Rabu, 21 Oktober 2009

NASIONALISME AGRESIF NAPOLEON... Bagian II

D. Nasionalisme Agresif Napoleon (1799-1813)

Revolusi Brumaire 1799 menjadi tonggak utama, yang kemudian melegitimasi nasionalisme agresif Napoleon ke berbagai penjuru Eropa. Revolusi Brumaire hanya dapat terjadi karena Napoleon Bonaparte sudah sangat masyur dan rakyat menaruh kepercayaan pada pemuda dari Corsica ini.[1]

Revolusi Perancis 1789 dengan panji-panji liberte, egalite dan fraternite telah diturunkan kibarnya, sedangkan demokrasi menjadi pertanyaan besar saat ini, saat seorang Jenderal besar yang masyur dengan kendaraan militer ekspansionisnya menjadi berkuasa di Perancis. Meskipun demikian, sorak-sorai rakyat tetap bergema menyambut hadirnya sang penakluk Eropa ini, dan untuk sementara mengaburkan kendaraan ”pembunuh” yang ditunggangi sang pahlawan Perancis tersebut.

Revolusi Brumaire merupakan revolusi yang dilancarkan oleh kaum militer terhadap revolusi yang pada mulanya dilancarkan oleh sipil. Itulah maksudnya bila dikatakan Revolusi Perancis dimulai oleh sipil tetapi kandas di tangan militer, yang semula ingin menghapus kediktaturan Louis XVI maka dengan berkuasanya Napoleon revolusi telah berputar haluan kediktratur yang lain lagi.[2]

Pada malam pertama sesudah Coup d’Etat itu, sebelum konstitusi baru direncanakan atau diusulkan, Napoleon menunjuk dua panitia untuk merencanakan buku undang-undang. Inilah tindakannya yang pertama dalam kediktatoran. Buku undang-undang ini akhirnya diterima dalam tahun 1804. Buku ini juga disebut Code Napoleon.[3]

Napoleon bertugas sebagai konsul utama hingga tahun 1804. berkat popularitasnya yang semakin menenjak, rakyat Perancis mengijinkannya mengubah konsulat itu menjadi suatu kekaisaran. Napoleon mengundang Sri Paus untuk memahkotainya sebagai Kaisar Perancis di Katedral Notre Dame di Paris 18 Mei 1804.[4] Maka dengan demikian, Napoleon mulai membangun Kekaisaran Perancis-nya di atas legitimasi nasionalisme, atas nama rakyat yang memujanya.

Setelah dipukul angkatan laut Inggris saat ekspedisinya ke Mesir 1798, Napoleon memang sibuk dengan urusan dalam negeri. Akibatnya tahun 1800 Rusia mulai memasuki kancah perebutan kekuasaan di Timur Tengah. Rusia dalam kekosongan konflik Perancis Inggris berhasil menganeksasi Georgia dan menduduki sela-sela strategis di pegunungan Kaukasus pada tahun 1800.[5]

Dengan masuknya kepentingan Rusia di Timur Tengah dan demi membendung kepentingan Rusia tersebut, Inggris mengadakan perjanjian damai dengan Perancis tahun 1802. Masa perdamaian dengan Inggris ternyata tidak melemahkan semangat ekspansionis Napoleon. Pada tahun-tahun damai digunakan Napoleon untuk memperkuat perkapalan Perancis. Semua galangan-galangan kapal di Eropa bekerja sekuat tenaga untuk mempersiapkan kapal bagi armada Napoleon.[6] Kebulatan tekad Napoleon untuk memperkuat angkatan laut merupakan indikasi untuk segera meletus kembali perang antara Perancis dan Inggris. Masa damai ternyata menjadi ”kedok” untuk mengumpulkan kekuatan dan kemudian melakukan revance.

Masih terkait dengan politik luar negeri, Napoleon membutuhkan pemasukan kas negara yang cukup besar untuk menunjang persiapan perang. Tahun 1803, Napoleon menjual tanah koloni Perancis di Amerika yaitu Louisiana kepada Amerika Serikat seharga 15 juta dollar Amerika. Selain untuk mengisi kas negara, penjualan ini juga untuk menutup kemungkinan Inggris untuk mendirikan koloni di Amerika.[7]

Tahun 1805 dimulailah gerakan ekspansi Napoleon. Dengan alasan harus mengalahkan Inggris dahulu baru jaminan kekuasaan di Eropa dan Asia dapat terlaksana, Napoleon dan armadanya merencanakan untuk langsung menyerang Inggris melalui Selat Dover. Pasukan-pasukan darat Perancis yang termasyur dan angkatan laut yang sudah dibangun dengan matang dikerahkan dan dipersiapkan di Boulogne untuk menyeberang menghancurkan Inggris.

Laut dan sosok Nelson – perwiwa angkatan laut Inggris yang mengalahkan Napoleon di Mesir – sepertinya menjadi momok menakutkan bagi pasukan Perancis. Pada tanggal 21 Oktober 1805, Nelson berhasil mengaramkan ambisi Perancis untuk menyerang Inggris. Armada gabungan angkatan laut Perancis dan Spanyol berhasil dihancurkan Nelson di dekat Teluk Trafalgar di pantai Selatan Spanyol.[8] Ini menjadi kekalahan kedua Pasukan Perancis di bawah pimpinan Napoleon terhadap pasukan Inggris di bawah komando Nelson. Ironisnya keduanya terjadi di laut.

Semangat militeristik Napoleon tidak redup begitu saja di Teluk Trafalgar. Di tahun yang sama (1805) Napoleon berhasil memenangkan pertempuran gilang-gemilang di Eropa daratan. Napoleon memukul tentara Rusia dan Austria di Austerlia (1805), tentara Prusia di Jena dan Auerstadt (1806) dan lagi tentara Rusia di Eylau dan Friedland (1807).[9]

Bagaimana dengan Inggris? Harus diakui Napoleon bahwa Inggris memang digdaya di lautan. Namun, tidak berarti Napoleon menyerah kalah terhadap Inggris. Masih terlalu awal bagi Panglima Corsica tersebut untuk kalah. Napoleon kemudian mengeluarkan kebijakan Stelsel Continental atau menutup semua pelabuhan di Eropa untuk Inggris.[10] Tidak ada yang boleh bagi negara-negara Eropa untuk berdagang dengan Inggris. Sekali lagi otoritas Napoleon tampak sangat dominan di Eropa, setelah sebelumnya berhasil ”memaksa” Paus untuk melantiknya sebagai Kaisar (1804).

Inggris untuk ketiga kalinya berhasil mengungguli Napoleon. Inggris membalas Stelsel Continental dengan mengepung perdagangan Eropa dari hubungan dengan wilayah Amerika dan benua lain di seberang samudera. Cara lain yang digunakan Inggris untuk melawan Napoleon adalah dengan memberikan emas kepada musuh-musuhnya dan kepada negeri-negeri netral. Selain itu propaganda juga dilakukan Inggris untuk menjelek-jelekkan pemerintahan Napoleon. Uang-uang palsu juga diselundupkan ke Eropa daratan untuk mengganggu keseimbangan ekonomi di sana.[11]

Meskipun selalu gagal memukul Inggris, Napoleon masih tangguh di daratan. Dalam tahun 1807 Napoleon menyerbu Portugal dan menaruh saudaranya Joseph Napoleon di atas tahta Spanyol (1808).[12]

Tahun 1809 Napoleon mempersiapkan kampanyenya yang terbesar dan yang akan menjadi awal kecelakaan strateginya, yaitu penyerbuan Rusia oleh ”La Grande Armee”(Tentara Agung).[13] Persiapanpun dilakukan hingga tahun 1812. dalam tahun 1812 Napoleon dan tentaranya yang berjumlah besar bergerak menyerbu Rusia. Ditaklukkannya tentara-tentara Rusia dan kemudian terus maju tanpa perlawanan berarti. Pasukan-pasukan Rusia terus menarik diri mundur, sementara pasukan Perancis terus merangsek maju dan akhirnya sampai di muka gerbang Moskow.[14]

Setelah Napoleon dapat mengatur pengepungan terhadap Moskow pada September 1812, angin dingin mulai berhembus yang menandai datangnya musim dingin. Pasukan Napoleon tidak siap dengan kondisi alam demikian, maka terjadi kekacauan di dalam pasukan Napoleon.[15] Di dalam Moskow sendiri, sudah muncul keputusasaan, Tsar Rusia sudah mau menyerahkan diri. Namun, disaat yang genting, Rusia menjalankan taktik membumihanguskan kota Moskow dan semua rute yang akan dilewati Napoleon.

Keadaan yang demikian, musim dingin dan taktik bumi hangus, membuat Napoleon mengambil keputusan untuk menarik pasukannya kembali ke Perancis. Perjalanan pasukan Napoleon ke Perancis justru membawa bencana yang sangat besar. Pasukan Perancis tersebut berjalan pulang dengan letih dan sulit menembus medan salju, sedangkan pasukan Rusia justru melakukan taktik gerilya selama perjalanan tersebut. Ribuan pasukan Perancis tewas, sedangkan yang masih bertahan harus berjalan dengan kaki membeku dan bengkak-bengkak.[16]

Napoleon kemudian meninggalkan tentaranya dan berlari ke Paris untuk mengerahkan segala kekuatan yang masih ada, tetapi Napoleon menderita kekalahan lagi di Leipzig (1813).[17] Inilah serangan terakhir yang bisa dilakukan Napoleon.

E. Akhir Kekuasaan Kaisar Napoleon

Selama sepuluh tahun Napoleon menjadi kaisar di Perancis, dan selama waktu itu pula Napoleon memburu ke seluruh Eropa, dengan perjuangan-perjuangan militer Napoleon merebut kemenangan gilang-gemilang. Segenap Eropa gentar mendengar namanya, memang Napoleon berhasil menjadi penguasa Eropa dan tidak ada yang seperti itu sebelumnya. Ulm, Austerlitz, Jena, Eylau, Friedland, Wagram, adalah nama-nama dari beberapa kemenangan yang termasyur di darat. Austria, Prusia dan Rusia semuanya runtuh di depan Napoleon. Spanyol, Italia, Belanda, sebagian besar Jerman, yang disebut confederasi sungai Rine, Poland sekarang disebut kerajaan Hertog Warshow, semuanya menjadi taklukan Napoleon.[18]

Ironis sekali, setelah kekalahan atau tepatnya kesalahan strategi di front Rusia, Napoleon juga dimusuhi oleh orang-orang yang dulu dekat dengannya. Merasa tidak ada peluang untuk bangkit, Napoleon turun dari tahta pada 11 April 1814. Napoleon mundur dari tahtanya dan dipaksa mengasingkan diri di Pulau Elba yang berbatu-batu.[19]

Nasionalisme militeristik yang dibawa Napoleon selama lima belas tahun akhirnya berakhir pada tahun 1814, seperti halnya Napoleon menumbangkan kekuasaan sipil tahun 1799. Mengapa hal demikian bisa terjadi?

”Menara mercusuar” yang dibangun Napoleon yang sempat menyilaukan daratan Eropa selama lebih dari satu dekade, sebenarnya dibangun dengan fondasi yang keropos. Fondasi keropos tersebut adalah nasionalisme semu dan ambisi Napoleon mendirikan imperium agung, seperti Karel Agung dan Caesar.

Memang anti klimaks agresi militer Napoleon adalah kesalahan strategi di front Rusia, tetapi sesungguhnya bibit kehancuran dinasti Bonaparte ini sudah dipupuk dan tumbuh sejak awal kekuasaannya. Kekalahan di depan kota Moskow hanyalah salah satu faktor yang mempercepat jatuhnya Napoleon beserta dinasti yang hendak dibangunnya. Tanpa itupun Napoleon sudah mengarahkan dirinya pada kekalahan.

Ada berbagai faktor yang menyebabkan berakhirnya kekaisaran Napoleon Bonaparte. Berbagai faktor ini saling terkait, oleh sebab itu tidak bolehlah kita menyederhanakan persoalan jatuhnya Napoleon dengan satu faktor dominan saja.

Faktor pertama adalah nasionalisme yang dikumandangkan Napoleon pada awal dimulainya kepemimpinannya atas Perancis. Nasionalisme yang dikumandangkan Napoleon tidak lebih merupakan nasionalisme semu, yang hanya menjadi alat legitimasi untuk melancarkan ekspansinya ke penjuru Eropa.

Setelah dinobatkan menjadi raja (1804) di Perancis, Napoleon tidak dapat mendasarkan kekuasaanya pada tradisi dan hak ke-Tuhanan, seperti raja-raja sebelumnya. Napoleon mesti mendasarkannya pada kecakapannya dan kemasyurannya di tengah-tengah rakyat, lebih-lebih kaum petani, yang semuanya memang menjadi penunjangnya yang setia, karena mereka merasa bahwa Napoleon telah menolong tanah-tanah mereka.[20] Tetapi kaum petani ini lambat laun merasa jemu juga dengan rhetorasi Napoleon yang mengobarkan panji-panji nasionalisme semu Perancis, mereka merasa jemu harus menyediakan putra-putra mereka untuk peperangan, yang hampir terus menerus terjadi. Kejemuan yang dipupuk terus menerus akhirnya membuat ”mercusuar” yang telah didirikan Napoleon dengan panji-panji nasionalisme mulai goyang.[21]

Napoleon tertarik dengan nasionalisme Perancis, bahkan menggunakannya dalam dasar kekuasaannya, akan tetapi Napoleon sendiri bukanlah nasionalis. Napoleon menyempurnakan negara kebangsaan dengan kekuasaan yang terpusat, dengan sistem undang-undangnya yang seragam, birokrasi dan pendidikan, akan tetapi Napoleon melakukan ini dalam semangat raja-raja abad ke-18. Napoleon bersedia menggunakan aspirasi-aspirasi nasional selama masih sesuai dengan sistemnya, tanpa mempunyai keinginan yang sungguh-sungguh untuk memuaskan rakyat.[22]

Napoleon memberi dorongan yang samar-samar kepada keinginan nasional Italia dan Polandia, akan tetapi Napoleon meletakkan kepentingan-kepentingan nasional itu di bawah kepentingan imperium dan dinastinya. Ambisi Napoleon bukanlah negara kebangsaan, bahkan bukan negara-negara kebangsaan yang diperluas, akan tetapi kebangunan kembali imperium Karel Agung dan Caesar.[23]

Dalam menaklukkan Eropa Napoleon selalu membawa semangat Revolusi Perancis. Rakyat-rakyat di negeri-negeri yang ditaklukan Napoleon, tidak benci terhadapnya bahkan menyanjungnya sebagai pembebas dari tangan-tangan feodal. Di Jerman Feodalisme disapu bersih. Di Spanyol dihabiskannya mahkamah agama. Tetapi semangat kebangsaan yang secara tidak sadar turut dibangunnya dalam negeri-negeri itu, mulai berpaling kearahnya dan akhirnya menaklukkan Napoleon. Napoleon memang dapat mengalahkan raja-raja feodal di eropa, tetapi Napoleon tidak berhasil menguasai rakyat-rakyat yang berdiri melawannya.[24]

Demikianlah bangsa Spanyol bangkit menentang Napoleon. Rakyat Jerman juga mengadakan organisasi di bawah seorang patriot besar, Baron von Stein, yang kemudian menjadi musuh Napoleon yang tidak terkalahkan. Kemudian datanglah perang kemerdekaan Jerman. Demikianlah nasionalisme yang yang telah dibangkitkan Napoleon sendiri bergabung dengan kekuatan Inggris di laut, menyebabkan kejatuhannya.[25]

Faktor kedua adalah kolusi yang dilakukan Napoleon terhadap para saudaranya lelaki maupun perempuan, meskipun mereka sebenarnya tidak memiliki kemampuan yang cakap. Faktor ini disebabkan karena Napoleon berambisi membangun sebuah imperium dimana keluarga Napoleon yang berkuasa. Orang-orang terdekatnya ini, awalnya diharapkan Napoleon untuk mendukung kekuasaannya, tetapi dikemudian waktu merekalah yang bermain mata dengan para musuh Napoleon. Termasuk istri keduanya Maria Louise puteri maharaja Hapsburg dari Austria.

Saudara-saudaranya yang lain bodoh dan sia-sia, tetapi Napoleon tetap menjadikan mereka raja-raja dan pengendali pemerintahan. Hampir setiap saudara-saudaranya berlaku palsu kepada Napoleon dan meninggalkan Napoleon dalam waktu kesukaran. Satu-satunya saudaranya yang sopan adalah Lucien, yang telah membantu Napoleon dalam keadaan genting selama Coup d’Etat tahun 1799, tetapi akhirnya juga bertengkar dengan Napoleon dan menarik diri ke Italia.[26]

Faktor ketiga adalah penghianatan menteri-menteri dalam pemerintahannya terhadap Napoleon. Beberapa dari para menterinya sendiri berkhianant padanya; Talleyrand bersekongkol dengan Tsar Rusia, Fouche dengan Inggris. Napoleon mengetahui bahwa mereka berkhianat, tetapi ajaib, Napoleon hanya menyalahkan mereka dan mengijinkan terus menjadi menteri. Salah satu Jenderalnya, Bernadotte menentang dan menjadi musuh Napoleon.[27]

Akibat dari berbagai faktor tersebut, Napoleon menjadi pemimpin yang sangat diktator, banyaklah orang yang dipenjara dengan tidak diperiksa terlebih dahulu. Nyatalah bahwa pamor Napoleon sedang dimasa krisis. Selain itu penyakit kankerpun mulai menyerangnya di tahun 1812. Berbagai faktor tersebut semakin mempercepat jatuhnya Napoleon dengan didorong faktor keempat yaitu kekalahan La Grande Armee di depan kota Moskow, Rusia. (M.S. Mitchel Vinco/ Makalah pada Kuliah Sejarah Eropa)


[1] Jawaharlal, op.cit, hlm.80.

[2] Adisusilo, J.R.(Ed), op.cit, hlm.30.

[3] Ibid, hlm.81.

[4] Yenne, op.cit, hlm.98-99.

[5] Polak J.B.A.F, Sejarah Dunia Modern, Denpasar, Gunung Agung Bali, 1975, hlm.121.

[6] Idem.

[7] Howard Cincotta (Ed), Garis Besar Sejarah Amerika, Departemen Luar Negeri Amerika Serikat, 1994. hlm. 117. lihat juga Polak, op.cit, hlm.121.

[8] Jawaharlal, op.cit, hlm.83. lihat juga Polak, op.cit, hlm.122.

[9] Polak, op.cit, hlm.122.

[10] Idem. Lihat juga Jawaharlal, op.cit, hlm.83.

[11] Jawaharlal, op.cit, hlm.83.

[12] Polak, op.cit, hlm.123.

[13] Ibid, hlm.124.

[14] Jawaharlal, op.cit, hlm.86.

[15] Yenne, op.cit, hlm. 99.

[16] Jawaharlal, op.cit, hlm.87.

[17] Polak, op.cit, hlm.124.

[18] Jawaharlal, op.cit.hlm.82.

[19] Ibid, hlm.87.lihat juga Yenne, op.cit,hlm.100.dan juga Polak, op.cit, hlm.124.

[20] Jawaharlal, op.cit, hlm.82.

[21] Idem.

[22] Hans Kohn, op.cit.hlm.39.

[23] Idem.

[24] Jawaharlal, op.cit, hlm. 84.

[25] Idem.

[26] Ibid, hlm.85.

[27] Ibid, hlm.86.

NASIONALISME AGRESIF NAPOLEON BONAPARTE (1799-1814) Bagian I

A. Napoleon “Si tangguh” dari Corsica

Napoleon Bonaparte lahir dalam tahun 1769 di pulau Corsica, yang menjadi bagian Perancis. Napoleon sebenarnya campuran Corsica, Perancis dan Italia. Dia dilatih di sekolah militer di perancis, dan selama revolusi menjadi anggota golongan Jacobin.[1] Ambisi Napoleon muda mulai terlihat di sini, apalagi setelah diketahui bahwa Napoleon menggabungkan diri dengan orang-orang Jacobin, semata-mata untuk memajukan kepentingan dan kemajuannya sendiri, dan bukanlah karena percaya dalam cita-cita mereka. Dikemudian hari ketidakterikatan Napoleon terhadap suatu partai politik, menyebabkan Napoleon dengan leluasa menerapkan sistem politiknya. Bahkan ketika harus membentuk pemerintahan koalisi (1795) dengan ”muntahan peluru untuk rakyat” dan di lain saat harus membubarkannya pada November 1799. Peristiwa itu kemudian dikenal dengan revolusi Brumaire, sekaligus menjadi starting point berkuasanya Napoleon di Perancis secara mutlak..

Kembali ke masa mudanya, pada tahun 1793 saat berusia 24 tahun, Napoleon menang untuk pertama kalinya dalam pertempuran di Toulon. Pemberontakan Toulon merupakan penghianatan orang-orang kaya yang merasa dirugikan oleh revolusi Perancis. Orang-orang kaya ini mengundang dan meminta perlindungan dari tentara Inggris, perbuatan tersebut tentu menjadi bencana bagi Perancis yang baru memulai pemerintahan sipilnya sejak 1789.

Napoleon kemudian membinasakan kaum pemberontak itu dan mengalahkan pasukan Inggris di Toulon oleh serangan yang amat ulung. Bintangnya mulai gemerlapan sekarang, dan pada usia 24 tahun Napoleon menjadi Jenderal.[2]

B. Pemerintahan Teror Jacobin (1793-1794)

Di dalam negeri Perancis – diwaktu Napoleon sibuk dengan perang-perang diluar – terjadi pergolakan antara golongan-golongan, terutama golongan Gerondin[3] dan Jacobin.[4] Tahun 1793, pada tanggal 21 Januari, kaum Gerondin disingkirkan dari puncak pemerintahan oleh golongan Jacobin. Di waktu yang sama Raja Perancis juga dibunuh oleh golongan Jacobin. Naiknya Jacobin sebagai golongan tertinggi di pemerintahan tidak serta merta membawa perbaikan. Usaha memperbaiki ekonomi dan masalah-masalah dalam negeri lainnya ternyata mengalami kesulitan.

Pada pemerintahan Jacobin, semangat revolusi memang berhasil untuk menangkis lawan-lawan yang datang dari luar – dibuktikan dengan kemenangan Napoleon di Toulon – namun gagal mengatasi kesulitan-kesulitan dalam negeri yang diperburuk oleh gerakan-gerakan kontra revolusi yang dilancarkan oleh sisa-sisa Gerondin lainnya.[5] Akibatnya banyak sekali pemberontakan, pembangkangan dari pemerintah daerah terhadap pemerintahan pusat di Paris antara tahun 1793-1794.

Pertentangan dalam dewan Konvensi dan antara golongan-golongan memaksa Robespierre pemimpin Jacobin menerapkan pemerintahan teror. Kebijakan ini diawali dengan dibentuknya Panitia Keselamatan Umum dan disusul dengan Komite keamanan Umum pada bulan agustus 1793. Kedua lembaga inilah yang kemudian melakukan teror, terutama bagi lawan-lawan politik Jacobin.

Mulai bulan april hingga Juli 1794 puluhan ribu ’musuh revolusi” dari kalangan bangsawan, pejabat gerejani, kaum royalis, Gerondin, bahkan Jacobin seperti Danton, Roland, diajukan ke depan Pengadilan revolusioner serta di kirim ke tiang guillotin.[6] Kondisi demikian telah menghancurkan sendi-sendi demokrasi dan hak asasi yang diperjuangkan sejak revolusi Perancis tahun 1789. Situasi itulah yang mendorong militer untuk turun tangan dengan melakukan kudeta.

Jenderal Hanriot, Panglima militer dari distrik kota Paris menangkap Robespiere dan ”dedengkotnya” tanggal 27 Juli 1794 dan kemudian pada tanggal 28 Juli langsung dijatuhkan hukuman guillotin oleh Dewan Konvensi.

Bermula dari tahun 1794 inilah, campur tangan militer mulai mangambil peran besar di dalam negeri Perancis. Pada awalnya campur tangan militer hanya untuk menstabilkan kondisi politik yang sudah sangat ekstrim gerakannya. Hal itu pula yang diingini rakyat Perancis kebanyakan, yang merasa dirugikan dan terancam oleh gerakan ekstrim penguasa, sehingga melegitimasi kudeta militer 1794 di Paris, Perancis. Analisis ini juga sesuai pendapat Crane Brinton, dalam bukunya Anatomi Revolusi (terjemahan), yang mengatakan ”dalam revolusi-revolusi ini golongan radikal pada satu hal mewakili atau melaksanakan apa yang dikehendaki oleh jiwa, kemauan, semangat bangsa-bangsa mereka masing-masing”[7]

Golongan ekstrimis, dalam hal ini gerakan ekstrim dari militer, mendapat kemenangan oleh karena mereka memegang pengawasan terhadap pemerintahan tidak sah (Golongan Girondin, royalis dan bangsawan) dan kemudian merubahnya dalam suatu coup d’etat yang menentukan, atas pemerintahan yang sah (Jacobin).[8]

C. Dewan Directoire hingga Revolusi Brumaire (1795-1799)

Segera setelah Coup d’etat Jenderal Hanriot, Dewan Konvensi sebagai lembaga legislatif segera mempersiapkan Konstitusi baru. Pada bulan oktober 1795, lima belas bulan kemudian, rapat nasional dibubarkan dan sebuah majelis terdiri dari lima anggota menjadi pengendali pemerintah.[9] Pemerintahan itu kemudian disebut Dewan Direktoire. Di antara kelima direktur tersebut adalah Abbe Seiyes, Henriot dan Napoleon Bonaparte, namun Napoleon masih sibuk di medan perang menghadapi koalisi.[10]

Perancis mengalami guncangan berat di dalam negeri. Pemerintahan apapun, dari golongan manapun, akan sulit menstabilkan situasi di Perancis. Dewan Direktoire mengalami nasib serupa. Kendaraan militer yang mereka bawa tidak mengurungkan perlawanan dari pihak oposisi yang dipimpin sisa-sisa kaum royalis dan Jacobin.

Konstitusi baru yang mencoba menghapuskan pemerintahan diktatur tidak mendapat sambutan positif dari rakyat dan justru di bawah hasutan kaum royalis, mereka melancarkan pemberontakan Oktober 1795.[11] Kejadian itu akhirnya mampu ditumpas oleh seorang jenderal muda dari tentara republik, Napoleon Bonaparte, yang berani menembaki khalayak Perancis.[12] Hanya dengan ketegasan militeristik Napoleonlah pemberontakan tersebut dalam waktu singkat dapat dipadamkan.

Dari dalam negeri, kita beralih ke font lain di luar negeri. Seperti diungkapkan di awal, kondisi dalam negeri yang kacau ternyata tidak memberi dampak berarti pada politik luar negeri. Perancis dengan panji-panji nasionalisme menancapkan cakar-cakar pengaruhnya di berbagai sudut daratan Eropa. Gerakan ekspansif tersebut dipimpin oleh pemuda dari Corsica yang kita kenal, yaitu Napoleon Bonaparte. Meskipun menjabat sebagai salah seorang dari Dewan Directoire, Napoleon tidak dapat meninggalkan nalurinya sebagai seorang militer yang haus kekuasaan.

Dalam tahun 1896 Napoleon menjadi panglima tentara Italia dalam ekspansi ke Italia Utara. Bangsa-bangsa Eropa dikejutkan dengan kemenangan gilang gemilang Napoleon di Italia Utara tersebut.[13] Setelah memenangi pertempuran di Italia Utara dan mengalahkan Austria di sana dan menghabiskan republik purba Venesia, dia kembali ke Paris sebagai pahlawan besar yang telah mengadakan rebutan-rebutan yang membanggakan. Pada waktu itu Napoleon sudah mulai menguasai Perancis dengan karisma dan popularitasnya.[14]

Pasca kemenangan di Italia Utara, Napoleon belum tertarik untuk duduk sebagai pemimpin Perancis. Namun, saat itu saja karismanya sudah dapat mempengaruhi hampir seluruh rakyat Perancis. Tampaknya hanya menunggu waktu saja, Napoleon akan menjadi orang nomer satu di Perancis. Meskipun demikian ada satu keinginan yang ingin dicapainya dahulu, yaitu menguasai Mesir, wilayah yang sangat dipuja Napoleon dari masa kanak-kanaknya.

Mesir pada waktu itu menjadi bagian dari kemaharajaan Turki Ottoman yang sedang merosot, akibatnya yang mengendalikan Mesir adalah orang-orang Mameluk atas nama Sultan Turki. Napoleon sebagai ahli dalam peperangan di darat dengan mudah dapat menaklukan Mesir. Tetapi ternyata kedigdayaan Napoleon di darat tidak diimbangi kekuatan laut yang cakap. Sedangkan Inggris mempunyai perwira-perwira laut yang tangguh seperti Nelson. Akibatnya sudah dapat dikira, Napoleon terisolasi dari hubungan dengan Perancis karena laut dikuasai Inggris.

Meskipun Napoleon memperoleh kemenangan yang gilang-gemilang di Mesir, ekspedisi ke Timur ini dapat dikatakan gagal. Oleh karena itu, Napoleon kembali ke Perancis dan mengurbankan Mesir.[15]

Di dalam negeri Perancis, pemerintahan koalisis Thermidor tidaklah berjalan lancar karena krisis pangan antara tahun 1795-1797 menimbulkan inflasi besar-besaran, harga melonjak tak terkendali, kerusuhan meluas di kota-kota Perancis sehingga bahaya perang saudara mengancam.[16]

Dalam kondisi seperti ini Napoleon yang sebelumnya ada di Mesir segera bergegas pulang dan dengan dukungan penuh dari militer, Dewan Direktoire dibubarkan di Brumaire bulan November 1799. Peristiwa ini dekenal dengan Revolusi Brumaire. Dengan kudeta tersebut Napoleon mendirikan pemerintahan Konsuler, yang terdiri dari tiga orang. Dalam kenyataan Napoleon menjadi konsul utama dan menjadi penguasa tunggal sejak tanggal 15 Desember 1799.[17][18] (M.S.Mitchel Vinco/ Makalah pada kuliah Sejarah Eropa)


[1] Jawaharlal Nehru, Lintasan Sedjarah Dunia II, Djakarta, Balai Pustaka, 1951, hlm.76.

[2] Ibid, hlm.77.

[3] Golongan Gerondin merupakan salah satu wadah kaum nasionalis, menghimpun kaum borjuis, pedagang, industrialis, mempunyai kedudukan ekonomi yang kuat, juga menguasai parlemen-parlemen di berbagai kota di Perancis. Tokoh gerondin: Brissot, Roland, Concordet. Adisusilo. J.R., Kapita Selekta Sejarah Eropa Abad XVIII-XIX, Yogyakarta, Univeersitas Sanata Dharma, 1998, hlm. 41.

[4] Golongan Jacobin merupakan perkumpulan kaum buruh dan petani, bersifat radikal dan ekstrim. Sudah beberapa kali melakukan pemberontakan tahun 1780 sampai 1785-an. Tokohnya: Robespierre dan Petion. Selain Gerondin dan Jacobin terdapat juga golongan Cordellier (kaum terpelajar dan teknokrat) dan kaum konstitusionalis. Ibid.hlm.41.

[5] Adisusilo, J.R. (Ed), op.cit., hlm. 28-29.

[6] Ibid. hlm.29.

[7] Crane Brinton, Anatomi Revolusi, Djakarta, Bhratara, 1962, hlm.182.

[8] Ibid, hlm.179-180.

[9] Jawaharlal, op.cit, hlm.67.

[10] Adisusilo, J.R.(Ed), op.cit, hlm.30.

[11] Idem.

[12] Jawaharlal, op.cit. hlm.67.

[13] Ibid, hlm.77.

[14] Ibid, hlm.78.

[15] Ibid, hlm.79.

[16] Adisusilo, J.R.(Ed), op.cit, hlm.30.

[17] Idem.

[18] Idem.