Kamis, 11 Desember 2008

Pemuda yang Bangkit dan Bersumpah!

Putu Wijaya dalam tulisannya “Antara Sumpah dan Soempah” di kolom Bahasa! Majalah Tempo edisi 27 Oktober-2 November 2008, secara menarik membedakan “sumpah” dalam konteks Soempah Pemoeda dan Sumpah Pemuda. Menurutnya, sumpah di dalam Soempah Pemoeda adalah sebuah peristiwa dahsyat, sakral dan transedental. Sumpah di dalam Soempah Pemoeda (1928) merupakan tekad sekaligus ancaman agar tidak ada manusia Indonesia yang berani melanggar persatuan yang diperlukan untuk merengut kemerdekaan. Sedangkan sumpah di dalam Sumpah Pemuda saat ini merupakan sebuah kegiatan seremonial dan terapi psikologis untuk mengatasi segala kegalauan. Seremoni menjadi penting karena dapat mendamaikan perbedaan sesuai slogan: Bhineka Tunggal Ika. Setidaknya inilah realitas yang berhasil ditangkap Putu Wijaya.

Pemaknaan serupa juga didapat pada perayaan hari bersejarah Indonesia lainnya. Seperti halnya sumpah di dalam Soempah Pemoeda (1928), berdirinya Boedi Oetama (1908), Proklamasi Indonesia (1945) dan Reformasi (1998) hanya ada di masa lalu, dan memiliki makna baginya di masa lalu. Sedangkan yang ada di masa sekarang hanyalah seremoni tentang masa lampau. Pembelajaran sejarah, bahkan di perguruan tinggi, juga memperlakukan masa lalu sebagai kenangan romantis dan heroik, semata-mata hanya untuk mempertahankan semangat persatuan dalam tataran psikis. Dengan demikian, tidak ada bedanya “sejarah” dengan dongeng pengantar tidur yang juga mampu menanamkan nilai-nilai pada manusia.

Pemaknaan terhadap sejarah Indonesia selama ini hanya melihat puncak-puncak peristiwa, yang sebenarnya dihasilnya melalui proses panjang yang saling terkait. Masyarakat umum hanya mengetahui 20 Mei 1908 sebagai hari berdirinya Budi Utomo, mengetahui isi sumpah pemuda dan Pancasila. Bahkan Reformasi 1998 hanya diidentikkan dengan gerakan mahasiswa yang berhasil menggulingkan Presiden Soeharto. Apakah mungkin Budi Utomo, Sumpah Pemuda, Pancasila, hingga Reformasi terjadi seketika itu saja, seperti jentikan jemari? Peristiwa-peristiwa yang hanya diceritakan “akhirnya” pada saatnya akan dilupakan dan tidak dihargai.

Kebangkitan Nasional dan Sumpah Pemuda
Perayaan 100 tahun Kebangkitan Nasional pada 20 Mei 2008 diadakan secara besar-besaran. Slogan yang tertera dalam panji-panji besar di setiap bagian jalan mengajak masyarakat untuk bangkit dari keterpurukan. Pemerintah juga menyatakan optimis Indonesia akan bangkit dan mampu mengatasi masalah-masalahnya. Demikianlah 2008! Bagi penulis pribadi, seratus tahun yang lalu kebangkitan adalah kondisi setelah mati. Para pemuda, pelajar dari STOVIA telah menguburkan cara perjuangan fisik yang bersifat kedaerahan. Mereka bangkit dari kematian, dengan metode perjuangan yang baru, melalui organisasi massa. Tujuannya pun tidak lagi kedaerahan, melainkan demi meningkatkan derajat ”bangsa”.

Hasil dari menguburkan cara lama dan ”bangkit” dengan cara baru adalah lahirnya perjuangan melalui organisasi. Setelah Budi Utomo ada Sarekat Islam, Indische Partij, PNI, PKI dan kemudian juga berdiri Indonesia Muda hasil dari Kongres Pemuda II 27-28 Oktober 1928. Organisasi-organisasi tersebut melahirkan sejumlah tokoh yang di kemudian hari mengantarkan Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan. Sehingga pemilihan kata ”bangkit” pada masa lalu memang tepat melihat metode perjuangan benar-benar berubah drastis, seperti kelahiran kembali, bangkit dari kematian. Dengan demikian makna ”bangkit” dalam perayaan 100 tahun Kebangkitan Nasional harus dipertanyakan. Seharusnya kesediaan untuk bangkit harus diikuti dengan penguburan massal cara-cara lama yang dianggap gagal dan keinginan ”revolusioner” untuk bergerak merubah bangsa ke arah yang lebih sejahtera.

Sejarah sebaiknya tidak berhenti pada keberhasilan pemuda untuk bangkit. Tetapi juga mempertanyakan alasan mengapa para calon dokter STOVIA mau berpikir untuk bangsanya. Bukankah mereka adalah golongan pribumi yang terhormat latar belakangnya dan mapan secara ekonomi. Selain itu, bagaimana para pemuda bisa mendirikan organisasi, baik yang kooperatif dan non-kooperatif di masa pemerintahan kolonial. Berbedakah umur kita, mahasiswa Sanata Dharma, dengan Tirto Adi Suryo, Sang Pemula, pendiri Sarekat Prijaji, Sarekat Dagang Islam, jurnalis bangsa yang tulisannya bisa membuat pejabat Belanda ”muntah darah”? Tirto seumur dengan kita, dan dia sangat luar biasa.

28 Oktober 2008 juga diperingati sebagai 80 tahun Sumpah Pemuda. Pilihan untuk mengucapkan ”sumpah” dan bukannya ”janji” atau lainnya, merupakan keputusan bersejarah yang membawa pengaruh bagi masa yang akan datang. Pada 22 Desember 1928, Siti Sundari, sebagai tokoh perempuan (seumur juga dengan kita!) yang baru mengenal Bahasa Melayu (Indonesia) dalam pidatonya di Kongres Perempuan Indonesia memilih menggunakan bahasa persatuan tersebut, meskipun hasilnya masih terbata-bata dalam mengucapkan beberapa kosa kata. Setelah Kongres Pemuda II 1928, organisasi-organisasi yang bersifat kedaerahan juga dilebur menjadi Indonesia Muda. Demikian sumpah tersebut sangat besar pengaruh bagi gerakan pemuda.

Seperti halnya Kebangkitan Nasional, peringatan 80 tahun Sumpah Pemuda sebaiknya tidak hanya berteriak tentang satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa. Namun, juga merefleksikan alasan pemuda-pemuda yang saat itu terbagi dalam organisasi daerah seperti Jong Java, Jong Batak, Jong Celebes, Jong Ambon, dan lainnya, bersedia mengucapkan sumpah yang sakral dan tabu jika dilanggar. Bagaimana para pemuda, yang sebagian besar berumur 20 tahun, bahkan banyak juga yang dibawah 18 tahun, mampu mengadakan kongres di tengah pengawasan polisi intelijen Belanda. Selain itu, bagaimana para mahasiswa di Negeri Belanda dengan Perhimpunan Indonesia-nya mampu meluangkan waktu akademisnya dengan mengeluarkan Manifesto Politik 1925 yang menjadi embrio Sumpah Pemuda.

Semua itu bukan hanya perayaan kembang api, potong tumpeng atau festival diva ibu kota. Tetapi bagaimana kita berdialog dengan masa lalu, mencari alasan, mencari jawaban, menjadikannya inspirasi dan cambuk untuk melangkah ke masa depan. Pandangan umum yang menganggap sejarah hanya belajar tentang masa lalu, sudah harus dibuang ke tong sampah. Sejarah sesungguhnya ilmu tentang masa depan, ilmu yang berkehendak untuk tujuan ke depan. Hanya dalam prosesnya sejarah mencari jawaban dan kebijaksanaan dari masa lampau. Bukan hanya untuk mengetahui informasi di masa lalu, tapi juga mencari sebab mengapa saat ini bisa terjadi dan bagaimana masa depan akan terbentuk. Hal ini merupakan kesadaran sejarah berbasis kontinuitas.

M.S. Mitchel Vinco
Pendidikan Sejarah 2004

1 komentar:

cKAja mengatakan...

saya selalu suka semangat pemuda Indonesia jaman dulu. Mereka mati-matian membela, memperbaiki dan mencoba memerdekakan Indonesia