Senin, 27 Oktober 2008

Hanya Pendapat: Tentang Sejarah Post-Modern!

Sejarah merupakan sebuah kajian keilmuan yang mempelajari peristiwa masa lalu. Meskipun demikian, sejarah tidak akan pernah menghadirkan peristiwa masa lalu tersebut ke masa sekarang. Sejarah hanya bisa “memungut” keping-keping fakta yang berhasil ditinggalkan peristiwa di waktu lampau. Keping-keping fakta yang tidak utuh, yang terkadang terpisah oleh tempat dan waktu, bahkan sekilas tampak tidak berhubungan. Selanjutnya menjadi tugas seorang sejarawan untuk merekontruksi, bahkan mendekontruksi fakta-fakta sisa masa lalu tersebut dalam sebuah narasi yang disebut historiografi.


Tidak berlebihan bila dikatakan interpretasi sejarah merupakan biang subyektifitas. Dalam proses interpretasi sejarawan berusaha menarik hubungan-hubungan dari fakta-fakta sejarah yang ada. Hubungan-hubungan tersebut merupakan celah kosong (missing link) dari peninggalan peristiwa masa lalu, yang berusaha dirasionalisasikan oleh sejarawan. Bahkan dengan hadirnya pendekatan ilmu sosial, tidak mengurangi subyektifitas dalam penulisan sejarah. Pilihan-pilihan teori dalam ilmu sosial yang demikian luasnya dan terus berkembang sepanjang waktu, hanya menjadikan sejarah lebih ilmiah, tapi tidak akan pernah menjadi obyektif.


Kondisi demikian sesuai dengan pendapat J. Huizinga yang menganggap sejarah sebagai “bentuk intelektual di mana suatu peradaban menceritakan dirinya sendiri mengenai masa lalunya.”1 Pendapat Huizinga ini dapat diartikan bahwa dalam penelitian sejarah yang dapat disepakati hanyalah dalam tataran metode, seperti yang tampak dalam kata “bentuk intelektual”. Sedangkan selanjutnya merupakan bentuk-bentuk interpretasi yang khas sesuai dengan semangat jaman sekarang dan terlebih lagi semangat sejarawan yang melakukannya.


Berkembangnya aliran post-modern, yang identik dengan ketidakpastian dan keragu-raguan, dalam filsafat dan kemudian sejarah justru menjadikan sejarah lebih “jujur” dalam tujuan penulisannya. Penelitian Hayden White, salah satu peletak dasar sejarah post-modern, dalam Metahistory (1973) mampu membedah kecenderungan dalam karya-karya para sejarawan.2 Sehingga dapat diketahui idealisme apa yang ada di balik sejarah yang ditulis sejarawan. Metode yang digunakan White memang secara terang-terangan menunjukkan adanya subyektifitas dalam penulisan sejarah. Namun, tidak berarti penulisan sejarah dapat disamakan dengan karya sastra. Penulisan sejarah tetap berpegang pada fakta yang tersisa dari masa lalu, sedangkan dalam sastra tidak diharuskan menggunakan fakta.


Fakta-fakta peninggalan sejarah, menurut pandangan sejarah post-modern, tidak dapat berdiri sendiri tanpa konteks yang bermakna. Jadi apa yang disebut ”konteks” yang dikontruksi untuk mengkontekstualisasi fakta-fakta pada akhirnya harus diimajinasikan atau diciptakan. Hanya tidak seperti fakta-fakta, konteks-konteks tidak pernah secara pasti ditemukan. Oleh sebab itu, agar semua kisah sejarah itu bermakna, maka harus melibatkan hubungan-hubungan bagian ke seluruhan (part-to-whole) atau seluruh ke bagian (whole-to-part).3 Hubungan-hubungan tersebut, seperti telah disebut di atas, harus diciptakan. Sehingga dalam hal ini sangat mengandung subyektifitas.


Salah satu ciri khas filsafat post-modern dan kemudian sejarah post-modern adalah dekontruksi. Kebalikan dengan rekontruksi yang berusaha menarik makna yang terkandung dalam suatu peristiwa, dekontruksi berusaha memberi makna dalam suatu peristiwa. Ahli filsafat sejarah Perancis, Philip Carrard berkata ”karya sejarah... menimbang informasi yang ada, mendiskusikan interpretasi-interpretasi yang sudah ada, dan kemungkinan mengomentari asumsi-asumsi yang telah membuat mungkin interpretasi-interpretasi ini.”4 Dengan demikian aliran sejarah post-modern tidak dapat menerima begitu saja interpretasi yang sudah ada dan berlaku umum. Sejarawan post-modern akan berusaha memberi makna sesuai dengan semangatnya dan hasil ”pembacaannya” terhadap lingkungannya.


Penulisan sejarah post-modern tidak lagi melakukan perdebatan: apakah interpretasi atas fakta sejarah merupakan hal yang obyektif? Namun,: bagaimana interpretasi yang "saya" berikan terhadap fakta sejarah? Seakan-akan teori sejarah post-modern akan meruntuhkan kemapanan teori sejarah lainnya, yang berkembang selama ini. Bagi saya pribadi, semua ini akan semakin menarik... (akhir tulisan yang belum ada kesimpulan) vinco.


1 Helius Sjamsuddin, Metodologi Sejarah, Ombak: Yogyakarta, 2007, hlm. 7.
2 Baca idem., hlm. 334. Bab IX tentang Metahistory dan Puisi Sejarah.
3 idem., hlm. 346.
4 idem., hlm. 347.