(Sambungan dari bagian 1)
Dengan datangnya berbagai imigran
asing ke Indonesia periode 1860-1890 dan 1900-1930, Belanda melakukan kebijakan
pembagian kelas. Kelas satu adalah orang Belanda dan bangsa Eropa, kelas kedua
adalah golongan yang disebut Timur Asing, meliputi Tionghoa dan Arab, sedangkan
kelas ketiga adalah penduduk asli setempat yang disebut pribumi. Pembagian
kelas ini demi kepentingan politik dan ekonomi Belanda. Pertama, dengan
meletakkan orang Eropa di startifikasi tertinggi, maka akan menjaga
kekuasaannya. Kedua, meletakkan golongan Timur Asing di tempat kedua akan
menjaga jaringan perekonomiannya, mengingat golongan Timur Asing adalah urat
perdagangan saat itu. Ketiga, menempatkan kelompok pribumi di bawah berarti
terus menjaga otoritas Belanda terhadap Nusantara pada saat itu. Bagi golongan
pribumi yang ada di bawah, kedua kelas di atas tentu saja akan sulit dibedakan.
Kesamaan kelas satu dan kelas dua adalah keduanya sama-sama menindas kelas
ketiga. Sedangkan tentu, saja dalam logika sederhana kelas kedua pun pasti
tertindas oleh kelas pertama.
![]() |
Sumber: google |
Berkembangnya politik etis di awal abad ke-20 mengubah banyak identitas sosial, politik, dan budaya di Nusantara. Tentu saja harus berani diakui orang Indonesia, bahwa identitas Indonesia pun lahir di saat ini lewat Perhimpunan Indonesia, Partai Komunis Indonesia, dan Sumpah Pemuda 1928. Bagi identitas Tionghoa, seperti sudah dibahas di persoalah istilah Tionghoa dan Cina di atas, masa ini memberikan identitas Tionghoa yang baru. Leo Suryadinata (2010: 185), seperti juga M.D. La Ode (2012: 7-8), memperlihatkan setidaknya ada tiga identitas Tionghoa saat itu.
Pertama, kelompok Sin Po yang berorientasi ke Tiongkok, dan percaya bagaimanapun orang Tionghoa di manapun adalah anggota Tiongkok. Kedua, kelompok Chung Hwa Hui yang berorientasi ke Hindia Belanda, mereka percaya mereka adalah anggota dari Hindia Belanda, dan harus menjamin stabilitas Hindia Belanda. Ketiga adalah kelompok Partai Tionghoa Indonesia, yang percaya mereka akan menjadi bagian dari Bangsa Indonesia di akan datang. Menurut Leo Suryadinata (2010: 186), kelompok pertama didominasi orang Tionghoa yang imigran baru atau baru datang ke Nusantara. Kelompok kedua dan ketiga didominasi oleh Tionghoa peranakan yang lahir dan besar di Nusantara. Menurut M.D. La Ode (2012: 127) di Kalimantan Barat, pada zaman Jepang sebuah organisasi Tionghoa muncul yaitu Penjaga Keamanan Umum (PKU) dengan anggotanya pendukung Kou Min Tang. Kelompok ini menurut penulis masuk ke kelompok pertama yang berorientasi pada Tiongkok.
Ada
perbedaan antara munculnya identitas Tionghoa di Jawa, seperti di atas dengan
di Kalimantan Barat. Tionghoa di Kalimantan Barat sendiri, menurut
catatan-catatan P.J. Veth (2012: 261-262) sudah dipastikan berdagang dengan
Borneo (Kalimantan) sejak abad ke-16, terutama dengan Banjarmasin. Pada
pertengahan abad 18, terjadi kolonisasi orang Tionghoa yang cukup besar di
Kalimantan Barat. Hal itu terjadi karena tersebarnya kabar tentang kekayaan
emas di Kalimantan Barat. Kedatangan orang Tionghoa pun didukung dengan
undangan Panembahan Mempawah dan Kesultanan Sambas sekitar tahun 1760, yang
memang mengharapkan para pekerja kasar dari Tiongkok untuk menambang emas di
wilayahnya. Berikut kutipan P.J. Veth (2012: 263):
"Raja-raja Melayu sendiri mengundang
orang-orang Cina, yang terkenal sebagai rajin, untuk datang ke wilayah mereka,
pertama-tama untuk menambang emas dan dengan ini memperbesar keuntungannya...
Usaha ini berhasil luar biasa, dan ini mengakibatkan bukan hanya Penembahan
terus mengizinkan orang Cina masuk ke wilayahnya ... tetapi juga mendorong
Sultan Sambas, Omar Akama'd-din untuk mengikuti contohnya."
Bila
di Jawa, di pusat kekuasaan Belanda, identitas Tionghoa terbangun sebagai
pedagang dan kapitalis, dan kemudian pecah ke dalam berbagai identitas, di
Kalimantan Barat identitas Tionghoa adalah pekerja kasar, penambang emas. A.B.
Tangdililing, seperti yang tertulis di M.D. La Ode (2012: 126) mengatakan :
"kedatangan orang Cina di Kalimantan Barat
dilatarbelakangi oleh kondisi yang ada di daratan Cina yang tidak lagi
menguntungkan, khususnya di Provinsi Kwangtung yang dilanda masa panceklik
berkepanjangan waktu itu... Pada waktu yang sama pemerintah Hindia Belanda ...
menghimpun tenaga kerja di negeri itu (Tiongkok) untuk dipekerjakan sebagai
buruh di Pantai Timur Sumatera. Di antara mereka itu ada yang pindah ke
Kalimantan Barat."
![]() |
Sumber: google |
Menelusuri
P.J. Veth (2012) dapat diketahui, bahwa kongsi terbentuk dari gabungan beberapa
kelompok orang Tionghoa penambang emas. Tujuannya untuk bekerja sama dalam hal
mengeruk keuntungan dari emas dan keamanan bersama, karena kongsi tersebut
ingin melepaskan diri dari membayar pajak dan menyetor hasil tambang pada
Kesultanan Sambas dan Hindia Belanda. Kongsi-kongsi terbentuk di daerah
Monterado dan Mandor, dan Kongsi paling terkenal adalah Kongsi Lanfong
(Republik Lanfong). Sementara itu Kesultanan Sambas mempekerjakan orang-orang
Dayak untuk mengawasi keberadaan kongsi-kongsi ini. Pada suatu ketika, menurut
catatan P.J. Veth (2012: 265:266), orang-orang Dayak dibunuh di dalam benteng
Kongsi Tionghoa, dalam sebuah pesta yang dibuat oleh pejabat-pejabat Kongsi
tersebut.
Perjalanan
orang-orang Tionghoa sepanjang masa kolonial Belanda hingga Indonesia merdeka
memang dipengaruhi konteks sejarah seperti dibahas di atas. Demikian pula
ketika Indonesia merdeka, atas dasar dukungan dan solidaritas kelompok Tionghoa
pro Indonesia, banyak orang-orang Tionghoa terlibat dalam pemerintahan Orde
Lama. M.D. La Ode (2012: 12) menelusuri ada 12 menteri beretnis Tionghoa selama
1946-1966. Isu identitas Etnis Tionghoa pada masa Orde Lama berkisar pada
pemilihan warga negara (legal) dan pembauran sosial. Pada awal kemerdekaan
berkembang dengan pesat nasionalisme Indonesia dan juga nasionalisme Tiongkok.
Masyarakat Etnis Tionghoa didesak untuk menyatakan keberpihakannya.
Muncullah
dua kelompok identitas Tionghoa pada masa ini, berdasarkan Leo Suryadinata
(2010: 186) identitas Tionghoa pertama
dipelopori oleh gagasan Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia
(Baperki), sedangkan identitas kedua adalah gagasan Lembaga Pembinaan Kesatuan
Bangsa (LPKB). Kelompok pertama dikenal dengan ide "pro integrasi"
yang berpandangan bahwa identitas Tionghoa dan Tiongkok harus dipertahankan
dalam lingkup Negara Indonesia. Menurut La Ode (2012: 10), "Orang
Indonesia (Indonesian), bagi banyak tokoh Baperki, merupakan suatu konsep
politik. Seorang Tionghoa dapat menjadi orang Indonesia karena ia tinggal di
Indonesia dan jadi warga negara Indonesia." Kelompok ini tidak
mempermasalahkan identitas budaya Tionghoa dalam hubungannya dengan budaya lain
di Indonesia.
![]() |
Sumber: google |
Dengan
berakhirnya masa Orde Baru, kelompok Baperki yang dinilai dekat dengan
kepentingan Tiongkok dan Partai Komunis Indonesia, menjadi pihak yang kalah.
Sedangkan LPKB yang pro Angkatan Darat, bertahan dan menang. Maka di masa orde
baru, dilarang lagi menggunakan nama dengan identitas Tionghoa, sekaligus juga
melarang segala aktivitas budayanya.
Identitas
Tionghoa bangkit kembali setelah orde baru tumbang. Masa reformasi yang
mengedepankan demokrasi dan keterbukaan memberi kesempatan pada Etnis Tionghoa
untuk mengembangkan identitas etnisnya kembali. Puncaknya adalah ketika
Presiden Abdurahaman Wahid mengakui keberadaan identitas budaya Tionghoa dengan
memperbolehkan perayaan Imlek dan pengakuan atas Agama Konghucu. Di masa
Reformasi nama-nama Tionghoa kembali digunakan, perayaan budaya pun semakin
berkembang.
Di
Kalimantan Barat sendiri perkembangan identitas Tionghoa semakin
"mengental" dan semarak. Bisa dilihat dengan meningkatnya jumlah
wisatawan domestik maupun internasional yang menghadiri perayaan Imlek dan Cap
Go Meh di Pontianak maupun Singkawang. Dalam bidang politik, semakin banyak
keterlibatan masyarakat Tionghoa di dewan legislatif. Sementara itu,
Christiandy Sanjaya berhasil menjadi wakil gubernur pertama berdarah Tionghoa
di Kalimantan Barat dan di Indonesia.
Perkembangan
yang demikian pesat tersebut, tidak berarti masalah identitas etnis sudah
selesai. Masih ada benturan-benturan horizontal yang melibatkan Etnis Tionghoa.
Sepanjang masa Reformasi, bentrokan di Gang
.... di Gajah Mada bisa menjadi tolak ukurnya. Selain itu pernah terjadi
juga bentrokan kecil antara Front Pembela Islam dengan rombongan pawai naga
ketika Cap Go Meh ... Kondisi demikian menunjukkan bahwa masalah identitas
etnis di Kalimantan Barat dan juga Indonesia masih menjadi masalah utama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar