Senin, 17 Januari 2011

GAGALNYA KOMUNISME DI EROPA (KASUS POLANDIA DAN YUGOSLAVIA) [Bag.2]

"kembali lagi berbicara komunisme di Eropa..."

Gagalnya Komunisme di Eropa
Gejala komunis menggambarkan tragedi sejarah. Sebagai yang lahir dari idealisme yang tidak sabar, yang menolak ketidakadilan status quo, ia mengusahakan masyarakat yang lebih baik dan lebih manusiawi, tetapi menghasilkan penindasan massal. Demikianlah realita komunisme, terutama di Eropa, meskipun memiliki cita-cita luhur namun dalam penerapannya menggunakan kekuasaan untuk menekan potensi perlawanan.
Komunisme bercita-cita terbentuknya komunisme internasional. Di mana seluruh dunia bersatu di bawah payung komunisme. Satu syarat utama terciptanya masyarakat komunis adalah hancurnya masyarakat kapitalis dengan alat-alat produksi yang mereka kuasai. Syarat tersebut mutlak, karena tidak mungkin kapitalis dan komunis dapat berdiri bersama. Kekuatan yang satu akan menghancurkan kekuatan yang lain.
Dalam ”ramalan” dialektika Karl Marx, kapitalisme dengan sendirinya akan menuju kehancuran. Kehancuran itu disebabkan oleh over weight production, yaitu kelebihan produksi akibat teknologi dan kebutuhan yang telah tercukupi. Meskipun demikian, bagi Marx dan pengikutnya proses kehancuran kapitalisme dapat dipercepat dengan revolusi. Revolusi komunis inilah yang pada abad 20 begitu maraknya.
Dimulai dari revolusi proletar di Uni Soviet, kemudian pasca Perang Dunia II menyebar ke banyak negara. Negara-negara dunia ketiga, yang kesejahteraannya masih diperjuangkan, sangat potensial untuk mendapat pengaruh komunis. Eropa Timur dengan cepat mendapat pengaruh Uni Soviet. Negara seperti Polandia pun jatuh ke tangan komunis. Demikan pula Eropa bagian Selatan, seperti Serbia, Bosnia-Herzegovina, Kroasia, Kosovo, Montenegro, Slovenia yang bersatu dalam Yugoslavia, menggunakan ideologi komunis.

GAGALNYA KOMUNISME DI EROPA (KASUS POLANDIA DAN YUGOSLAVIA) [Bag.1]

"Kita akan berbicara tentang komunisme dahulu..."

Latar Belakang
Dalam pandangan filsafat sejarah deterministis, sejarah seperti halnya manusia, berkembang seperti suatu organisme yang hidup, seperti dari benih yang tumbuh, berkembang dan akhirnya mati. Pandangan ini dikenal dengan determinisitis biologis-naturalistis. Bila kita perhatikan sejarah peradaban, terlihat bahwa pandangan ini benar adanya. Sejarah peradaban, dalam hal ini konteks kebudayaan, mengalami pertumbuhan, perkembangan dan kemudian kematian.
Menurut Arnold J. Toynbee (1889-1975), seorang sejarawan dari Inggris, kehancuran peradaban dapat dicegah dengan terus adanya manusia-manusia kreatif yang mampu menjawab tantangan jamannya. Yoynbee berpendapat selama ada respon terhadap challenge maka peradaban akan terus maju ke arah yang lebih baik.
Eropa dalam catatan sejarah peradaban merupakan benua yang paling produktif dalam segala bidang. Apakah hal tersebut dipengaruhi pencatatan sejarah Eropa yang sudah dilakukan sejak jaman Yunani Kuno (600-an SM)? Bisa jadi demikian. Tetapi faktanya adalah sejarah tentang Eropa merupakan catatan sejarah terlengkap hingga saat ini. Wajar saja benua ini menjadi terang akan masa lalu mereka, tentang kegagalan dan kesuksesan.
Makalah ini tidak akan membahas peradaban Eropa dari awal hingga saat ini, tidak juga melihat peradaban Eropa dari sisi siklus-determinis. Terlalu luas jika akan membahas hal tersebut, terlebih lagi tidak maksimal manfaatnya jika seluruh sejarah Eropa akan dibahas dalam makalah singkat ini.
Pembahasan yang akan dikaji dalam kesempatan ini adalah Eropa pada periode pasca Perang Dunia II, atau lebih tepatnya saat Perang Dingin antara dua raksasa dunia: USSR (Uni Soviet) dan USA (Amerika Serikat). Bahkan akan lebih dipersempit lagi mengenai akhir dari pemerintahan komunisme di Eropa. Kasusnya juga akan lebih dipersempit yaitu: Polandia dan Yugoslavia.