Rabu, 25 Oktober 2017

HUBUNGAN KERAJAAN SINTANG DENGAN BELANDA (PEMBELAJARAN SEJARAH LOKAL DIPANDANG MELALUI TEORI KONSTRUKTIVISME JEROME BRUNER)

      A.    Sejarah Lokal
Penggunaan istilah “lokal” pada umumnya berkaitan dengan istilah “nasional” dan “global”. Lokal menunjukkan wilayah yang paling kecil dan sempit bagi interaksi sosial masyarakat, sedangkan nasional dibatasi oleh kedaulatan politik, dan global menandakan wilayah keseluruhan dunia. Hal ini berakibat pada konsekuensi logis yaitu jika ada sejarah lokal, maka ada sejarah nasional dan sejarah global (internasional).
Sejarah lokal menurut Kuntowijoyo (2003) adalah peristiwa sejarah yang terjadi di lingkup lokal, yang berisi tentang permasalahan sosial, ekonomi, kebudayaan, dan politik di kawasan perdesaan. Menurut Abdullah (1985), sejarah lokal merujuk pada satu komunitas atau unit adminstrasi tertentu seperti perdesaan atau perkotaan maupun suatu ikatan sosio-kultural dalam sebuah masyarakat. Dengan demikian sejarah lokal merupakan sejarah yang berpengaruh pada suatu kawasan tertentu saja, sebuah kota atau sebuah desa (kampung) . Hal ini membawa pada konsekuensi logis kembali yaitu sejarah nasional adalah sejarah yang berpengaruh pada sebuah negara, dan sejarah internasional adalah sejarah yang berpengaruh pada lebih dari satu negara.

Kamis, 19 Oktober 2017

MASYARAKAT PEDALAMAN DI KALIMANTAN BAGIAN BARAT HINGGA ABAD KE-19


(Sumber: google.com)
A.    Pendahuluan
Sjamsuddin (2005) mengutip ATEEC (Advanced Technology Environmental Education Committee) mengatakan bahwa para peserta didik akan belajar dengan baik dan menguasai apa yang mereka telah pelajari ketika: (1) mereka tertarik dengan mata pelajaran yang diajarkan, dan (2) pembelajaran mengandung konsep-konsep yang dapat diterapkan pada kehidupan sehari-hari. Pengalaman penulis secara empiris membenarkan apa yang dikatakan Sjamsuddin, bahwa peserta didik belajar dengan antusias ketika mereka mengalami ketertarikan pada penampilan pendidik yang menarik (ganteng, cantik, lucu, ramah), materi, media, dan metode pembelajaran yang menarik. Selain itu, peserta didik juga mengalami kebermaknaan dengan wacana-wacana, isu-isu, atau konsep-konsep yang dekat dengan diri mereka seperti kebudayaan populer, permasalahan remaja, sejarah lokal, dan permasalahan lingkungan di sekitar mereka.
Pendidikan sejarah juga dihadapkan dengan permasalahan yang sama yaitu terkait dengan ketertarikan dan kebermaknaan pembelajaran sejarah bagi diri mereka, baik secara individual dan sosial. Dalam artikel ini penulis tidak membahas persoalan ketertarikan yang identik dengan kemasan atau bagian luar. Namun, artikel ini ingin membahas salah satu narasi yang terkait kebermaknaan materi pembelajaran sejarah yaitu sejarah lokal.

MULTIKULTURALISME DALAM PENDIDIKAN SEJARAH KEBUDAYAAN SEBAGAI PENDIDIKAN KEDAMAIAN (Analisis Fenomena di Kalimantan Barat)


(Sumber: google.com)
A.    Pendahuluan
“Mereka yang tidak belajar dari masa tiga ribu tahun berarti tidak memanfaatkan akalnya” (Goethe, 1749-1832). Itulah nasehat sekaligus sindirian satir dari sastrawan dan sejarawan Prusia tersebut kepada kaum terdidik yang tidak mau belajar dari panjangnya durasi narasi sejarah. Sementara itu pada zaman sesudah Goethe, seorang filsuf Prusia memperingatkan “kembali” para intelektual (sejarawan) yang melahirkan begitu banyak karya dengan “penulisan sejarah kita yang sedemikian maju, mengandung bahaya bahwa masa silam … terletak di muka kita sebagai suatu benda yang mati” (Nietzsche, 1889-1900).
Goethe dan Nietzsche berada pada masa yang relatif lampau untuk masyarakat saat ini tetapi masih memberikan peringatan yang kontekstual, terutama pada pembahasan yang akan dilakukan penulis tentang pendidikan sejarah, kebudayaan lokal, dan pendidikan kedamaian. Pendidikan sejarah dewasa ini terlalu “nyaman” dengan sejarah politiknya, sedangkan kebudayaan lokal terlalu sering diidentikkan dengan kesenian dan kegiatan seremonialnya, sementara itu pendidikan perdamaian-kedamaian selama ribuan tahun sering kali “senyap” dengan konflik kekerasan. Sebagian besar wacana dalam penulisan ini bukanlah hal baru, tetapi berusaha mengingatkan pembaca untuk terus berjuang menjadikan sejarah di sekitar kita bukan sebagai benda-benda yang mati.

MULTIKULTURALISME: BAHASA TUHAN YANG MEMBUMI (SEJARAH PERKEMBANGAN AGAMA KATOLIK)


Sumber: google.com
Tahun 2007 dan 2008 dunia maya dihebohkan dengan film berjudul Zeitgeist, karena film tersebut mengatakan bahwa Agama Kristen adalah peniruan dari agama-agama kuno di Mesir, India, Persia, Yunani, dan Romawi. Argumen Zeitgeist bermula dari kejanggalan tanggal 25 Desember sebagai hari kelahiran Yesus. Bagaimana mungkin, para gembala yang menyaksikan kelahiran Yesus, menggembalakan ternaknya di padang rumput ketika musim dingin? Ya, tanggal 25 Desember belahan Bumi Utara memang sudah masuk ke musim dingin, di mana tumbuhan berhenti berkembang, hewan-hewan berhibernasi atau bermigrasi ke daerah Selatan yang lebih hangat.
Orang-orang Kristen sangat marah dengan film Zeitgeist, bahkan banyak menyatakan film ini terlarang. Bagi pemeluk agama yang merasa agamanya satu-satunya kebenaran, merasa terhina dengan penistaan film Zeitgeist.

Minggu, 01 Maret 2015

IDENTITAS TIONGHOA DI KALIMANTAN BARAT (Bag.2)

(Sambungan dari bagian 1)


Sumber: google
Dengan datangnya berbagai imigran asing ke Indonesia periode 1860-1890 dan 1900-1930, Belanda melakukan kebijakan pembagian kelas. Kelas satu adalah orang Belanda dan bangsa Eropa, kelas kedua adalah golongan yang disebut Timur Asing, meliputi Tionghoa dan Arab, sedangkan kelas ketiga adalah penduduk asli setempat yang disebut pribumi. Pembagian kelas ini demi kepentingan politik dan ekonomi Belanda. Pertama, dengan meletakkan orang Eropa di startifikasi tertinggi, maka akan menjaga kekuasaannya. Kedua, meletakkan golongan Timur Asing di tempat kedua akan menjaga jaringan perekonomiannya, mengingat golongan Timur Asing adalah urat perdagangan saat itu. Ketiga, menempatkan kelompok pribumi di bawah berarti terus menjaga otoritas Belanda terhadap Nusantara pada saat itu. Bagi golongan pribumi yang ada di bawah, kedua kelas di atas tentu saja akan sulit dibedakan. Kesamaan kelas satu dan kelas dua adalah keduanya sama-sama menindas kelas ketiga. Sedangkan tentu, saja dalam logika sederhana kelas kedua pun pasti tertindas oleh kelas pertama.

IDENTITAS TIONGHOA DI KALIMANTAN BARAT (Bag.1)

Identitas Tionghoa, seperti halnya identitas Dayak, 
tidak mudah untuk digeneralisir. 

       
Sumber: google
Seperti halnya identitas Dayak, identitas Tionghoa akan dikupas dari sudut etimologis, sejarah, politik, dan sosial.


Permasalahan istilah Tionghoa mengalami pasang surut dalam perjalanan Bangsa Indonesia. Ada masanya bangsa tersebut dipanggil Cina, China, Chinese Shina, Shin, Tionghoa, dan Tiongkok. Menurut Leo Suryadinata, dalam bukunya Etnis Tionghoa dan Nasionalisme Indonesia (2010: 200), "... bagi orang Tionghoa yang masih sadar dengan tradisinya, istilah Cina itu merupakan lambang pelecehan etnis dan diskriminasi." Sementara itu, bertentangan dengan Leo Suryadimata, M.D. La Ode dalam Etnis Cina Indonesia Dalam Politik (2012) justru menggunakan istilah Etnis Cina Indonesia (ECI) untuk menyebutkan kelompok yang sama. Argumen La ODe adalah,

IDENTITAS DAYAK DI KALIMANTAN BARAT (Bag. 2)

(Sambungan dari bagian 1)

Terbentuknya identitas Dayak pasca kemerdekaan Indonesia, mendapat babak baru di sekitar tahun 1940-an bermula dari dibentuknya Kantor Urusan Dayak pada awal 1946. Mengenai hal ini, Taufiq Tanasaldy dalam penelitiannya “Politik Identitas di Kalimantan Barat”, yang terdapat dalam buku “Politik Lokal di Indonesia” (2007), mengungkapkan demikian, “Kantor tersebut melancarkan beberapa inisiatif untuk mengemansipasi orang Dayak dan berhasil mendapatkan jaminan dari pihak kesultanan untuk menghapus segala praktik diskriminasi terhadap orang-orang Dayak.” (Henk Schulte ed., 2007: 464). Kenyataan demikian, meskipun merupakan hal yang lebih baik, tetapi dalam pembentukan identitas, tetap saja meletakkan identitas Dayak dalam bentuk yang pasif. Dayak bagaimanapun juga tetap menjadi obyek sebagaimana yang terjadi pada pembentukan identitas Dayak pada masa kolonial.
Danau yang duluanya adalah Sungai Embaloh (doc. penulis)

Rabu, 28 Januari 2015

IDENTITAS DAYAK DI KALIMANTAN BARAT (Bag. 1)


"Etnis Dayak sebagai sebuah konsep 
bukanlah kelompok yang mudah diidentifikasikan"

(doc. penulis)
Etnis Dayak sepanjang perjalanan sejarah telah diyakini sebagai penduduk asli Kalimantan Barat. Setidaknya catatan sejarah yang dikeluarkan ilmuwan Belanda P.J. Veth “Borneo’s Westerafdeeling Geographisch, Statistisch, Historisch” tahun 1856, yang dialihbahasakan oleh Pastor Yeri OFM, Cap., dengan judul “Borneo Bagian Barat Geografis, Statistis, Historis” tahun 2012,  mengatakan demikian,

“... di tengah-tengah bermacam hubungan dan persatupaduan dan percampuran, atau dari permusuhan dan penolakan, dan di bawah keadaan alamiah dari udara dan tanah, produk-produk tanah dan karena itu satu cara hidup, berangsur-angsur, membentuk masyarakat itu, yang dianggap sebagai yang tertua dan asli, yang pada umumnya dikenal dengan nama Dayak, …” (Yeri [pent], 2012: 154)

 Meskipun P. J. Veth menjadi sumber yang cukup tua, masih saja pembahasan identitas Dayak menjadi hal yang tidak mudah dilakukan. Hal ini ditunjukkan dengan pernyataan P. J. veth sendiri, “…sebagai yang tertua dan asli, yang pada umumnya dikenal dengan nama Dayak, tetapi memuat satu perbedaan besar suku-suku yang masih sekarang ini berbeda satu sama lain dalam rupa, bahasa, cara hidup, konsepsi-konsepsi agama, dan tingkat kebudayaan.”(Yeri pent., 2012: 154).