Senin, 17 Agustus 2009

Kebudayaan Lokal: Harta Karun di ”Rumah” Sendiri

Pulang dari ibu kota mencari harta karun, Lawing membawa cangkul ke kandang babi. Ia menemukan kaleng berisi emas dua kilo. Dengan keheranan Lawing bersandar dan berpikir ”dicari jauh-jauh, ternyata rejeki ada di dekat rumah.”(Yan Zwirs, MSF, 1998:66)

Harmonisasi Manusia dan Alam
Cara pandang melalui dimensi global, melupakan permasalahan di wilayah lokal. Pemahaman terhadap kebudayaan lokal, yang menyangkut semua ide, perilaku, dan produksi fisik kemudian melekat dengan istilah tradisional dan primitif. Tradisional mengalami pergeseran di masyarakat menjadi “kaku”, konservatif, dan ketinggalan jaman. Demikian pula primitif diartikan tidak beradab dan tertinggal secara mental. Segala yang berbau lokal, menjadi ternegasikan, terlupakan, tanpa ingin menyadari bahwa segala sesuatu pada dasarnya muncul dan berkembang sebagai jawaban dari masalah yang dihadapi.

Tradisi dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia adalah ”segala sesuatu yang turun temurun dari nenek moyang” (Poerwadarminta, 1985). Dalam Wikipedia ensikopledia, ”...hal yang paling mendasar dari tradisi adalah adanya informasi yang diteruskan dari generasi ke generasi baik tertulis maupun lisan, karena tanpa adanya ini, suatu tradisi dapat punah” (http://id.wikipedia.org). Tradisi-tradisi tersebut merupakan pengetahuan bagaimana memecahkan masalah di sekitar manusia. Dengan demikian, tradisi-tradisi tersebut minimal sudah teruji secara waktu.

Primitif yang berarti asli, murni, harus dilihat dalam konteks sejarah kolonialisme dan imperialisme, yang menggunakan kaca mata Bangsa Eropa ketika bertemu penduduk asli. Cara pandang inilah yang didukung penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi menjadikannya dianggap modern dan beradab. Dalam anggapan umum tersebut, primitif adalah ”suatu kebudayaan atau masyarakat yang hidupnya masih tergantung alam ataupun tidak mengenal dunia luar... Kata primitif ditujukan untuk seseorang yang tidak mempunyai tatakrama dalam perilakunya” (http://id.wikipedia.org). Menurut penulis pribadi, primitif berbeda dengan tidak beradab karena standar tantangan yang dihadapi berbeda. Masyarakat primitif mampu menjawab seluruh tantangan yang ditemuinya, dibuktikan dengan masih eksisnya mereka.

Dalam memandang tradisi seperti upacara adat, harus dilihat dalam konteks terjadinya goncangan kebudayaan, yang menjadi pertanda ketidakseimbangan antara manusia dan alam. Upacara adat dilakukan demi mengembalikan keseimbangan. Dalam upacara tersebut ada proses refleksi, melihat tindakan di masa lalu yang salah dan bertentangan dengan alam, agar tidak terjadi lagi pengulangan yang sama. Adanya proses pemulihan yang disadari sebagai keinginan untuk memperoleh kembali hubungan yang seimbang dengan alam.

Kebudayaan Lokal: Humanis!
Sekarang ini tradisi-tradisi lokal sudah tergerus oleh budaya populer. Kesenian-kesenian lokal di perkotaan menjadi museum, di mana wisatawan mengagumi tradisi diambang kepunahan. Di daerah asalnya, kebudayaan lokal tak bertaji melawan busana tank top dan gaya bicara anak nongkrong. Kebudayaan lokal dalam pendidikan formal diajarkan sebagai identitas semata. Padahal Shakespeare pernah berujar “apalah arti sebuah nama? Harum mawar tetaplah harum mawar, andaikan mawar bersalin dengan nama lain...”. Demikian pula kebudayaan harus dipahami lebih dari sekedar nama, namun juga mengerti fungsi dan alasan keberadaan budaya tersebut.

Dengan isu global warming sekarang, kesadaran kolektif mengenai permasalahan lokal memang muncul. Ironisnya kewaspadaan tersebut menjadi kabur ketika bersanding dengan reklame produk dalam kemasan plastik. Akhirnya Bumi yang semakin gerah hanya menjadi slogan kecap “Stop Global Warming”. Ancaman dunia inipun seakan lewat layaknya angin lalu. Sindhunata menyebut fenomena ini “Apokalipsme Hidup Harian” (Basis No. 01-02, 2009: hlm. 3), yang justru menarik kehancuran jaman tanpa kita sadari.

Mengenai ancaman kabut asap yang terjadi di Kalimantan Barat, pembakaran lahan oleh masyarakat lokal (pedalaman) menjadi aktor utama di media massa. Memang masyarakat lokal mempunyai tradisi pembakaran lahan untuk membuka ladang. Namun, tradisi tersebut sudah berlangsung ratusan bahkan ribuan tahun. Sejak tahun 1997 (menurut Sinar Harapan 10/07/2001 kabut asap sejak 1994) asap tebal menyelimuti seluruh wilayah Kalimantan dan Sumatera. Bahkan, Sulawesi, Jawa dan beberapa negara tetangga seperti Malaysia, Brunei, Singapura, Thailand, dan Filipina (http://www.vhrmedia.net). Tahun 1997 juga menjadi pengalaman empiris penulis ketika menggunakan masker pertama kali saat kelas enam SD. Tahun 1997 merupakan tahun yang kontemporer jika dibandingkan tradisi pembakaran hutan oleh masyarakat lokal.

Global warming, kabut asap dan banjir merupakan permasalahan global di mana titik permasalahannya ada di lingkup lokal. Segala perubahan alam pada tataran lokal akan berdampak pada kepentingan global. Penyelesaian terbaik dengan meletakkan kebudayaan lokal sebagai perpustakaan dan laboratorium ilmiah, tempat menemukan segala masalah dan solusi dalam kehidupan manusia. Memandang kebudayaan lokal sebagai hasil interaksi antara manusia dan lingkungannya, merupakan kunci dalam mengambil kebijakan. Cara pandang ini disebut relativitas atau kenisbian kebudayaan yaitu “sikap antropologis bahwa kebiasaan-kebiasaan dan pemikiran dalam suatu masyarakat harus dipandang sehubungan dengan kebudayaan masyarakat setempat. Karena sikapnya yang simpatis... maka dinamakan sikap manusiawi atau humanis” (Ihromi T.O., 1999: 16).
Akhirnya saatnya kita bersandar sejenak, berefleksi, sudah sejauh mana memahami dan menghayati lingkungan di mana kita bertumbuh. Harta karun itu adalah diri sendiri, kebudayaan dan alam sekitar, yang sejak nenek moyang sudah bersinergi dan saling menguntungkan. Ilmu pengetahuan dan teknologi berfungsi untuk memperbaiki agar “rumah” yang sudah ada semakin berkembang dan tetap selaras seperti pada awalnya. Pada akhirnya Lawing pun berujar ”...dicari jauh-jauh, ternyata rejeki (memang) ada di dekat rumah.”

M. S. Mitchel Vinco
Sejarawan dan Pendidik

2 komentar:

Rickvian Aldi mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Rickvian Aldi mengatakan...

coba pakai kata2 yang lebih rendah.
hmm, di liat2, susunan artikelnya kurang menarik, seharusnya disusun sehingga poin2 pentingnya dijelaskan secara berantai dari awal artikel hingga akhir.
saia kurang mendapat inti artikelnya