Kamis, 27 Maret 2008

Evolusi Manusia: Perjalanan Menuju Kesempurnaan

Scientifie Feature

Oleh: M.S. Mitchel Vinco

Teori evolusi Darwin membawa pada sebuah kondisi bahwa
semua yang hidup akan berkembang dan berubah meski dalam waktu yang lambat sekalipun, termasuk diri kita, manusia………


Banyak kontroversi yang timbul ketika berbicara tentang asal manusia. Apakah manusia dari kera? Jika dihubungkan dengan agama akan bertambah berbelit lagi, apakah Adam dan Hawa kera? Tidak ada jawaban pasti dari permasalahan tentang asal-usul manusia. Namun, akan menarik jika kita tidak menggabungkan seluruh pertanyaan dan melihat fokus permasalahan dari “sains” science.

Bicara masalah perkembangaan manusia, membuat kita harus melihat kembali teori evolusinya Charles Darwin, yang sebenarnya sudah diawali oleh kakeknya yang bernama Erasmus Darwin. Menurut teori evolusi Darwin, perkembangan manusia atau evolusi manusia berdasarkan pada konsep survival of the fittest atau seleksi alam. Seleksi alam tidak dapat diartikan bahwa siapa yang kuat dia yang menang, melainkan semakin tinggi kemampuan mereproduksi diri semakin besar kemungkinan untuk bertahan hidup.

Teori evolusi sendiri sebenarnya juga mengalami evolusi, dimana pada awal mula didasarkan pada seleksi alam. Namun, akhir-akhir ini sudah dikaitkan dengan faktor penurunan gen. Perkembangan bertahap suatu makhluk dapat terjadi akibat perubahan atau mutasi gen dalam rangka penyesuaian diri dengan lingkungannya. Hal ini dapat dilihat secara nyata dari perkembangan pra-manusia menjadi manusia.


Penting untuk kita ketahui bahwa menurut teori evolusi, manusia bukanlah berasal dari kera. Darwin dalam karya evolusinya tidak pernah mengatakan manusia berasal dari kera. Namun, manusia berasal dari makhluk yang disebut primate (primata), primate inilah yang kemudian berevolusi menjadi gorila, ape, simpanse, termasuk juga manusia. Seperti apakah bentuk primate? Tidak ada yang tahu pasti, karena tidak ada bukti fisiknya. Namun, secara gamblang primate mirip seperti kera, tapi bukan kera karena primate adalah nenek moyangnya. Charles Darwin sendiri tidak pernah berkata demikian!


Proses makhluk pra-manusia menjadi manusia tidak terlepas dari proses-proses penyesuaian diri dengan lingkungannya. Proses adaptif ini tampak dalam perubahan fisik dan kemampuan biososial makhluk-makhluk tersebut. Perpindahan lingkungan dari kehidupan di pohon-pohon menjadi penghuni daerah sabana merupakan salah satu proses penting menuju makhluk manusia yang sempurna.


Perkembangan pra-manusia menjadi manusia terjadi melalui proses yang sangat lama dan tidak pernah disadari oleh yang berevolusi, termasuk kita. Poses ini terjadi jauh sebelum sembilan juta tahun yang lalu. Awalnya primate (makhluk pra-manusia) hidup di hutan rimba yang lebat, dimana terdapat pohon-pohon besar dengan daunnya yang rimbun sehingga membuat suasana hutan tersebut lembab dan gelap. Keadaan pohon-pohon besar yang rimbun juga membuat jarak pandang primate terbatas. Jarak pandang yang terbatas membuat primate harus lebih waspada terhadap ancaman. Kedudukan kedua mata yang berjauhan memungkinkan primate untuk dapat memandang lebih luas dan menyebar sehingga dapat menyadari ancaman lebih cepat. Begitu pula dengan keadaan anggota tubuh primate yang lain, semuanya berfungsi sesuai dengan lingkungannya yaitu hutan.


Dengan berjalannya waktu, primate terus bergerak hingga sampailah di daerah sabana atau padang rumput. Proses menjadi manusiapun dimulai. Di sabana primate mendapati daerah yang luas sekali, tidak ada pohon-pohon besar yang menghalangi pandangannya seperti di hutan. Lingkungan sabana menuntut kemampuan primate untuk meningkatkan daya pengamatan terhadap sekelilingnya karena daerah sabana yang luas. Untuk dapat melakukannya, primate diharuskan untuk dapat meninggikan atau menegakkan badan, yang sebelumnya dikondisikan membungkuk di hutan.


Kehidupan primate yang sangat lama di daerah sabana membawa beberapa perubahan, yang terjadi secara bertahap, lamban, dan tidak disadari oleh primate. Pada bagian mata menjadi stereokopis karena pengamatan harus memusatkan perhatian pada daerah-daerah jauh, sehingga kedudukan mata juga menjadi semakin mendekat. Keadaan ini didorong karena primate di darah sabana harus lebih sering memusatkan perhatian pada satu fokus, misalnya binatang buas.


Keadaan alam sabana mengharuskan primate untuk sering meninggikan atau menegakkan badan. Kondisi demikian membuat semakin tegaknya kedudukan tulang panggul. Sehingga pada akhirnya beberapa dari primate dapat berjalan dan berlari dengan mengandalkan pada tumpuan kaki saja.


Sejalan dengan kemampuan primate berjalan dengan kaki saja, maka tangan tidak berfungsi untuk membantu kaki (seperti menggayut di hutan). Tulang belikat pada tangan akan mengalami reduksi dan tidak menghalangi gerakan tangan yang dapat berputar pada sendinya seperti kita sekarang. Tangan yang lebih bebas bergerak akan cenderung mudah melakukan pekerjaan yang lebih rumit, termasuk menggenggam. Salah satu proses evolusi yang penting adalah kemampuan ibu jari untuk bebas bergerak sehingga penting untuk menciptakan alat dan dapat menggantikan sebagian fungsi mulut. Seperti yang kita ketahui, kera atau monyet mengupas pisang dengan mulut. Tangan yang bebas juga membawa kemungkinan untuk lebih bervariasi dalam berkomunikasi sehingga meningkatkan proses belajar.


Proses yang terjadi tersebut bukanlah dalam jangka tahunan saja, melainkan memakan waktu berjuta-juta tahun. Bayangkan saja, bagaimana mungkin makhluk yang mengalami dapat sadar akan proses tersebut. Kebenaran teori evolusi Darwin belum dapat diterima semua ilmuwan termasuk kita. Namun, jikalau teori tersebut benar bayangkan saja puluhan juta kemudian, seperti apakah kita????