Rabu, 11 Juni 2008

Resensi
Romantisme Derita di Balik Tembok Orde Baru

Judul: Menolak Menyerah – Menyingkap Tabir Keluarga Aidit
Penulis: Budi Kurniawan dan Yani Andriansyah
Penerbit: ERA Publisher
Cetakan: Pertama, Juni 2005
Tebal: XXIII + 166 halaman


Semua yang datang adalah semua yang akan pergi. Semua orang melakoni datang dan pergi ini dalam suasana yang alami, lancar dan tak terganggu. Setidaknya itulah yang biasa kita alami dalam kehidupan. Datang dan pergi telah kita lalui untuk kesekian kalinya, dengan kurang disadari, semua itu telah berlalu.


Bukannya hendak membahas sebuah perjalanan datang dan pergi, ataupun bolak-balik tanpa arah. Namun, makna datang dan pergi bagi keluarga besar Dipa Nusantara Aidit, ketua Centra Committee Partai Komunis Indonesia (CC PKI), begitu berbeda. Datang atau pulang, bagi keluarga korban kedigdayaan orde baru ini, bukanlah menjadi suatu yang membahagiakan, melainkan sebuah ancaman dan derita bagi kerinduan yang tidak terlampiaskan. Sebaliknya makna pergi menjadi sebuah penyelamatan, yang meninggalkan kisah-kisah romantis, dan akan tetap menjadi kisah pengantar tidur.


Kisah-kisah romantis tersebut adalah kenangan-kenangan yang dimiliki: Murad Aidit, Sobron Aidit, Asahan Aidit (yang ketiganya adik DN Aidit), Iwan Aidit dan Ilham Aidit (dua dari lima anak DN Aidit), serta Rini Melati Aidit (keponakan DN Aidit), tentang sosok Dipa Nusantara Aidit, kesehariannya dan perjuangannya. Dibalik keromantisan sebuah kenangan, ternyata menyandang nama Aidit membawa konsekuensi derita dalam kehidupan keluarga besar Aidit. Setelah runtuhnya orde baru, barulah beban derita tersebut terkurangi, walau tak mungkin dihilangkan.


Buku Menolak Menyerah – Menyingkap Tabir Keluarga Aidit, merupakan satu-satunya buku yang mengulas sisi lain pasca peristiwa 30 September 1965. Tidak seperti buku lain yang banyak mengulas peristiwa saja, buku ini lebih menonjolkan sisi human interest para korban dan tipu daya orde baru. Di beberapa bagian juga terdapat informasi tentang gerakan 30 September 1965 yang dapat menambah pengetahuan kita tentang peristiwa tersebut.


Buku ini dimulai dari kisah Ilham Aidit, satu dari anak kembar pasangan DN Aidit dan dr. Tanti. Ilham menceritakan bagaimana perlakuan diskriminatif yang telah dia dapat selama ini, bahkan Ilham pernah menerima kenyataan bahwa dirinya nyaris saja berakhir dibawah kokangan senjata tentara. Kemudian kisah berlanjut ketika Ilham akan menikah, bagaimana tekanan batin yang dia dapat untuk menjelaskan bahwa dirinya adalah anak dari DN Aidit, ketua CC PKI, kepada calon mertuanya.


Bab berikutnya, Sobron Aidit dan Asahan Aidit lebih mengisahkan pengalamannya bersama Bang Amad (panggilan mereka untuk DN Aidit) sebelum peristiwa 1965. Bagaimana kehidupan mereka bersama Bang Amad, termasuk percakapan-percakapan keseharian yang terjadi. Sungguh ironis memang bagi Sobron dan Asahan melihat Bang Amad menjadi penanggung dosa peristiwa 1965, menurut mereka Bang Amad hanyalah korban. Bang Amad bagi mereka adalah sosok yang ramah dan demokratis, itu terlihat pada dialognya dengan Sobron, yang mendukung Sobron menjadi sastrawan ketimbang terjun di dunia politik.


Murad, Rini Melani dan Iwan Aidit turut membagi pengalamannya menjadi korban selama orde baru. Mereka terpaksa menyembunyikan identitas “Aidit” di belakang namanya. Resiko tidak diterima dimasyarakat menjadi trauma yang sebisa mungkin harus mereka hindari. Pernah suatu ketika, hanya untuk menghindari kecurigaan kalangan militer, dr. Tanti, Istri DN Aidit, hanya bisa memandang anak-anaknya bermain dari kejauhan tanpa mencoba mendekat. Bayangkan saja, kemanusiaan seperti apa yang menciptakan kondisi demikian.


Buku Menolak Menyerah – Menyingkap Tabir Keluarga Aidit adalah buku yang dianjurkan untuk dibaca. Karena buku ini tidak saja mengandung unsur historis yang kental, tetapi juga unsur kemanusiaan yang dibalut bahasa sastrawi yang mampu membuka wawasan kemanusiaan kita. Bagi penikmat sejarah dan kalangan pro demokrasi, buku ini dapat menjadi informasi segar, karena memang terdapat data-data sejarah baru dan jelas mengajak kita untuk menolak menyerah.


Kelemahan buku ini, khususnya bagi kalangan peneliti dan sejarawan, terutama pada tata cara penyampaiannya yang cenderung sastrawi. Membuat kita sedikit ragu akan fakta ataukah cerita naratif yang terkandung di dalamnya. Hal tersebut sangat jelas terdapat pada Bab 3, Gesek Biola dan Vietkong yang diceritakan oleh Asahan Aidit. Kritik sejarah dapat kita lakukan untuk membuktikan autentitas buku ini, walaupun yang sangat memukau dan jarang terjadi adalah hampir semua data di buku ini adalah data primer (langsung dari pelaku sejarah).


Terlepas dari semua itu Menolak Menyerah – Menyingkap Tabir keluarga Aidit, merupakan buku satu-satunya yang mengulas DN Aidit, ketua CC PKI, aktor tertuduh peristiwa 1965, secara mendalam. Bacalah…!! Dan renungkan romantisme derita yang terjadi, apakah pada kondisi yang sama anda juga akan menolak menyerah…?!
Oleh: M.S. Mitchel Vinco

Tidak ada komentar: