Kamis, 21 Februari 2008

Kejujuran di Antara Pragmatis dan Traumatis

Kejujuran merupakan komoditi dari moralitas, dimana harganya adalah

kepuasaan batin yang bersumber dari hati nurani.

Kejujuran di dunia pragmatis yang berkembang saat ini, bagaikan dongeng gadis penjual korek api, yang kesepian dan berharap akan indahnya sebuah mimpi. Mimpi tentang dunianya yang ideal, dunia yang ramah, saling menghargai dan penuh dengan cinta dalam keluarga. Sayang dunia yang terbentang bukanlah dunia ideal, yang ada hanya realitas, yang terdiri dari fakta-fakta keras yang individualis, egois dan tidak berbelas kasih. Kejujuran kinipun hampir menjadi dongeng di masyarakat.

Berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat saat ini, memang tidak diimbangi dengan berkembangnya budaya refleksi atas nilai-nilai sejarah, sastra dan filosofi. Perkembangan IPTEK dan globalisasi membuat semakin kencangnya arus konsumerisme, akibat banyaknya pilihan produk dan jasa dalam perdagangan. Sementara di sisi lain kebijaksanaan-kebijaksanaan masa lampau yang terdapat di dalam peristiwa sejarah, literatur sastra, maupun ide-ide filsafat sudah jauh ditinggalkan oleh manusia.

Manusia yang hidup pada era IPTEK ini adalah manusia-manusia mekanik, manusia yang hilang ingatan, bergerak dalam sistem yang mengejar materi-materi ekonomi yang hakikatnya musnah sama seperti manusia. Sesuatu yang bernilai atau layak dikejar pada jaman ini hanyalah sesuatu yang bernilai guna pada saat ini juga. Itulah kehidupan pragmatis, yang menilai segala sesuatu dari segi kegunaan praktis bagi dirinya sendiri..

Akibatnya, kejujuran kini menjadi sebuah mitos belaka. Kejujuran dalam budaya pragmatis tidak mempunyai harga, tidak punya daya beli dan daya jual. Kejujuran tidak memiliki kegunaan praktis bagi pelakunya. Moralitas dan hati nurani sudah menjadi sesuatu yang abstrak. Jadilah kejujuran hanya “seonggok” nilai yang terlantar di tengah lalu lalangnya manusia-manusia pragmatis yang individualis, egois dan “terlalu” ekonomis. Suatu ketika seorang olahragawan badminton berkata “buat apa nasionalis, emang nasionalis bisa saya makan, bisa memberi saya uang?”. Mungkin hal serupa terjadi pada kejujuran, “buat apa kejujuran, emang kejujuran bisa dimakan?”.

Di tengah-tengah badai pragmatisme yang melanda manusia Indonesia, berhembuslah “angin dingin” dari masa lalu, yang membawa masyarakat pada kenangan kelam tentang kekerasan, penindasan dan pengucilan bagi mereka yang menentang penguasa. Kenangan tersebut seakan mengalir dalam setiap darah masyarakat dan membuat masyarakat menjadi trauma. Trauma yang menyebabkan ide-ide kebijaksanaan seperti kejujuran, rela berkorban, keadilan, demokratis menjadi terlupakan. Trauma yang menjadikan safety first adalah pilihan mutlak, bahkan bila bertentangan dengan hati nurani.

Apa yang terjadi pada pembantaian besar-besaran di Jawa dan Bali pada akhir 1965 hingga awal 1966, yang ditujukan bagi orang-orang yang dianggap partisipan PKI (Baskara:2006), telah membawa dampak psikis bagi masyarakat. Cara-cara penanganan yang tidak manusiawi dan tidak melalui proses hukum telah menyebar dari mulut ke mulut, mengalahkan peran media massa, menyebarkan hawa traumatis yang menakutkan. Tidak hanya bagi sanak saudara korban, tetapi juga bagi mereka yang tidak tahu apa-apa, yang menjadi satu kesatuan dalam sistem interaksi sosial. Rasa takut itu telah mengunci kesadaran masyarakat, dan menjadi patuh pada penguasa adalah pilihan utama, meskipun jika harus mengorbankan kejujuran.

Keadaan-keadaan lainnya turut mendukung meningkatnya kadar traumatis masyarakat, seperti peristiwa malari 1974, kudatuli 1996, maraknya penembak misterius, kematian para pejabat negara secara misterius dan penyelesaian masalah yang sebagian besar menggunakan kekerasan, hingga hal-hal yang dianggap sepele misalnya diskrikinasi etnis dan agama, penyulitan dalam mengurus administrasi, pemilu yang diarahkan, korupsi, kolusi dan nepotisme. Kondisi demikian membuat masyarakat terikat dan membentuk mentalitas “penjilat” atau cari selamat (safety first), entah itu karena rasa takut atau hanya demi mencari ”kemudahan” saja dalam urusan administrasi. Menuruti kemauan penguasa menjadi pilihan utama yang tersedia.

Demikianlah sosialisasi budaya terjadi dan menemukan bentuknya pada dewasa ini. Budaya masyarakat pragmatis yang muncul akibat globalisasi dan berkembangnya IPTEK melebur dengan traumatisme akibat kelamnya sejarahnya Indonesia, membentuk karakter-karakter manusia Indonesia yang kurang menghayati nilai-nilai kebijaksanaan. Kejujuran semakin ditinggalkan, tidak hanya karena kejujuran tidak pragmatis, tetapi juga karena rasa takut yang berlebihan, mencari selamat sendiri dan bermuka dua.

Kejujuran menjadi komoditi yang langka, yang menjadi mahal, namun ironisnya tidak ada yang mengejarnya. Bahkan kejujuran cenderung terlupakan. Hal tersebut disebabkan karena kejujuran merupakan komoditi dari moralitas, dimana harganya adalah kepuasaan batin yang bersumber dari hati nurani. Hanya mereka yang masih menyisakan kesadarannya untuk merefleksi dan belajar dari kebijaksanaan masa lampau yang masih mengejar kejujuran dan membaginya secara sukarela. Masih adakah mereka?

Minggu, 17 Februari 2008

Pendidikan Kembali ke Tujuan Awal

Individu-individu kuat sepatutnya bergabung, mengangkat sebangsanya yang lemah, memberinya lampu pada yang kegelapan dan memberi mata pada yang buta.
(Jejak Langkah: Pramoedya A.T.)
Apa tujuan kita ketika berada di perguruan tinggi (PT)? Sebagai mahasiswa? Banyak yang berpendapat ini adalah usaha untuk mempermudah mendapat pekerjaan. Ada juga yang ingin mencapai mimpinya, ingin mendapat kerja dengan honor besar, prestise di masyarakat dan lain-lain. Intinya tetap sama yaitu pekerjaan bagi orang tersebut. Pihak perguruan tinggi juga tidak mau membuang kesempatan ini. Mereka berusaha mempromosikan PT masing-masing sebagai PT yang dapat menjamin pekerjaan bagi mahasiswanya. Seakan-akan wajar, sewajar mekanisme pasar, kebebasan bagi terjadinya permintaan dan penawaran.
Tahukah anda bagaimana ilmu pengetahuan lahir?Pada awalnya hanya ada ilmu filsafat, ilmu yang berusaha menjawab seluruh ”kebingungan” atau rasa penasaran manusia akan alam dan dirinya sendiri. Dengan bertambahnya waktu, kehidupan manusia semakin kompleks. Filsafat kemudian berkembang dan lahirlah ilmu-ilmu seperti: matematika, fisika, etika, bahasa, musik, arsitektur, dan seterusnya. Semua ilmu pengetahuan mempunyai satu kegunaan sebagai jawaban teoritis dari persoalan hidup manusia. Sedangkan jawaban konkrit dari persoalan hidup manusia dinamakan teknik.
Mari kita kembali ke jaman sekarang! Realitas menunjukkan kita adalah segelintir orang yang dapat memperoleh ilmu pengetahuan dan teknik. Kita lebih dapat memahami realitas dunia dan problematikanya, dibandingkan orang-orang yang tidak memperoleh pendidikan. Dari dasar logika tersebut, dapat disimpulkan bahwa kehidupan manusia akan lebih baik karena telah lahir golongan-golongan terdidik. Bukankah ilmu pengetahuan dan teknik muncul karena kebutuhan manusia? Demikian pula lahirnya golongan terpelajar demi menjawab segala persoalan hidup.
Namun, realitas juga menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan dikejar hanya untuk kepentingan modal, kepentingan pasar liberal. Setiap tahun, lulusnya para pelajar dilanjutkan dengan gelombang besar yang melamar pekerjaan di instansi-instansi negeri dan swasta. Padahal instansi-instansi tersebut berdiri dengan usaha-usaha yang tidak berpihak pada rakyat kecil. Intelektual yang masuk di dalamnya secara tidak langsung akan mengabdikan pengetahuannya pada kepentingan perusahaan, maka lahirlah penindas-penindas baru. Sementara kemiskinan masih saja merajalela di masyarakat.
Jika menurut Sartre ”kita dihukum untuk bebas” maka semua adalah pilihan bebas kita. Hanya, apakah kita bebas setelah kita menyadari bahwa ”kita sadar bebas”, ataukah kita hanya didorong untuk berpikir bahwa ”kita bebas”?
Seandainya ”kita sadar bebas”, seharusnya kita sadar bahwa penderitaan rakyat Indonesia pada umumnya, merupakan sebuah persoalan hidup yang harus dijawab ilmu pengetahuan dan teknik. Kita sebagai pelajar atau mahasiswa harus kritis menggunakan ilmu pengetahuan. Jika memang pendidikan kita maju dan berhasil, buktikanlah dengan kehidupan masyarakat yang lebih baik. Jika memang negera-negara besar seperti Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Jepang, dan lainnya memiliki pendidikan yang maju, buktikanlah dengan kehidupan internasional yang lebih baik. Ketimpangan kehidupan dewasa ini, yang ditandai dengan kesenjangan sosial, menunjukkan adanya ketimpangan dalam pendidikan. Apakah pendidikan sudah menyimpang dari tujuan awalnya? Masih adakah pendidikan yang sesungguhnya?
Seperti apa yang diceritakan pramoedya selanjutnya dalam jejak langkah: ”Golongan terpelajar, golongan beruntung yang mendapat lebih banyak ilmu dan pengetahuan daripada bangsa selebihnya. Bagi orang intelligent, orang cerdas – bukan hanya berilmu dan berpengetahuan – tak mungkin terlepas perhatiannya dari masalah-masalah kehidupan, apalagi kehidupan yang vital, memikirkannya, memecahkannya dan menyumbangkan pikirannya.”
* tulisan ini dimuat si majalah mahasiswa natas Univ. Sanata Dharma Yogyakarta (edisi Nov 2007)

Dilema BBM (Bagai Buah Simalakama)

Membicarakan naiknya harga bahan bakar minyak (BBM) di Indonesia memang menimbulkan polemik. Di satu sisi, harga BBM yang konon akan naik 80 persen pasti akan memberatkan masyarakat kecil, yang merupakan mayoritas di negara kita. Di sisi lain, naiknya harga BBM tersebut diluar kehendak pemerintah, atau yang biasa kita dengar dengan melonjaknya harga minyak dunia.



Para penghuni gedung pemerintah Republik Indonesia, sebelum menjabat seperti sekarang, sering berseru tidak akan menaikkan harga BBM. Siapa yang tahu mereka sekarang siap tidak populer, demi terhapusnya subsidi BBM di pertiwi ini. Masyarakat umum lain lagi, mereka yang memang selama ini terasingkan dari permasalahan global, untuk saat ini harus menjadi korban. Mereka bingung harus bagaimana dan terdiam pasrah pada nasib. Haruskah semua ini terjadi?

Setidaknya ada sebuah permasalahan pokok dalam dilema naiknya harga BBM selama ini. Permasalahan tersebut adalah soal ketergantungan. Negara bergantung pada dunia global, sedangkan masyarakat bergantung pada BBM. Dalam hal ini hasil minyak bumi kita selalu ditentukan oleh harga internasional. Jelas hal tesebut tidak sesuai dengan UUD pasal 33 yang salah satu pasalnya tertulis bahwa seluruh hasil bumi yang menyangkut hajat hidup orang banyak dilkuasai oleh negara dan digunakan demi kesejahteraan rakyat. Sedangkan rakyat tidak mau tahu, karena hidup mereka sudah susah, terus menuntut kesejahteraan yang dijanjikan.

Masalah negara yang mendilema seperti soal BBM ini tidaklah bisa diselesaikan secara gegabah. Perlu usaha bertahap untuk hasil yang maksimal. Seperti makan buah simalakama, dimakan bapak mati, tidak dimakan ibu yang mati. Begitu pulalah masalah BBM ini, untuk pemecahannya perlu adanya pengorbanan, semoga saja bukan powerless society Namun, pilihan tetap harus diambil. Ada beberapa pemecahan yang dapat diambil dalam permasalahan BBM, menyangkut jangka pendek dan jangka menengah.

Pertama, untuk waktu terdekat harus ada keputusan, apakah pemerintah membantu masyarakat, ataukah masyarakat yang membantu pemerintah. Naiknya BBM jelas gambaran bahwa pemerintah meminta tolong kepada masyarakat, untuk menanggung kesalahan yang tidak tahu siapa yang membuatnya. Namun, jika kita memilih pilihan pertama, dalam hal ini pemerintah dapat mengalokasikan dana untuk menambal subsidi BBM yang membengkak. Dana tersebut dapat berupa pengambilan dana dari pos-pos dana APBN lain yang tidak mendesak. Memang akan sangat sulit, namun haruskah mengorbankan masyarakat?

Kedua, dan seterusnya adalah tahap jangka menengah. Mengurangi ketergantungan harga minyak nasional terhadap harga minyak dunia. Untuk hal ini, sebaiknya hasil Bumi yang dipergunakan untuk kemakmuran rakyat tidak diperjual-belikan secara bebas di pasar internasional. Perlu adanya kontrol pemerintah dan kontrol dari masyarakat, sehingga kebutuhan dalam negeri dahulu yang diutamakan.

Ketiga, ini menyangkut poin ke dua. meninjau kembali perusahaan asing yang ada di Indonesia, terutama perusahaan yang mengeruk hasil-hasil alam Indonesia. Permasalahanya adalah hasil-hasil bumi Indonesia harus bisa dinikmati masyarakat Indonesia. Namun, kenyataannya masih banyak masyarakat yang hidup dengan sangat kekurangan di daerah yang berpotensi akan hasil alam.

Keempat, meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan teknologi pengelolaan sumber daya alam, terutama minyak bumi. Hal ini bertujuan agar negara kita tidak selalu bergantung dengan pengelolaan asing, terutama memproduksi minyak mentah menjadi minyak siap guna. Sehingga pada akhirnya hasil alam bumi Indonesia dapat dinikmati secara maksimal oleh masyarakat.

Kelima, reaksi penolakan rakyat terhadap naiknya BBM menandakan bahwa rakyat masih sangat bergantung dengan BBM. Fenomena ini dapat dilihat dari jumlah kendaraan bermotor pribadi yang sangat banyak di Indonesia. Dari pejabat hingga tukang bakso memiliki kendaraan bermotor. Belum lagi dengan produksi kecil-menengah. Ketergantungan rakyat terhadap BBM harusnya dapat dikurangi. Meningkatkan kualitas, kuantitas dan pelayanan transportasi umum. Jika perlu transportasi umum menjadi raja di jalanan, sebagai contoh lihat negara-negara maju seperti Jepang dan negara Eropa Barat. Selain mengurangi konsumsi BBM, kebijakan ini juga dapat mengurangi polusi udara. Kebijakan ini dapat dilakukan dengan syarat bahwa kepemilikan kendaraan bermotor dikurangi.

Sebuah dilema, selalu menuntut pengorbanan di satu sisi demi kepentingan yang lain. Menyoal BBM tidak akan pernah berakhir ketika kita harus menggantungkan nasib bangsa di tangan negara lain. Namun, perdagangan global seakan-akan tidak bisa lagi dihindari. Masyarakat kecil selalu menjadi korban, sedangkan masyarakat atas terkesan tidak ambil peduli. Negara harus mengambil sikap, tentunya dengan berbagai pertimbangan yang tidak merugikan masyarakat. Perubahan harus terjadi demi kepentingan bangsa kita. Pertanyaannya apakah kita berani berubah dan berkorban???

Sabtu, 16 Februari 2008

Di Antara Rehabilitasi dan Penulisan Sejarah

Penelitian sejarah masa lalu akan membuat orang lebih arif,

Sehingga kesalahan-kesalahan yang dahulu tidak terulang lagi.

(Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah:108)

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) setelah berunding dengan beberapa pejabat tinggi menetapkan akan merehabilitasi nama baik mantan Presiden Soeharto (Pak Harto). Hal ini berkaitan dengan kondisi fisik Pak Harto yang tidak memungkinkan lagi untuk menjalani pemeriksaan di pengadilan. Secara kemanusiaan keputusan yang diambil presiden SBY sangatlah benar dan manusiawi.

Meskipun demikian, dipandang dari sudut sejarah, keputusan tersebut tidak tepat. Sejarah adalah pelajaran dari masa lalu yang berguna untuk merenda masa depan dan masa kini. Tujuan utama sejarah adalah agar tidak terjadinya pengulangan sejarah atau kesalahan-kesalahan di masa lalu, yang merugikan kehidupan manusia. Oleh sebab itu, sejarah haruslah mengabdi pada kebenaran dan keadilan.

Penulisan sejarah haruslah berdasarkan atas dasar sumber yang otentik dan kredibel. Untuk itu diperlukannya kritik sumber atau verifikasi terhadap sumber, baik itu sumber langsung (primer) maupun tidak langsung (sekunder dan tersier). Dalam hal ini pertanggungjawaban sejarawan dalam penulisannya adalah pertanggungjawaban terhadap publik, terutama generasi penerus bangsa yang akan memimpin di masa depan.

Dalam kasus rehabilitasi nama baik Pak Harto, berarti telah terjadi penghapusan sejarah. Karena dengan merehabilitasi Pak Harto berarti segala peristiwa yang terjadi di masa pemerintahannnya juga ikut terehabilitasi, terlepas dari salah atau benarnya. Merehabilitasi nama baik Pak Harto tanpa penelitian dan dasar sumber yang otentik dan kredibel, berarti menghianati ilmu pengetahuan yang berpijak pada kebenaran. Apalagi rehabilitasi tersebut didasarkan pada unsur belas kasihan, bukan atas dasar fakta yang ilmiah.

Rehabilitasi yang akan diberikan Presiden SBY kepada mantan Presiden Soeharto harus ditinjau ulang. Keputusan ini berbeda dengan pemberian rehabilitasi kepada rakyat biasa. Pada rakyat biasa masalah akan selesai ketika rehabilitasi diberikan. Namun, pada kasus Pak Harto rehabilitasi tersebut akan terus terbawa dalam penulisan sejarah. Apa yang harus ditulis sejarawan tentang Pak Harto, jika rehabilitasi telah diberikan? Apakah menulis apa adanya secara obyektif dengan didasarkan bukti-bukti yang otentik dan kredibel? Ataukah melestarikan budaya rehabilitasi, dengan merehabilitasi juga sejarah Pak Harto? Yang terakhir sangat tidak sesuai dengan sejarah sebagai ilmu pengetahuan.

Merehabilitasi nama baik Pak Harto berarti juga menghilangkan sebagian peran Pak Harto dalam sejarah, baik itu yang positif maupun yang negatif. Hilangnya peran Pak Harto dalam sejarah berarti juga menghilangkan peran perjuangan mahasiswa pada tahun 1966 dan 1998. Menghilangkan sedikit maupun sebagian dari peran Pak Harto dapat diartikan sebagai sebuah kecacatan sejarah. Setelah perjalanan sejarah bangsa ini sedikit demi sedikit hilang, dimanakah letak kebenaran yang akan diwariskan kepada generasi penerus?

Mengingat Pak Harto adalah pelaku sejarah yang penting, maka segala keputusan yang keluar dari pemerintah haruslah dapat dipertanggungjawabkan secara hukum dan ilmiah. Hal ini menyangkut penulisan sejarah yang akan dikonsumsi masyarakat luas.

Setidaknya sebelum diberikan rehabilitasi semua masalah yang menyangkut Pak Harto harus jelas. Manakah tindakan dari beliau yang melanggar hukum sehingga perlu direhabilitasi, dan manakah yang tidak melanggar hukum. Jangan sampai dengan adanya rehabilitasi nama baik Pak Harto, penelitian dan penyelidikan juga terhenti. Atas dasar apapun, peristiwa masa lalu, baik itu yang menyangkut Pak Harto ataupun tidak, harus terungkapkan demi masa depan negara kita. Seperti yang diungkapkan Pak Kuntowijoyo “Penelitian sejarah masa lalu akan membuat orang lebih arif, sehingga kesalahan-kesalahan yang dahulu tidak terulang lagi”.

*tidak berhasil dimuat di kolom Academica Harian Kompas Yogyakarta (2007)

Soeharto: Pahlawan Abu-Abu

Pahlawan sebagai manusia, hidup dalam ruang dan waktu yang unik, seperti tiap orang memiliki jalan pribadi. Tiap jengkal dari perjalanan manusia mempunyai kisah yang tersendiri. Dengan demikian, manusia sebagai pahlawan atau pahlawan sebagai manusia tidak dapat digeneralisasikan.

Kontroversi di seputar kehidupan Pak Harto seperti tidak pernah akan berakhir. Bahkan setelah meninggalnya beliau kontroversi tidak pernah surut. Hal demikian wajar-wajar saja mengingat sebagai manusia, Pak Harto telah mengarungi perjalan hidup selama 86 tahun. Sebuah rentang waktu yang sangat langka untuk ukuran manusia normal dewasa ini. Banyak kisah yang ditinggalkan Pak Harto selama 86 tahun hidupnya. Dengan demikian pula, banyak pula sudut pandang yang bisa diambil dari sejarah kehidupannya. Menjadi kontroversi merupakan akibat dari banyaknya sudut pandang itu.

Sudut pandang yang berbeda dan kontradiksi turut mewarnai perihal keputusan apakah H.M. Soeharto akan diangkat sebagai pahlawan atau tidak. Layaknya pembahasan Rancangan Undang-Undang, masing-masing tokoh politik yang kemudian langsung dikaitkan media dengan pernyataan partai, mengeluarkan pendapatnya. Gus Dur berpendapat bahwa pemberian gelar pahlawan harus didahulukan dengan penyelesaian kasus-kasus hukum Pak Harto. Sementara Ketua Fraksi Partai Golkar Priyo Budi Santoso terang-terangan mengatakan bahwa Partai Golkar akan memprakarsai pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Pak Harto terkait dengan jasa-jasa beliau di masa lalu. Tidak hanya politisi, rakyat pun turut serta terpecah dengan argumennya masing-masing. W.S. Rendra, seorang sastrawan, jelas-jelas mengatakan Pak Harto tidak dapat disebut pahlawan.

Kontroversi mengenai Pak Harto Pahlawan atau bukan semakin keruh ketika definisi pahlawan juga tidak jelas dan dapat bermakna ganda. Definisi pahlawan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran. Kebenaran apakah yang dibela dalam definisi tersebut? Apakah kebenaran minoritas atau kebenaran mayoritas? Apakah standar dari kebenaran tersebut? Jika hanya berkutat dimasalah kebenaran pun masih ada masalah dalam konteks waktu. Apakah keberanian dan pengorbanan dari pahlawan terjadi selama hidupnya? Bagaimana perimbangan waktu-waktu yang lain selama kehidupan sang pahlawan? Bila semua kontroversi tersebut tidak menemukan titik penyelesaian. Maka nasib Pak Harto akan sama seperti nasib Bung Karno, akan menjadi kontroversi sepanjang sejarah Indonesia. Keduanya akan menjadi Pahlawan Abu-Abu, bukan hitam tidak pula putih.

Semua ini sebenarnya tidak akan menjadi rumit bila pemerintah tidak terlalu ikut campur dalam polemik apakah Pak Harto pahlawan atau bukan. Kekuasaan pemerintah yang bersifat mutlaklah yang membuat berbagai konteroversi muncul. Masing-masing pihak dengan sudut pandang berbeda di satu sisi akan mendorong pemerintah untuk berkata Pak Harto adalah pahlawan, sedangkan pihak lain akan berusaha mencegahnya. Kontroversi dan polemik tentu akan mereda jika pemerintah lebih bersikap ilmiah. Berikanlah kesempatan kepada ilmu pengetahuan untuk berdialektika menjawab sisi ”abu-abu” Pak Harto. Termasuk juga ilmu pengetahuan dalam bidang hukum yang berusaha mengadili putih-hitamnya Pak Harto. Tugas pemerintah bukanlah mengeluarkan pernyataan resmi tentang penganugerahan Pahlawan Nasional kepada Pak Harto. Namun, tugas pemerintahan adalah memberi jaminan bagi penelitian-penelitian sejarah dan pengadilan-pengadilan terhadap kasus hukum Pak Harto.

Ilmu pengetahuan ada dan berkembang semakin kompleks saat ini memiliki tujuan yang satu yaitu menjawab segala permasalahan hidup manusia. Dengan demikian hendaknya permasalahan yang terkait dengan Pak Harto harus diselesaikan dengan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan bukanlah argumen yang keluar dari pemikiran sepihak yang singkat. Namun, ilmu pengetahuan merupakan kumpulan fakta-fakta yang telah melalui prosedur, yang disusun secara sistematis dan bersifat universal. Bila meninggalnya Pak Harto menimbulkan polemik apakah dia akan diangkat menjadi Pahlawan Nasional atau bukan, janganlah pernah diselesaikan dengan cara-cara yang berpolemik pula. Gunakan cara yang benar yaitu tata cara ilmiah yang diakui secara universal, meskipun hal tersebut memakan waktu yang tidak sebentar.

Selain itu, terlepas dari jangka waktu diperolehnya hasil-hasil penelitian dan pengadilan Pak Harto. Penting bagi pemerintah untuk mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang bijaksana, yang terkait tentang kehidupan Pak Harto. Pernyataan-pernyataan tersebut haruslah meletakkan sejarah Pak Harto dalam konteks ruang dan waktu. Jangan pernah memberi penilaian yang bersifat menggeneralisir, seakan-akan Pak Harto bukan mahluk sosial yang selalu berdinamika. Meskipun sejarah Pak Harto masih abu-abu, keluarkanlah pernyataan yang berisi tentang tempat, waktu dan keseluruhan peristiwa yang mampu direkam secara ilmiah selama ini. Sangatlah tidak bijaksana bila pernyataan yang keluar sangat didramatisir, apalagi bila ada pemotongan fakta-fakta. Katakanlah keberhasilan Pak Harto saat di militer, saat orde lama, saat orde baru, tetapi katakanlah juga pelanggaran-pelanggaran HAM dan korupsi yang terjadi pada pemerintahannya.

Pada akhirnya permasalah mengenai apakah Pak Harto layak menjadi pahlawan atau tidak, haruslah dijawab dengan pernyataan yang bijak pula. Saat ini Pak Harto belum dapat dikatakan sebagai pahlawan, biarkanlah para ilmuwan dan pengadil yang menentukan hal ini di masa depan. Tugas pemerintah hanyalah menjamin terlaksananya proses tersebut, bukan tugas pemerintah untuk menentukan. Saat ini status Pak Harto masihlah Mantan Presiden Republik Indonesia 1966-1998, yang telah berpulang ke sisi-Nya.

* tidak berhasil dimuat di kolom Academica Harian Kompas Yogyakarta (Feb 2008)