………


Banyak kontroversi yang timbul ketika berbicara tentang asal manusia. Apakah manusia dari kera? Jika dihubungkan dengan agama akan bertambah berbelit lagi, apakah Adam dan Hawa kera? Tidak ada jawaban pasti dari permasalahan tentang asal-usul manusia. Namun, akan menarik jika kita tidak menggabungkan seluruh pertanyaan dan melihat fokus permasalahan dari “sains” science.

Bicara masalah perkembangaan manusia, membuat kita harus melihat kembali teori evolusinya Charles Darwin, yang sebenarnya sudah diawali oleh kakeknya yang bernama Erasmus Darwin. Menurut teori evolusi Darwin, perkembangan manusia atau evolusi manusia berdasarkan pada konsep survival of the fittest atau seleksi alam. Seleksi alam tidak dapat diartikan bahwa siapa yang kuat dia yang menang, melainkan semakin tinggi kemampuan mereproduksi diri semakin besar kemungkinan untuk bertahan hidup.

Teori evolusi sendiri sebenarnya juga mengalami evolusi, dimana pada awal mula didasarkan pada seleksi alam. Namun, akhir-akhir ini sudah dikaitkan dengan faktor penurunan gen. Perkembangan bertahap suatu makhluk dapat terjadi akibat perubahan atau mutasi gen dalam rangka penyesuaian diri dengan lingkungannya. Hal ini dapat dilihat secara nyata dari perkembangan pra-manusia menjadi manusia.


Penting untuk kita ketahui bahwa menurut teori evolusi, manusia bukanlah berasal dari kera. Darwin dalam karya evolusinya tidak pernah mengatakan manusia berasal dari kera. Namun, manusia berasal dari makhluk yang disebut primate (primata), primate inilah yang kemudian berevolusi menjadi gorila, ape, simpanse, termasuk juga manusia. Seperti apakah bentuk primate? Tidak ada yang tahu pasti, karena tidak ada bukti fisiknya. Namun, secara gamblang primate mirip seperti kera, tapi bukan kera karena primate adalah nenek moyangnya. Charles Darwin sendiri tidak pernah berkata demikian!


Proses makhluk pra-manusia menjadi manusia tidak terlepas dari proses-proses penyesuaian diri dengan lingkungannya. Proses adaptif ini tampak dalam perubahan fisik dan kemampuan biososial makhluk-makhluk tersebut. Perpindahan lingkungan dari kehidupan di pohon-pohon menjadi penghuni daerah sabana merupakan salah satu proses penting menuju makhluk manusia yang sempurna.


Perkembangan pra-manusia menjadi manusia terjadi melalui proses yang sangat lama dan tidak pernah disadari oleh yang berevolusi, termasuk kita. Poses ini terjadi jauh sebelum sembilan juta tahun yang lalu. Awalnya primate (makhluk pra-manusia) hidup di hutan rimba yang lebat, dimana terdapat pohon-pohon besar dengan daunnya yang rimbun sehingga membuat suasana hutan tersebut lembab dan gelap. Keadaan pohon-pohon besar yang rimbun juga membuat jarak pandang primate terbatas. Jarak pandang yang terbatas membuat primate harus lebih waspada terhadap ancaman. Kedudukan kedua mata yang berjauhan memungkinkan primate untuk dapat memandang lebih luas dan menyebar sehingga dapat menyadari ancaman lebih cepat. Begitu pula dengan keadaan anggota tubuh primate yang lain, semuanya berfungsi sesuai dengan lingkungannya yaitu hutan.


Dengan berjalannya waktu, primate terus bergerak hingga sampailah di daerah sabana atau padang rumput. Proses menjadi manusiapun dimulai. Di sabana primate mendapati daerah yang luas sekali, tidak ada pohon-pohon besar yang menghalangi pandangannya seperti di hutan. Lingkungan sabana menuntut kemampuan primate untuk meningkatkan daya pengamatan terhadap sekelilingnya karena daerah sabana yang luas. Untuk dapat melakukannya, primate diharuskan untuk dapat meninggikan atau menegakkan badan, yang sebelumnya dikondisikan membungkuk di hutan.


Kehidupan primate yang sangat lama di daerah sabana membawa beberapa perubahan, yang terjadi secara bertahap, lamban, dan tidak disadari oleh primate. Pada bagian mata menjadi stereokopis karena pengamatan harus memusatkan perhatian pada daerah-daerah jauh, sehingga kedudukan mata juga menjadi semakin mendekat. Keadaan ini didorong karena primate di darah sabana harus lebih sering memusatkan perhatian pada satu fokus, misalnya binatang buas.


Keadaan alam sabana mengharuskan primate untuk sering meninggikan atau menegakkan badan. Kondisi demikian membuat semakin tegaknya kedudukan tulang panggul. Sehingga pada akhirnya beberapa dari primate dapat berjalan dan berlari dengan mengandalkan pada tumpuan kaki saja.


Sejalan dengan kemampuan primate berjalan dengan kaki saja, maka tangan tidak berfungsi untuk membantu kaki (seperti menggayut di hutan). Tulang belikat pada tangan akan mengalami reduksi dan tidak menghalangi gerakan tangan yang dapat berputar pada sendinya seperti kita sekarang. Tangan yang lebih bebas bergerak akan cenderung mudah melakukan pekerjaan yang lebih rumit, termasuk menggenggam. Salah satu proses evolusi yang penting adalah kemampuan ibu jari untuk bebas bergerak sehingga penting untuk menciptakan alat dan dapat menggantikan sebagian fungsi mulut. Seperti yang kita ketahui, kera atau monyet mengupas pisang dengan mulut. Tangan yang bebas juga membawa kemungkinan untuk lebih bervariasi dalam berkomunikasi sehingga meningkatkan proses belajar.


Proses yang terjadi tersebut bukanlah dalam jangka tahunan saja, melainkan memakan waktu berjuta-juta tahun. Bayangkan saja, bagaimana mungkin makhluk yang mengalami dapat sadar akan proses tersebut. Kebenaran teori evolusi Darwin belum dapat diterima semua ilmuwan termasuk kita. Namun, jikalau teori tersebut benar bayangkan saja puluhan juta kemudian, seperti apakah kita????

Kamis, 21 Februari 2008

Kejujuran di Antara Pragmatis dan Traumatis

Kejujuran merupakan komoditi dari moralitas, dimana harganya adalah

kepuasaan batin yang bersumber dari hati nurani.

Kejujuran di dunia pragmatis yang berkembang saat ini, bagaikan dongeng gadis penjual korek api, yang kesepian dan berharap akan indahnya sebuah mimpi. Mimpi tentang dunianya yang ideal, dunia yang ramah, saling menghargai dan penuh dengan cinta dalam keluarga. Sayang dunia yang terbentang bukanlah dunia ideal, yang ada hanya realitas, yang terdiri dari fakta-fakta keras yang individualis, egois dan tidak berbelas kasih. Kejujuran kinipun hampir menjadi dongeng di masyarakat.

Berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat saat ini, memang tidak diimbangi dengan berkembangnya budaya refleksi atas nilai-nilai sejarah, sastra dan filosofi. Perkembangan IPTEK dan globalisasi membuat semakin kencangnya arus konsumerisme, akibat banyaknya pilihan produk dan jasa dalam perdagangan. Sementara di sisi lain kebijaksanaan-kebijaksanaan masa lampau yang terdapat di dalam peristiwa sejarah, literatur sastra, maupun ide-ide filsafat sudah jauh ditinggalkan oleh manusia.

Manusia yang hidup pada era IPTEK ini adalah manusia-manusia mekanik, manusia yang hilang ingatan, bergerak dalam sistem yang mengejar materi-materi ekonomi yang hakikatnya musnah sama seperti manusia. Sesuatu yang bernilai atau layak dikejar pada jaman ini hanyalah sesuatu yang bernilai guna pada saat ini juga. Itulah kehidupan pragmatis, yang menilai segala sesuatu dari segi kegunaan praktis bagi dirinya sendiri..

Akibatnya, kejujuran kini menjadi sebuah mitos belaka. Kejujuran dalam budaya pragmatis tidak mempunyai harga, tidak punya daya beli dan daya jual. Kejujuran tidak memiliki kegunaan praktis bagi pelakunya. Moralitas dan hati nurani sudah menjadi sesuatu yang abstrak. Jadilah kejujuran hanya “seonggok” nilai yang terlantar di tengah lalu lalangnya manusia-manusia pragmatis yang individualis, egois dan “terlalu” ekonomis. Suatu ketika seorang olahragawan badminton berkata “buat apa nasionalis, emang nasionalis bisa saya makan, bisa memberi saya uang?”. Mungkin hal serupa terjadi pada kejujuran, “buat apa kejujuran, emang kejujuran bisa dimakan?”.

Di tengah-tengah badai pragmatisme yang melanda manusia Indonesia, berhembuslah “angin dingin” dari masa lalu, yang membawa masyarakat pada kenangan kelam tentang kekerasan, penindasan dan pengucilan bagi mereka yang menentang penguasa. Kenangan tersebut seakan mengalir dalam setiap darah masyarakat dan membuat masyarakat menjadi trauma. Trauma yang menyebabkan ide-ide kebijaksanaan seperti kejujuran, rela berkorban, keadilan, demokratis menjadi terlupakan. Trauma yang menjadikan safety first adalah pilihan mutlak, bahkan bila bertentangan dengan hati nurani.

Apa yang terjadi pada pembantaian besar-besaran di Jawa dan Bali pada akhir 1965 hingga awal 1966, yang ditujukan bagi orang-orang yang dianggap partisipan PKI (Baskara:2006), telah membawa dampak psikis bagi masyarakat. Cara-cara penanganan yang tidak manusiawi dan tidak melalui proses hukum telah menyebar dari mulut ke mulut, mengalahkan peran media massa, menyebarkan hawa traumatis yang menakutkan. Tidak hanya bagi sanak saudara korban, tetapi juga bagi mereka yang tidak tahu apa-apa, yang menjadi satu kesatuan dalam sistem interaksi sosial. Rasa takut itu telah mengunci kesadaran masyarakat, dan menjadi patuh pada penguasa adalah pilihan utama, meskipun jika harus mengorbankan kejujuran.

Keadaan-keadaan lainnya turut mendukung meningkatnya kadar traumatis masyarakat, seperti peristiwa malari 1974, kudatuli 1996, maraknya penembak misterius, kematian para pejabat negara secara misterius dan penyelesaian masalah yang sebagian besar menggunakan kekerasan, hingga hal-hal yang dianggap sepele misalnya diskrikinasi etnis dan agama, penyulitan dalam mengurus administrasi, pemilu yang diarahkan, korupsi, kolusi dan nepotisme. Kondisi demikian membuat masyarakat terikat dan membentuk mentalitas “penjilat” atau cari selamat (safety first), entah itu karena rasa takut atau hanya demi mencari ”kemudahan” saja dalam urusan administrasi. Menuruti kemauan penguasa menjadi pilihan utama yang tersedia.

Demikianlah sosialisasi budaya terjadi dan menemukan bentuknya pada dewasa ini. Budaya masyarakat pragmatis yang muncul akibat globalisasi dan berkembangnya IPTEK melebur dengan traumatisme akibat kelamnya sejarahnya Indonesia, membentuk karakter-karakter manusia Indonesia yang kurang menghayati nilai-nilai kebijaksanaan. Kejujuran semakin ditinggalkan, tidak hanya karena kejujuran tidak pragmatis, tetapi juga karena rasa takut yang berlebihan, mencari selamat sendiri dan bermuka dua.

Kejujuran menjadi komoditi yang langka, yang menjadi mahal, namun ironisnya tidak ada yang mengejarnya. Bahkan kejujuran cenderung terlupakan. Hal tersebut disebabkan karena kejujuran merupakan komoditi dari moralitas, dimana harganya adalah kepuasaan batin yang bersumber dari hati nurani. Hanya mereka yang masih menyisakan kesadarannya untuk merefleksi dan belajar dari kebijaksanaan masa lampau yang masih mengejar kejujuran dan membaginya secara sukarela. Masih adakah mereka?

Minggu, 17 Februari 2008

Pendidikan Kembali ke Tujuan Awal

Individu-individu kuat sepatutnya bergabung, mengangkat sebangsanya yang lemah, memberinya lampu pada yang kegelapan dan memberi mata pada yang buta.
(Jejak Langkah: Pramoedya A.T.)
Apa tujuan kita ketika berada di perguruan tinggi (PT)? Sebagai mahasiswa? Banyak yang berpendapat ini adalah usaha untuk mempermudah mendapat pekerjaan. Ada juga yang ingin mencapai mimpinya, ingin mendapat kerja dengan honor besar, prestise di masyarakat dan lain-lain. Intinya tetap sama yaitu pekerjaan bagi orang tersebut. Pihak perguruan tinggi juga tidak mau membuang kesempatan ini. Mereka berusaha mempromosikan PT masing-masing sebagai PT yang dapat menjamin pekerjaan bagi mahasiswanya. Seakan-akan wajar, sewajar mekanisme pasar, kebebasan bagi terjadinya permintaan dan penawaran.
Tahukah anda bagaimana ilmu pengetahuan lahir?Pada awalnya hanya ada ilmu filsafat, ilmu yang berusaha menjawab seluruh ”kebingungan” atau rasa penasaran manusia akan alam dan dirinya sendiri. Dengan bertambahnya waktu, kehidupan manusia semakin kompleks. Filsafat kemudian berkembang dan lahirlah ilmu-ilmu seperti: matematika, fisika, etika, bahasa, musik, arsitektur, dan seterusnya. Semua ilmu pengetahuan mempunyai satu kegunaan sebagai jawaban teoritis dari persoalan hidup manusia. Sedangkan jawaban konkrit dari persoalan hidup manusia dinamakan teknik.
Mari kita kembali ke jaman sekarang! Realitas menunjukkan kita adalah segelintir orang yang dapat memperoleh ilmu pengetahuan dan teknik. Kita lebih dapat memahami realitas dunia dan problematikanya, dibandingkan orang-orang yang tidak memperoleh pendidikan. Dari dasar logika tersebut, dapat disimpulkan bahwa kehidupan manusia akan lebih baik karena telah lahir golongan-golongan terdidik. Bukankah ilmu pengetahuan dan teknik muncul karena kebutuhan manusia? Demikian pula lahirnya golongan terpelajar demi menjawab segala persoalan hidup.
Namun, realitas juga menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan dikejar hanya untuk kepentingan modal, kepentingan pasar liberal. Setiap tahun, lulusnya para pelajar dilanjutkan dengan gelombang besar yang melamar pekerjaan di instansi-instansi negeri dan swasta. Padahal instansi-instansi tersebut berdiri dengan usaha-usaha yang tidak berpihak pada rakyat kecil. Intelektual yang masuk di dalamnya secara tidak langsung akan mengabdikan pengetahuannya pada kepentingan perusahaan, maka lahirlah penindas-penindas baru. Sementara kemiskinan masih saja merajalela di masyarakat.
Jika menurut Sartre ”kita dihukum untuk bebas” maka semua adalah pilihan bebas kita. Hanya, apakah kita bebas setelah kita menyadari bahwa ”kita sadar bebas”, ataukah kita hanya didorong untuk berpikir bahwa ”kita bebas”?
Seandainya ”kita sadar bebas”, seharusnya kita sadar bahwa penderitaan rakyat Indonesia pada umumnya, merupakan sebuah persoalan hidup yang harus dijawab ilmu pengetahuan dan teknik. Kita sebagai pelajar atau mahasiswa harus kritis menggunakan ilmu pengetahuan. Jika memang pendidikan kita maju dan berhasil, buktikanlah dengan kehidupan masyarakat yang lebih baik. Jika memang negera-negara besar seperti Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Jepang, dan lainnya memiliki pendidikan yang maju, buktikanlah dengan kehidupan internasional yang lebih baik. Ketimpangan kehidupan dewasa ini, yang ditandai dengan kesenjangan sosial, menunjukkan adanya ketimpangan dalam pendidikan. Apakah pendidikan sudah menyimpang dari tujuan awalnya? Masih adakah pendidikan yang sesungguhnya?
Seperti apa yang diceritakan pramoedya selanjutnya dalam jejak langkah: ”Golongan terpelajar, golongan beruntung yang mendapat lebih banyak ilmu dan pengetahuan daripada bangsa selebihnya. Bagi orang intelligent, orang cerdas – bukan hanya berilmu dan berpengetahuan – tak mungkin terlepas perhatiannya dari masalah-masalah kehidupan, apalagi kehidupan yang vital, memikirkannya, memecahkannya dan menyumbangkan pikirannya.”
* tulisan ini dimuat si majalah mahasiswa natas Univ. Sanata Dharma Yogyakarta (edisi Nov 2007)

Dilema BBM (Bagai Buah Simalakama)

Membicarakan naiknya harga bahan bakar minyak (BBM) di Indonesia memang menimbulkan polemik. Di satu sisi, harga BBM yang konon akan naik 80 persen pasti akan memberatkan masyarakat kecil, yang merupakan mayoritas di negara kita. Di sisi lain, naiknya harga BBM tersebut diluar kehendak pemerintah, atau yang biasa kita dengar dengan melonjaknya harga minyak dunia.



Para penghuni gedung pemerintah Republik Indonesia, sebelum menjabat seperti sekarang, sering berseru tidak akan menaikkan harga BBM. Siapa yang tahu mereka sekarang siap tidak populer, demi terhapusnya subsidi BBM di pertiwi ini. Masyarakat umum lain lagi, mereka yang memang selama ini terasingkan dari permasalahan global, untuk saat ini harus menjadi korban. Mereka bingung harus bagaimana dan terdiam pasrah pada nasib. Haruskah semua ini terjadi?

Setidaknya ada sebuah permasalahan pokok dalam dilema naiknya harga BBM selama ini. Permasalahan tersebut adalah soal ketergantungan. Negara bergantung pada dunia global, sedangkan masyarakat bergantung pada BBM. Dalam hal ini hasil minyak bumi kita selalu ditentukan oleh harga internasional. Jelas hal tesebut tidak sesuai dengan UUD pasal 33 yang salah satu pasalnya tertulis bahwa seluruh hasil bumi yang menyangkut hajat hidup orang banyak dilkuasai oleh negara dan digunakan demi kesejahteraan rakyat. Sedangkan rakyat tidak mau tahu, karena hidup mereka sudah susah, terus menuntut kesejahteraan yang dijanjikan.

Masalah negara yang mendilema seperti soal BBM ini tidaklah bisa diselesaikan secara gegabah. Perlu usaha bertahap untuk hasil yang maksimal. Seperti makan buah simalakama, dimakan bapak mati, tidak dimakan ibu yang mati. Begitu pulalah masalah BBM ini, untuk pemecahannya perlu adanya pengorbanan, semoga saja bukan powerless society Namun, pilihan tetap harus diambil. Ada beberapa pemecahan yang dapat diambil dalam permasalahan BBM, menyangkut jangka pendek dan jangka menengah.

Pertama, untuk waktu terdekat harus ada keputusan, apakah pemerintah membantu masyarakat, ataukah masyarakat yang membantu pemerintah. Naiknya BBM jelas gambaran bahwa pemerintah meminta tolong kepada masyarakat, untuk menanggung kesalahan yang tidak tahu siapa yang membuatnya. Namun, jika kita memilih pilihan pertama, dalam hal ini pemerintah dapat mengalokasikan dana untuk menambal subsidi BBM yang membengkak. Dana tersebut dapat berupa pengambilan dana dari pos-pos dana APBN lain yang tidak mendesak. Memang akan sangat sulit, namun haruskah mengorbankan masyarakat?

Kedua, dan seterusnya adalah tahap jangka menengah. Mengurangi ketergantungan harga minyak nasional terhadap harga minyak dunia. Untuk hal ini, sebaiknya hasil Bumi yang dipergunakan untuk kemakmuran rakyat tidak diperjual-belikan secara bebas di pasar internasional. Perlu adanya kontrol pemerintah dan kontrol dari masyarakat, sehingga kebutuhan dalam negeri dahulu yang diutamakan.

Ketiga, ini menyangkut poin ke dua. meninjau kembali perusahaan asing yang ada di Indonesia, terutama perusahaan yang mengeruk hasil-hasil alam Indonesia. Permasalahanya adalah hasil-hasil bumi Indonesia harus bisa dinikmati masyarakat Indonesia. Namun, kenyataannya masih banyak masyarakat yang hidup dengan sangat kekurangan di daerah yang berpotensi akan hasil alam.

Keempat, meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan teknologi pengelolaan sumber daya alam, terutama minyak bumi. Hal ini bertujuan agar negara kita tidak selalu bergantung dengan pengelolaan asing, terutama memproduksi minyak mentah menjadi minyak siap guna. Sehingga pada akhirnya hasil alam bumi Indonesia dapat dinikmati secara maksimal oleh masyarakat.

Kelima, reaksi penolakan rakyat terhadap naiknya BBM menandakan bahwa rakyat masih sangat bergantung dengan BBM. Fenomena ini dapat dilihat dari jumlah kendaraan bermotor pribadi yang sangat banyak di Indonesia. Dari pejabat hingga tukang bakso memiliki kendaraan bermotor. Belum lagi dengan produksi kecil-menengah. Ketergantungan rakyat terhadap BBM harusnya dapat dikurangi. Meningkatkan kualitas, kuantitas dan pelayanan transportasi umum. Jika perlu transportasi umum menjadi raja di jalanan, sebagai contoh lihat negara-negara maju seperti Jepang dan negara Eropa Barat. Selain mengurangi konsumsi BBM, kebijakan ini juga dapat mengurangi polusi udara. Kebijakan ini dapat dilakukan dengan syarat bahwa kepemilikan kendaraan bermotor dikurangi.

Sebuah dilema, selalu menuntut pengorbanan di satu sisi demi kepentingan yang lain. Menyoal BBM tidak akan pernah berakhir ketika kita harus menggantungkan nasib bangsa di tangan negara lain. Namun, perdagangan global seakan-akan tidak bisa lagi dihindari. Masyarakat kecil selalu menjadi korban, sedangkan masyarakat atas terkesan tidak ambil peduli. Negara harus mengambil sikap, tentunya dengan berbagai pertimbangan yang tidak merugikan masyarakat. Perubahan harus terjadi demi kepentingan bangsa kita. Pertanyaannya apakah kita berani berubah dan berkorban???

Sabtu, 16 Februari 2008

Di Antara Rehabilitasi dan Penulisan Sejarah

Penelitian sejarah masa lalu akan membuat orang lebih arif,

Sehingga kesalahan-kesalahan yang dahulu tidak terulang lagi.

(Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah:108)

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) setelah berunding dengan beberapa pejabat tinggi menetapkan akan merehabilitasi nama baik mantan Presiden Soeharto (Pak Harto). Hal ini berkaitan dengan kondisi fisik Pak Harto yang tidak memungkinkan lagi untuk menjalani pemeriksaan di pengadilan. Secara kemanusiaan keputusan yang diambil presiden SBY sangatlah benar dan manusiawi.

Meskipun demikian, dipandang dari sudut sejarah, keputusan tersebut tidak tepat. Sejarah adalah pelajaran dari masa lalu yang berguna untuk merenda masa depan dan masa kini. Tujuan utama sejarah adalah agar tidak terjadinya pengulangan sejarah atau kesalahan-kesalahan di masa lalu, yang merugikan kehidupan manusia. Oleh sebab itu, sejarah haruslah mengabdi pada kebenaran dan keadilan.

Penulisan sejarah haruslah berdasarkan atas dasar sumber yang otentik dan kredibel. Untuk itu diperlukannya kritik sumber atau verifikasi terhadap sumber, baik itu sumber langsung (primer) maupun tidak langsung (sekunder dan tersier). Dalam hal ini pertanggungjawaban sejarawan dalam penulisannya adalah pertanggungjawaban terhadap publik, terutama generasi penerus bangsa yang akan memimpin di masa depan.

Dalam kasus rehabilitasi nama baik Pak Harto, berarti telah terjadi penghapusan sejarah. Karena dengan merehabilitasi Pak Harto berarti segala peristiwa yang terjadi di masa pemerintahannnya juga ikut terehabilitasi, terlepas dari salah atau benarnya. Merehabilitasi nama baik Pak Harto tanpa penelitian dan dasar sumber yang otentik dan kredibel, berarti menghianati ilmu pengetahuan yang berpijak pada kebenaran. Apalagi rehabilitasi tersebut didasarkan pada unsur belas kasihan, bukan atas dasar fakta yang ilmiah.

Rehabilitasi yang akan diberikan Presiden SBY kepada mantan Presiden Soeharto harus ditinjau ulang. Keputusan ini berbeda dengan pemberian rehabilitasi kepada rakyat biasa. Pada rakyat biasa masalah akan selesai ketika rehabilitasi diberikan. Namun, pada kasus Pak Harto rehabilitasi tersebut akan terus terbawa dalam penulisan sejarah. Apa yang harus ditulis sejarawan tentang Pak Harto, jika rehabilitasi telah diberikan? Apakah menulis apa adanya secara obyektif dengan didasarkan bukti-bukti yang otentik dan kredibel? Ataukah melestarikan budaya rehabilitasi, dengan merehabilitasi juga sejarah Pak Harto? Yang terakhir sangat tidak sesuai dengan sejarah sebagai ilmu pengetahuan.

Merehabilitasi nama baik Pak Harto berarti juga menghilangkan sebagian peran Pak Harto dalam sejarah, baik itu yang positif maupun yang negatif. Hilangnya peran Pak Harto dalam sejarah berarti juga menghilangkan peran perjuangan mahasiswa pada tahun 1966 dan 1998. Menghilangkan sedikit maupun sebagian dari peran Pak Harto dapat diartikan sebagai sebuah kecacatan sejarah. Setelah perjalanan sejarah bangsa ini sedikit demi sedikit hilang, dimanakah letak kebenaran yang akan diwariskan kepada generasi penerus?

Mengingat Pak Harto adalah pelaku sejarah yang penting, maka segala keputusan yang keluar dari pemerintah haruslah dapat dipertanggungjawabkan secara hukum dan ilmiah. Hal ini menyangkut penulisan sejarah yang akan dikonsumsi masyarakat luas.

Setidaknya sebelum diberikan rehabilitasi semua masalah yang menyangkut Pak Harto harus jelas. Manakah tindakan dari beliau yang melanggar hukum sehingga perlu direhabilitasi, dan manakah yang tidak melanggar hukum. Jangan sampai dengan adanya rehabilitasi nama baik Pak Harto, penelitian dan penyelidikan juga terhenti. Atas dasar apapun, peristiwa masa lalu, baik itu yang menyangkut Pak Harto ataupun tidak, harus terungkapkan demi masa depan negara kita. Seperti yang diungkapkan Pak Kuntowijoyo “Penelitian sejarah masa lalu akan membuat orang lebih arif, sehingga kesalahan-kesalahan yang dahulu tidak terulang lagi”.

*tidak berhasil dimuat di kolom Academica Harian Kompas Yogyakarta (2007)

Soeharto: Pahlawan Abu-Abu

Pahlawan sebagai manusia, hidup dalam ruang dan waktu yang unik, seperti tiap orang memiliki jalan pribadi. Tiap jengkal dari perjalanan manusia mempunyai kisah yang tersendiri. Dengan demikian, manusia sebagai pahlawan atau pahlawan sebagai manusia tidak dapat digeneralisasikan.

Kontroversi di seputar kehidupan Pak Harto seperti tidak pernah akan berakhir. Bahkan setelah meninggalnya beliau kontroversi tidak pernah surut. Hal demikian wajar-wajar saja mengingat sebagai manusia, Pak Harto telah mengarungi perjalan hidup selama 86 tahun. Sebuah rentang waktu yang sangat langka untuk ukuran manusia normal dewasa ini. Banyak kisah yang ditinggalkan Pak Harto selama 86 tahun hidupnya. Dengan demikian pula, banyak pula sudut pandang yang bisa diambil dari sejarah kehidupannya. Menjadi kontroversi merupakan akibat dari banyaknya sudut pandang itu.

Sudut pandang yang berbeda dan kontradiksi turut mewarnai perihal keputusan apakah H.M. Soeharto akan diangkat sebagai pahlawan atau tidak. Layaknya pembahasan Rancangan Undang-Undang, masing-masing tokoh politik yang kemudian langsung dikaitkan media dengan pernyataan partai, mengeluarkan pendapatnya. Gus Dur berpendapat bahwa pemberian gelar pahlawan harus didahulukan dengan penyelesaian kasus-kasus hukum Pak Harto. Sementara Ketua Fraksi Partai Golkar Priyo Budi Santoso terang-terangan mengatakan bahwa Partai Golkar akan memprakarsai pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Pak Harto terkait dengan jasa-jasa beliau di masa lalu. Tidak hanya politisi, rakyat pun turut serta terpecah dengan argumennya masing-masing. W.S. Rendra, seorang sastrawan, jelas-jelas mengatakan Pak Harto tidak dapat disebut pahlawan.

Kontroversi mengenai Pak Harto Pahlawan atau bukan semakin keruh ketika definisi pahlawan juga tidak jelas dan dapat bermakna ganda. Definisi pahlawan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran. Kebenaran apakah yang dibela dalam definisi tersebut? Apakah kebenaran minoritas atau kebenaran mayoritas? Apakah standar dari kebenaran tersebut? Jika hanya berkutat dimasalah kebenaran pun masih ada masalah dalam konteks waktu. Apakah keberanian dan pengorbanan dari pahlawan terjadi selama hidupnya? Bagaimana perimbangan waktu-waktu yang lain selama kehidupan sang pahlawan? Bila semua kontroversi tersebut tidak menemukan titik penyelesaian. Maka nasib Pak Harto akan sama seperti nasib Bung Karno, akan menjadi kontroversi sepanjang sejarah Indonesia. Keduanya akan menjadi Pahlawan Abu-Abu, bukan hitam tidak pula putih.

Semua ini sebenarnya tidak akan menjadi rumit bila pemerintah tidak terlalu ikut campur dalam polemik apakah Pak Harto pahlawan atau bukan. Kekuasaan pemerintah yang bersifat mutlaklah yang membuat berbagai konteroversi muncul. Masing-masing pihak dengan sudut pandang berbeda di satu sisi akan mendorong pemerintah untuk berkata Pak Harto adalah pahlawan, sedangkan pihak lain akan berusaha mencegahnya. Kontroversi dan polemik tentu akan mereda jika pemerintah lebih bersikap ilmiah. Berikanlah kesempatan kepada ilmu pengetahuan untuk berdialektika menjawab sisi ”abu-abu” Pak Harto. Termasuk juga ilmu pengetahuan dalam bidang hukum yang berusaha mengadili putih-hitamnya Pak Harto. Tugas pemerintah bukanlah mengeluarkan pernyataan resmi tentang penganugerahan Pahlawan Nasional kepada Pak Harto. Namun, tugas pemerintahan adalah memberi jaminan bagi penelitian-penelitian sejarah dan pengadilan-pengadilan terhadap kasus hukum Pak Harto.

Ilmu pengetahuan ada dan berkembang semakin kompleks saat ini memiliki tujuan yang satu yaitu menjawab segala permasalahan hidup manusia. Dengan demikian hendaknya permasalahan yang terkait dengan Pak Harto harus diselesaikan dengan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan bukanlah argumen yang keluar dari pemikiran sepihak yang singkat. Namun, ilmu pengetahuan merupakan kumpulan fakta-fakta yang telah melalui prosedur, yang disusun secara sistematis dan bersifat universal. Bila meninggalnya Pak Harto menimbulkan polemik apakah dia akan diangkat menjadi Pahlawan Nasional atau bukan, janganlah pernah diselesaikan dengan cara-cara yang berpolemik pula. Gunakan cara yang benar yaitu tata cara ilmiah yang diakui secara universal, meskipun hal tersebut memakan waktu yang tidak sebentar.

Selain itu, terlepas dari jangka waktu diperolehnya hasil-hasil penelitian dan pengadilan Pak Harto. Penting bagi pemerintah untuk mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang bijaksana, yang terkait tentang kehidupan Pak Harto. Pernyataan-pernyataan tersebut haruslah meletakkan sejarah Pak Harto dalam konteks ruang dan waktu. Jangan pernah memberi penilaian yang bersifat menggeneralisir, seakan-akan Pak Harto bukan mahluk sosial yang selalu berdinamika. Meskipun sejarah Pak Harto masih abu-abu, keluarkanlah pernyataan yang berisi tentang tempat, waktu dan keseluruhan peristiwa yang mampu direkam secara ilmiah selama ini. Sangatlah tidak bijaksana bila pernyataan yang keluar sangat didramatisir, apalagi bila ada pemotongan fakta-fakta. Katakanlah keberhasilan Pak Harto saat di militer, saat orde lama, saat orde baru, tetapi katakanlah juga pelanggaran-pelanggaran HAM dan korupsi yang terjadi pada pemerintahannya.

Pada akhirnya permasalah mengenai apakah Pak Harto layak menjadi pahlawan atau tidak, haruslah dijawab dengan pernyataan yang bijak pula. Saat ini Pak Harto belum dapat dikatakan sebagai pahlawan, biarkanlah para ilmuwan dan pengadil yang menentukan hal ini di masa depan. Tugas pemerintah hanyalah menjamin terlaksananya proses tersebut, bukan tugas pemerintah untuk menentukan. Saat ini status Pak Harto masihlah Mantan Presiden Republik Indonesia 1966-1998, yang telah berpulang ke sisi-Nya.

* tidak berhasil dimuat di kolom Academica Harian Kompas Yogyakarta (Feb 2008)