Senin, 17 Agustus 2009

20 Mei 1908: Diingat, Ditemukan, Ditemu-ciptakan

Bernard Lewis, sejarawan “otoritatif” kajian Sejarah Timur Tengah dari Princenton University, USA, mengungkapkan tiga ragam sejarah yang selama ini eksis di masyarakat, yaitu: 1) sejarah sebagaimana yang diingat (remembered), 2) sejarah sebagaimana yang ditemukan kembali (recovered), dan 3) sejarah sebagaimana yang ditemu-ciptakan (invented).

Tulisan ini akan mengkaji Sejarah Awal Kebangkitan Nasional Indonesia, yang terkait Budi Utomo, menggunakan ketiga jenis sejarah di atas. Namun, sebelumnya akan dibahas pengertian singkat jenis-jenis sejarah tersebut.

Sejarah jenis pertama oleh para antropolog dan sosiolog biasa disebut memori kolektif, yang menjadi identitas dan nilai bersama di dalam masyarakat penghayatnya. Sejarah jenis ini berdasarkan ingatan yang diturunkan antar generasi dan menjadi keyakinan yang tidak mudah berubah. Sejarah jenis ini dapat dilihat dari upacara peringatan atau selebrasi terhadap peristiwa masa lalu.

Sejarah jenis kedua merupakan penemuan masa lalu, berdasarkan jejak-jejak peristiwa yang ditemukan dan dirangkai melalui cara kerja ilmiah. Karena yang berusaha disusun kembali adalah jejak-jejak masa lalu yang tidak utuh, maka dalam rekontruksinya, suka tidak suka, sejarawan akan masuk ke sejarah jenis ketiga.

Sejarah yang ditemu-ciptakan (invented) merupakan sejarah yang ditulis dengan tujuan tertentu. Sejarah jenis ini dimungkinkan terjadi karena pemalsuan dan penyingkiran sumber sejarah, tetapi juga karena semangat subyektif sejarawan yang tergambar dalam karyanya. Sejarah jenis ketiga ini, tidak bisa dihindari maupun dihilangkan, karena dalam penelitian sejarah proses interpretasi terhadap sumber sejarah mendayagunakan penciptaan dan imajinasi.

Dalam memahami ketiga jenis sejarah tersebut, agar tidak terjadi kesalahan pemahaman, perlu dikemukakan pendapat sejarawan senior Indonesia, Taufik Abdullah, seketika kata sejarah disebut maka dua pengertian akan tampil – “hasil rekontruksi peristiwa di masa lalu” dan “sebuah sistem keilmuan untuk merekontruksi peristiwa di masa lalu”. Dengan demikian sejarah dapat menjadi alat perjuangan, penanaman nilai-nilai hidup, selama tata cara keilmuan dijalankan. Seperti kata Sartono Kartodirjo, ”penulisan kembali biasa dilakukan, karena penemuan fakta-fakta baru, atau sejarawan membuat interpretasi baru terhadap fakta yang sudah ada berdasarkan kerangka teoritik konseptual dan jiwa jaman yang baru”.

Kebangkitan Nasional: Yang Diingat
Setiap tahun, pada tanggal 20 Mei, masyarakat Indonesia merayakan hari Kebangkitan Nasional. Pada tahun 2008 lalu, bertepatan 100 tahun peringatan Kebangkitan Nasional, dirayakan besar-besaran di Gelora Bung Karno. Semangat berkobar-kobar pun diserukan, bahwa Indonesia harus bangkit dari keterpurukan dan semua itu bisa dilakukan. Menurut Putu Wijaya dalam kolom Bahasa! Majalah Tempo 27/10 – 2/11 tahun 2008, acara demikian merupakan “kegiatan seremonial dan terapi psikologis untuk mengatasi segala kegalauan”. Demikian pula bila menelusuri munculnya perayaan hari kebangkitan pada awalnya.

Memori kolektif mengenai kebangkitan nasional dimulai atas prakarsa pemerintah Indonesia pada tahun 1948, di saat negara baru diproklamasikan tahun 1945, sedang mengalami ancaman serius dari kekuatan kolonial Belanda yang ingin kembali. Presiden, Wakil Presiden dan para tokoh RI yang lain merayakan hari lahirnya Budi Utomo, 20 Mei 1908, sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Secara eksplisit para tokoh bangsa ingin mengatakan, bahwa perjuangan mendapatkan kemerdekaan bangsa sesungguhnya telah bermula sejak empat puluh tahun yang lalu (1908). Dengan panjang waktu demikian, kemenangan atau mempertahankan kemerdekaan yang sudah lama dibangun adalah suatu kemestian.

Kebangkitan Nasional: Yang Ditemukan
Sejarah yang ditemukan terkait dengan kerja-kerja sistematis dalam menemukan sumber sejarah, sehingga masa lalu yang awalnya gelap menjadi terang. Dari penelitian para sejarawan dapat disebutkan tentang berdirinya organisasi-organisasi pergerakan nasional. Diawali dari catatan Taufik Abdullah mengenai pertemuan ide antara dr. A. Rivai dan dr. Wahidin Soediro Hoesodo mengenai perlunya organisasi para “kaum muda”. Dalam perjalanan mengelilingi Pulau Jawa menyebar gagasan, pada akhir 1907, dr. Wahidin bertemu dengan Sutomo, pelajar STOVIA di Jakarta. Hari Rabu, 20 Mei 1908 di Gedung STOVIA, Jakarta, Budi Utomo didirikan. Setelah perdebatan yang panjang mengenai corak Budi Utomo, Pengurus Besar membatasi jangkauan gerakan Budi Utomo kepada penduduk Jawa dan Madura, dengan bidang kegiatan pendidikan dan budaya, serta tidak melibatkan diri dalam politik. Tujuan Budi Utomo tergambar melalui slogannya, pada awalnya “kemajuan bagi Hindia”, “perjuangan untuk mempertahankan penghidupan” dan akhirnya menjadi “kemajuan secara serasi”. Pada akhir tahun 1909 Budi Utomo telah mempunyai cabang di 40 tempat dengan jumlah anggota kurang lebih 10.000 orang.
Pada tahun 1911 berdiri perkumpulan Sarekat Islam di Solo, yang kemudian berkembang pesat hingga anggotanya mencapai angka jutaan. Pada tahun 1912 berdiri juga Indische Partij, yang tidak membatasi keanggotaannya berdasarkan suku bangsa dan agama, melainkan terbuka bagi mereka yang terlahir di tanah Hindia. Kedua organisasi ini kemudian mengambil gerakan non kooperatif terhadap penguasa kolonial. Setelah Budi Utomo, Sarekat Islam dan Indische Partij, organisasi pergerakan mulai banyak bermunculan. Sebelum Budi Utomo pernah berdiri organisasi Priyayi Jawa dengan nama Sarikat Priyayi, namun organisasi belum berbentuk organisasi modern.

Kebangkitan Nasional: Yang Ditemu-ciptakan
Sejarah jenis ini muncul karena kebutuhan akan sejarah yang berarti bagi sejarawannya sendiri, masyarakat, bahkan bagi penguasa/negara. Dengan demikian, dari sejarah yang ditemukan (recovered) ditarik hubungan-hubungan sebab akibat yang berpengaruh terhadap masa sekarang dan masa depan individu, kelompok atau lembaga bersangkutan.

Kebangkitan Nasional merupakan hasil dari sejarah yang ditemu-ciptakan (invented). Budi Utomo, Sarekat Islam, dan Indische Partij pada masa berdirinya tidak dapat mengklaim “dirinya” sebagai pembangkit gerakan nasional menuju Indonesia merdeka. Istilah Kebangkitan Nasional diberikan kemudian, ketika dapat dilihat hasil benih-benih perjuangan mereka, yaitu lahirnya golongan terpelajar yang mampu berjuang melalui organisasi kooperatif maupun non kooperatif dengan hasil proklamasi 17 Agustus 1945.

Pemilihan kata “Kebangkitan Nasional” dapat dimengerti jika melihat perjuangan setelah 20 Mei 1908 yang menggunakan metode pergerakan atau organisasi. Berbeda dengan cara perang fisik yang bersifat kedaerahan dan sangat bergantung pada karisma tokoh tertentu. Dengan kata lain, kata “bangkit” digunakan sebagai ungkapan untuk meninggalkan cara perjuangan lama yang dikemudian hari dinilai tidak efektif.
Mengenai Budi Utomo yang gerakannya terbatas pada orang Jawa dan Madura, dapat dikatakan sebagai etnonasionalisme dan merupakan proses awal penyadaran diri terhadap identitas bangsa. Perlu dicatat pada masa itu bangsa Indonesia belumlah tergambar, melalui Indische Partij konsep tersebut digaungkan. Barulah pada 1923 Manifesto Politik Perhimpunan Indonesia di Belanda menggunakan istilah kemerdekaan Indonesia. Lima tahun kemudian para pemuda mengucapkan Sumpah Pemuda 1928.

Pemaparan mengenai ragam sejarah di atas harus dilihat sebagai kesatuan. Bermula dari yang diingat, kemudian dicari dan ditemukan melalui metode yang ilmiah. Penemuan tersebut melalui seleksi nilai-nilai akan menjadi yang berarti dan tidak berarti. Meskipun demikian tetap saja yang tidak berarti pada dasarnya berarti bagi manusia. Realitas inilah yang terjadi, seleksi-seleksi tersebut akan muncul meski tidak disadari. Dalam ilmu sejarah hal ini disebut intersubyektifitas. Akhirnya sejarah yang berarti akan diingat dan ditanamkan antar generasi.

Perayaan Kebangkitan Nasional bagi masyarakat dan bangsa Indonesia tentu saja sangat berarti. Diawali Kebangkitan Nasional-lah rakyat Indonesia diantar ke depan pintu gerbang kemerdekaan. Kisah tentang pergerakan awal para tokoh bangsa, mampu mengobarkan semangat juang ketika Belanda kembali ke Indonesia melalui agresi militer. Namun, setelah semua itu usai, masih berartikan kisah awal Pergerakan Nasional bagi kita? Jika iya, mari kita kenang peristiwa tersebut dengan menjadikannya cambuk semangat dan inspirasi bagi kebangkitan kita dan bangsa Indonesia. Karena sejarah bukanlah sebuah paksaan, sejarah merupakan proses dialog antara kita dengan jejak-jejak dari masa lalu.

M. S. Mitchel Vinco
Sejarawan dan Pendidik

Kebudayaan Lokal: Harta Karun di ”Rumah” Sendiri

Pulang dari ibu kota mencari harta karun, Lawing membawa cangkul ke kandang babi. Ia menemukan kaleng berisi emas dua kilo. Dengan keheranan Lawing bersandar dan berpikir ”dicari jauh-jauh, ternyata rejeki ada di dekat rumah.”(Yan Zwirs, MSF, 1998:66)

Harmonisasi Manusia dan Alam
Cara pandang melalui dimensi global, melupakan permasalahan di wilayah lokal. Pemahaman terhadap kebudayaan lokal, yang menyangkut semua ide, perilaku, dan produksi fisik kemudian melekat dengan istilah tradisional dan primitif. Tradisional mengalami pergeseran di masyarakat menjadi “kaku”, konservatif, dan ketinggalan jaman. Demikian pula primitif diartikan tidak beradab dan tertinggal secara mental. Segala yang berbau lokal, menjadi ternegasikan, terlupakan, tanpa ingin menyadari bahwa segala sesuatu pada dasarnya muncul dan berkembang sebagai jawaban dari masalah yang dihadapi.

Tradisi dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia adalah ”segala sesuatu yang turun temurun dari nenek moyang” (Poerwadarminta, 1985). Dalam Wikipedia ensikopledia, ”...hal yang paling mendasar dari tradisi adalah adanya informasi yang diteruskan dari generasi ke generasi baik tertulis maupun lisan, karena tanpa adanya ini, suatu tradisi dapat punah” (http://id.wikipedia.org). Tradisi-tradisi tersebut merupakan pengetahuan bagaimana memecahkan masalah di sekitar manusia. Dengan demikian, tradisi-tradisi tersebut minimal sudah teruji secara waktu.

Primitif yang berarti asli, murni, harus dilihat dalam konteks sejarah kolonialisme dan imperialisme, yang menggunakan kaca mata Bangsa Eropa ketika bertemu penduduk asli. Cara pandang inilah yang didukung penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi menjadikannya dianggap modern dan beradab. Dalam anggapan umum tersebut, primitif adalah ”suatu kebudayaan atau masyarakat yang hidupnya masih tergantung alam ataupun tidak mengenal dunia luar... Kata primitif ditujukan untuk seseorang yang tidak mempunyai tatakrama dalam perilakunya” (http://id.wikipedia.org). Menurut penulis pribadi, primitif berbeda dengan tidak beradab karena standar tantangan yang dihadapi berbeda. Masyarakat primitif mampu menjawab seluruh tantangan yang ditemuinya, dibuktikan dengan masih eksisnya mereka.

Dalam memandang tradisi seperti upacara adat, harus dilihat dalam konteks terjadinya goncangan kebudayaan, yang menjadi pertanda ketidakseimbangan antara manusia dan alam. Upacara adat dilakukan demi mengembalikan keseimbangan. Dalam upacara tersebut ada proses refleksi, melihat tindakan di masa lalu yang salah dan bertentangan dengan alam, agar tidak terjadi lagi pengulangan yang sama. Adanya proses pemulihan yang disadari sebagai keinginan untuk memperoleh kembali hubungan yang seimbang dengan alam.

Kebudayaan Lokal: Humanis!
Sekarang ini tradisi-tradisi lokal sudah tergerus oleh budaya populer. Kesenian-kesenian lokal di perkotaan menjadi museum, di mana wisatawan mengagumi tradisi diambang kepunahan. Di daerah asalnya, kebudayaan lokal tak bertaji melawan busana tank top dan gaya bicara anak nongkrong. Kebudayaan lokal dalam pendidikan formal diajarkan sebagai identitas semata. Padahal Shakespeare pernah berujar “apalah arti sebuah nama? Harum mawar tetaplah harum mawar, andaikan mawar bersalin dengan nama lain...”. Demikian pula kebudayaan harus dipahami lebih dari sekedar nama, namun juga mengerti fungsi dan alasan keberadaan budaya tersebut.

Dengan isu global warming sekarang, kesadaran kolektif mengenai permasalahan lokal memang muncul. Ironisnya kewaspadaan tersebut menjadi kabur ketika bersanding dengan reklame produk dalam kemasan plastik. Akhirnya Bumi yang semakin gerah hanya menjadi slogan kecap “Stop Global Warming”. Ancaman dunia inipun seakan lewat layaknya angin lalu. Sindhunata menyebut fenomena ini “Apokalipsme Hidup Harian” (Basis No. 01-02, 2009: hlm. 3), yang justru menarik kehancuran jaman tanpa kita sadari.

Mengenai ancaman kabut asap yang terjadi di Kalimantan Barat, pembakaran lahan oleh masyarakat lokal (pedalaman) menjadi aktor utama di media massa. Memang masyarakat lokal mempunyai tradisi pembakaran lahan untuk membuka ladang. Namun, tradisi tersebut sudah berlangsung ratusan bahkan ribuan tahun. Sejak tahun 1997 (menurut Sinar Harapan 10/07/2001 kabut asap sejak 1994) asap tebal menyelimuti seluruh wilayah Kalimantan dan Sumatera. Bahkan, Sulawesi, Jawa dan beberapa negara tetangga seperti Malaysia, Brunei, Singapura, Thailand, dan Filipina (http://www.vhrmedia.net). Tahun 1997 juga menjadi pengalaman empiris penulis ketika menggunakan masker pertama kali saat kelas enam SD. Tahun 1997 merupakan tahun yang kontemporer jika dibandingkan tradisi pembakaran hutan oleh masyarakat lokal.

Global warming, kabut asap dan banjir merupakan permasalahan global di mana titik permasalahannya ada di lingkup lokal. Segala perubahan alam pada tataran lokal akan berdampak pada kepentingan global. Penyelesaian terbaik dengan meletakkan kebudayaan lokal sebagai perpustakaan dan laboratorium ilmiah, tempat menemukan segala masalah dan solusi dalam kehidupan manusia. Memandang kebudayaan lokal sebagai hasil interaksi antara manusia dan lingkungannya, merupakan kunci dalam mengambil kebijakan. Cara pandang ini disebut relativitas atau kenisbian kebudayaan yaitu “sikap antropologis bahwa kebiasaan-kebiasaan dan pemikiran dalam suatu masyarakat harus dipandang sehubungan dengan kebudayaan masyarakat setempat. Karena sikapnya yang simpatis... maka dinamakan sikap manusiawi atau humanis” (Ihromi T.O., 1999: 16).
Akhirnya saatnya kita bersandar sejenak, berefleksi, sudah sejauh mana memahami dan menghayati lingkungan di mana kita bertumbuh. Harta karun itu adalah diri sendiri, kebudayaan dan alam sekitar, yang sejak nenek moyang sudah bersinergi dan saling menguntungkan. Ilmu pengetahuan dan teknologi berfungsi untuk memperbaiki agar “rumah” yang sudah ada semakin berkembang dan tetap selaras seperti pada awalnya. Pada akhirnya Lawing pun berujar ”...dicari jauh-jauh, ternyata rejeki (memang) ada di dekat rumah.”

M. S. Mitchel Vinco
Sejarawan dan Pendidik