M.S. Mitchel Vinco
Sejarawan, Pendidik, Budayawan
Setelah kekalahan Spanyol dari Amerika Serikat dalam perang tahun 1898, Kuba berada di bawah pengaruh Amerika Serikat. Kuba diberi kemerdekaan tahun 1902 setelah menerima apa yang disebut Amandemen Platt sebagai bagian dari konstitusi militer Amerika Serikat di Kuba (Guantanamo adalah pangkalan Amerika Serikat hingga sekarang). Amandemen tersebut berbunyi ”Pemerintah Kuba sepakat untuk memperkenankan Amerika Serikat memperoleh hak-hak untuk melakukan intervensi untuk melindungi kemeredekaan Kuba, pelestarian suatu pemerintahan yang layak untuk melindungi perikehidupan, hak milik dan kebebasan perseorangan...”.
Sepenggal catatan sejarah di atas menunjukkan usaha peletakan batu demokrasi pertama di Kuba. Seperti halnya Australia Collonies Act, sebuah negara bangsa diberi kebebasan untuk mengatur pemerintahan sendiri. Namun, catatan sejarah juga menyatakan bahwa ”...Amerika memperoleh hak-hak untuk melakukan intervensi...”, berarti seketika itu pula demokrasi telah dinodai – seperti yang dikatakan John Markoff di atas – terlebih lagi klaim terhadap demokrasi telah menggunakan nama rakyat ” ...melindungi perikehidupan, hak milik dan kebebasan perseorangan...”.
Berikutnya pemerintahan Kuba seringkali diwarnai pemberontakan dan kudeta. Tahun 1920-an melahirkan kediktatoran Gerardo Machado y Morales. Pemerintah Machado kemudian berhasil digulingkan oleh golongan revolusioner yang dipimpin Sersan Muda Fulgencio Batista y Zalvidar. Namun, yang naik ke kursi presiden justru Ramon Grau San Martin. Batista kemudian pada tahun 1934 mampu mengambil alih pimpinan sebagai diktator dengan bantuan Amerika Serikat. Pada tahun 1944 rezim Batista digeser dan selama delapan tahun Kuba memiliki demokrasi perwakilan. Tetapi pada tahun 1952, Batista kembali mengambil alih pemerintahan.
Dalam periode awal kemerdekaan ini, dapat dilihat bahwa di Kuba sering terjadi perebutan kekuasaan yang diwarnai kudeta oleh militer. Pihak militer selalu turun tangan mengatasnamakan rakyat, dan dengan kekuatan militernya menggulingkan penguasa yang ada. Sebuah catatan dapat diberikan pada kurun waktu 1944-1952 di mana Kuba berhasil melaksanakan demokrasi perwakilan. Inilah demokrasi model Barat yang pertama kali dilaksanakan di Kuba, meskipun di kemudian hari rezim Batista kembali melakukan perebutan kekuasaan.
Pada tahun 1953 muncul sosok pemimpin, yang dikemudian hari akan dicintai rakyat Kuba. Dia adalah Fidel Castro, seorang ahli hukum muda dari Havana. Di dorong atas kediktatoran Batista dan penderitaan rakyat, dia menyerbu barak-barak tentara Kuba di Santiago dan kemudian tertangkap dan diadili. Di pengadilan Castro melakukan pembelaan dan didukung oleh rakyat, maka Castro pun dibebaskan. Selepas dari penjara, Castro pergi ke Meksiko untuk mempersiapkan organisasi dalam rangka melawan Batista.
Pada tahun 1956, Castro mulai menjalankan strateginya tahap demi tahap. Fidel Castro bersama sahabatnya Che Guevara memulai perang gerilya dengan pendaratan di Sierra Maestra hingga kemenangan di Havana.
Pemerintahan Castro adalah pemerintahan revolusioner, pemerintahan yang dikatator-otoriter, namun Castro mengklaim bahwa pemerintahannya adalah semata-mata demi kepentingan rakyat. Selama pemerintahannya Castro berhasil melakukan pendidikan gratis, kebijakan agraria dengan sistem pembagian tanah, peningkatan penghasilan pertanian, dan peningkatan kesehatan.
Namun sikapnya yang tidak menyenagi Amerika menyebabkan Castro menasionalisasikan perusahaan – perusahaan asing di Kuba. Bidang-bidang industri yang diambil alih negara mencakup nyaris seluruh bidang; sektor-sektor produksi dan pengilangan minyak, perusahaan telepon dan listrik, pabrik-pabrik gula yang besar, industri kimia, perusahaan perkeretaapian, pabrik pengolahan karet, pabrik sabun, hingga pabrik rokok dan tekstil. Pada tahun 1960, 80 % GNP (gross National Product) Kuba dikontrol oleh negara, di tangan Fidel Castro.
Selain itu jaminan untuk kalangan menengah menjadi terkorbankan akibat konsentrasi Castro untuk menyejahterakan golongan bawah. Sekelompok orang Kuba dari kalangan menengah ke atas merasa terancam. Mereka memilih melarikan diri ke Miami. Kaum borjuis ini mendapat teman senasib ketika kelompok agama dan kaum konservatif marah besar karena Castro mengambil alih sekolah-sekolah Katolik dan membubarkan upacara keagamaan. Natal tidak lagi menjadi hari libur resmi.
Berikutnya Fidel Castro merasa perlu membendung kekuasaan yang kini ada digenggamannya. Untuk melakukan pembersihan politik, pemerintahan Castro memenjarakan semua orang yang menentangnya. Ia juga membatalkan seluruh pemilihan umum dan mengangkat dirinya sebagai presiden seumur hidup.
Karena tindakan Fidel Castro yang memusuhi Amerika Serikat maka Amerika Serikat tanggal 17 April 1961 melakukan invasi di teluk babi yang ternyata kemudian gagal. Kegagalan ini justru membuat Fidel Castro memperoleh 53 juta dolar dalam bentuk makanan dan obat-obatan, dengan imbalan Castro harus membebaskan 1000 lebih tawanan akibat invasi di teluk Babi. Makanan dan obat-obatan tersebut sangat dibutuhkan rakyat Kuba yang menderita kelaparan dan sakit. Popularitas Fidel Castro yang sempat menurun kembali meningkat.
Tanggal 1 Mei 1961 Castro mengumumkan bahwa dirinya adalah komunis. Hal ini disebabkan karena rasa marah dan jengkel Fidel Castro terhadap perlakuan Amerika Serikat terhadap Kuba. Bahkan Weisboard berkata ”terima kasih untuk kebijakan AS yang tolol, yang mendorong Kuba bergerak ke orbit Soviet...”
Setelah kita menelusuri sejarah pada pemerintahan Fidel Castro, maka tidak tampak adanya demokrasi konstitusional, seperti juga yang dikehendaki Amerika Serikat. Bahkan Castro mengangkat dirinya menjadi Presiden seumur hidup, melakukan nasionalisasi perusahaan asing, melakukan kebijakan agraria dengan pembagian tanah, menangkap lawan politik, bahkan membunuh mereka. Jelas semua itu tidak termasuk dalam sistem demokrasi konstitusional.
Meskipun demikian, jika dipandang dari sudut demokrasi komunisme atau demokasi otoritarian (bila Castro belum menjadi komunis), kebijakan – kebijakan Fidel Castro dapat dikatakan memenuhi nilai demokrasi. Fakta pertama adalah bahwa Fidel Castro dicintai rakyatnya, pendidikan dan pelayanan kesehatan gratis, kehidupan para petani dan para buruh meningkat. Dalam pendidikan bahkan angka melek huruf mencapai 100% (bandingkan dengan Indonesia). Fakta kedua adalah perkataan-perkataan Fidel Castro yang keluar dari mulutnya sekan-akan sudah mendapat legitimasi dari rakyat. Rakyat seakan-akan sudah menyerahkan kekuasaan pada Fidel Castro. Misalnya dalam sebuah perkataannya ” Obatku adalah rakyat!”, ”Aku harus bekerja keras; mengerti dan berbicara kepada rakyat”.
Meskipun demikian, Fidel Castro tidak pernah mengklain dirinya dan negaranya sebagai demokrasi. Seperti dalam ucapannya ”Tak ada lagi pemerintahan demokratis di Amerika Latin, yang ada hanya pemerintahan revolusioner.”, ”Jika Tuan Kennedy tidak senang dengan sosialisme, kami juga tidak senang dengan imperialisme dan kapitalisme"
Ditulis oleh: M.S. Mitchel Vinco (Sejarawan, Pendidik, Budayawan)
Daftar Pustaka
Guevara, Che. 2007. Dari Sierra Maestra hingga Havana. Narasi: Yogyakarta.
Mukmin, Hidayat. 1980. Pergolakan di Amerika Latin. Ghalia Indonesia:Jakarta.
Pambudi, A. 2007. Fidel Castro 60 Tahun Menentang Amerika. Narasi: Yogyakarta.
Prasetyo, Eko. 2006. Inilah Presiden Radikal!. Resist Book: Yogyakarta.
Sampai sekarang ini, kita hanya meninjau pengkajian sejarah “dari dalam”; yang dibicarakan hanya hubungan antara pengkajian sejarah dan masyarakat, sejauh nilai-nilai yang hidup di masyarakat, ada konsekuensinya bagi sejarawan yang membuata suatu gambaran historis mengenai masa silam. Akan tetapi, pengkajian sejarah tidak hanya menerima sesuatu dari masyarakat, melainkan juga menyumbangkan sesuatu.
Seorang sejaerawan memberikan sumbangan pokok, bagi caranya orang-orang sejaman membayangkan diri mereka sendiri. Dalam arti yang paling umum, seorang sejarawan melakukan hal itu dengan menyadarkan sesama mengenai masa silam dan bagaimana masyarakat dan kebudayaan berakar dalam masa silam itu. Ia mengembangklan dan merangsang kesadaran historis orang-orang sejaman.
Sering disangsikan, apakah dapat ditulis sejarah yang obyektif dan bebas nilai. Mengapa kita lalu tidak memandang masa silam dari perspektif itu? Bila penulisan sejarah yang obyektif tidak mungkin, mengapa kita lalu tidak menggunakan masa silam sebagai sarana untuk memperbaiki dunia. Bila kita memilih pendirian ini, bila kita mengharap sejarah dari pengkajian sejarah, agar ia dapat memberi sumbangan bagi suatu masyarakat yang lebih baik dan bila kita bersedia mengendurkan tuntutan akan obyektifitas setinggi mungkin, ini berarti kita membela penulisan sejarah yang terlibat. Ini tidak berarti, bahwa setiap penulisan sejarah yang terlibat niscaya juga akan menghasilkan buah penelitian yang subyektif. Yang diminta dari seoranbg sejarawan, agar ia selaku sejarawan, tidak mengambil jarak terhadap masalah-masalah sosial yang berkecamuk dalam masyarakat dewasa ini.
A. Pengertian Kesadaran Sejarah
Menurut Oakeshott konsep perubahan sebetulnya merupakan sebuah konsep yang paradoksal, karena memperpadukan pengertian mengenai perbedaan, dengan pengertian mengenai sesuatu yang tetap sama. Bila ada yang berubah maka ada juga unsur-unsur yang sama di dalam perubahan itu. Perubahan yang tidak dibarengi oleh sesuatu yang tetap sama, merupakan kekacauan belaka, tak adanya tata tertib dan, aneh bin aneh, justru menimbulkan kesan mengenai sesuatu yang sama, tetap dan statis. Perubahan yang sejati mengdaikan adanya sesuatu yang sama, yang dapat dipakai sebagai tolak ukur untuk mengukur perubahan.
Tetapi masih ada paradoks lain, yaitu makin banyak keterkaitan dan makin banyak yang tak berubah, makin besar juga sifat perubahan yang kita amati pada masa silam. Bila kita menyadari perubahan-perubahan dalam masyarakat, kita menjadi sadar pula akan tradisi-tradisi. Singkatnya baik sifat perubahan historis, maupun usaha-usaha untuk menyusun perubahan-perubahan itu menurut skema yang agak tetap, merupakan bagian-bagian dalam kesadaran historis.
B. Perkembangan Pemahaman Kesadaran Sejarah
Para ahli mempunyai pendapat berbeda-beda mengenai kapan munculnya kesadaran sejarah? Biasanya dikatakan, bahwa kesadaran historis dibangkitkan karena perubahan-perubahan sosial dan politik yang mendalam di Eropa Barat, akibat Revolusi Perancis dan Revolusi Industri. Ditandai dengan lahirnya pengkajian sejarah modern.
Meinecke memperlihatkan, bahwa segala konsep yang kita kaitkan dengan kesadaran historis dan historisme, sudah kita jumpai dalam tulisan-tulisan Montesquieu Moser atau Herder. Tak lama berselang, P.H. Reill menunjukkan hal yang sama dalam tulisan sementra sejarawan dan filsuf abad ke-18, yang tidak begitu terkenal.
D. Kelley dan J. Franklin yang mengadakan penelitian mengenai tulisan sementara ahli sejarah hukum pada abad ke-16 seperti Jacques Cujas (1522-1590), Francois Hotman (1524-1590) dan terutama Jacques Beaundoin (1520-1573) menunjukkan, bagaimana pada abad itu para ahli sejarah hukm telah menyadari bahwa setiap kurun waktu dalam sejarah mempunyai norma-norma hukum tersendiri dan bagaimana norma-norma tersebut selalu tergantung pada bentuk masyarakat yang menjadi sasaran tata hukum itu. Dalam kasusu ini, dilihat bagaimana pengakuan terhadap unsur perubahan (dalam norma hukum), dibarengi oleh suatu pengakuan terhadap sifat-sifat yang tidak berubah (keberkaitan antara norma hukum dan masyarakat).
J.G.A. Pocock merumuskan sebuah analisis yang sangat orisinal mengenai tumbuhnya kesadaran historis. Yang menjadi titik pangkalnya adalah perbedaan antara pandangan abad pertengahan mengenai kenyataan sosio-historis dengan pendapat-pendapat yang dipaparkan oleh para pengerang Renaissance, seperti Niccolo Machiavelli (1469-1527) dan Francesco Guicciardinni (1483-1540). Secara singkat abad tengah menawarkan pemikiran bahwa manusia hidup sebetulnya hanya ada kaitan ”vertikal” dengan Kerajaan Allah (Civitas Dei). Tidak ada tempat bagi hubungan horozontal antara orang perorang.
Pandangan ini semakin kentara dalam gagasan Fortuna pada abad pertengahan (= kebetulan, nasib). Segala sesuatu yang terjadi pada Civitas Terrena tunduk pada unsur kebetulan. Orang yang satu ditinggikan Fortuna, sedangkan yang lain dijatuhkannya.
Gagasan Fortuna ini ditentang pada jaman Renaissance dengan konsep virtu. Virtu adalah kekuatan, kekuasaan, keunggulan alami, ketrampilan, serta perasaan halus untuk saat yang tepat, pada umumnya, kemampuan beberapa orang untuk mengatur kenyataan politik dan historis.
Menurut Machiavelli dalam konflik antara Fortuna dan Virtu, msnudis mrmpunyai dua pilihan. Bila manusia menyerah pada Fortuna, akibatnya adalah benturan-benturan antara hal-hal yang kebentulan terjadi, lalu terjadi suatu tata tertib sosial yang baru, alami dan hirarkis. Tetapi bila kita ingin membangun suatu masyarakat, sebuah republik, seperti dengan sadar dikehendaki manusia, maka diperlukan Virtu.
Dalam pertentangan terus menerus antara Fortuna dan Virtu, tampaklah untuk pertama kali kesadaran historis. Kesadaran tersebut memperlihatkan betapa segal ihwal-ihwal di dunia ini terus berubah. Selalu ada kecenderungan untuk bertambah liar, maka kita tidak boleh meninggalkan pengawasan begitu saja. Konsep ini membawa penafsiran yang dramatis, mengapa demikian? Karena pembinaan dunia historis dan pilitik menuntut perhatian dan ketekunan terus menerus dengan bantuan Virtu. Bila manusia ingin membuat sejarah atau membentuk negaran dan masyarakat, maka ia harus mengikat pinggangnya, siap melakukan perlawanan terus menerus terhadap kecenderungan kemunduran, desintegrasi, serta kekuasaan Dewi Fortuna.
C. Kesadaran Sejarah Masa Kini
Pada umumnya ada aura pemistis dalam memandang kesadaran historis dewasa ini. Bertambahnya kuantitas dan kualitas sejarah pada abad 20, menurut Nietzsche membuat masa silam hany menjadi obyek belaka, yang terletak di depan muka kita seperti benda yang mati. Jumlah buku dan karangan sejarah yang demikian banyak, membuat kita acuh tak acuh terhadap masa silam. Menurut Th. Schieder, manusia Barat sekarang ini, tidak merasa terikat lagi dengan masa silam, karena kesadaran akan unsur perubahan dan kelestarianayang demikian pokok bagi kesadaran historis telah punah.
Pendapat lain menyatakan bahwa ini tidak benar, bila hanya pengkajian sejarah dewasa ini yang menyebabkan kesadaran historis punah. Ada pendapat bahwa segala kemungkinan dan bahaya yang terbentang di hadapan kita tidak ada taranya dalam masa silam. Dengan demikian, kita dengan sendirinya menyadari, makin memusatkan diri kita pada masa kini dan sikap ini berlawanan dengan kesadaran historis.
Akhirnya saintisme pada pertengahan abad ini masih demikian dielu-elukan, rupanya kini kalah dengan suatu bentuk historisme gaya batu. Iklim intelektual dewasa ini, menurut banyak segi, mirip dengan iklim Romantik awal.
D. Keterlibatan H. Zinn Dalam Penulisan Sejarah
H. Zinn, seorang sejarawan dari Kanada, membela penulisan sejarah yang moderat-terlibat, lalu menelusuri, apa konsekuensinya bagi penulisan sejarah. Ia mulai menandaskan bahwa kita terhadap ilmu pengetahuan ialah supaya bermanfaat. Ia merasa heran, mengapa banyak sejarawan memperlihatkan sikap acuh tak acuh terhadap masalah-masalah sosial di dalam masyarakat. Menurut dia, seorang sejarawan, bila memilih sebuah obyek bagi penelitian sejarah harus dituntun oleh kebutuhan-kebutuhan sosial pada masa kini. Dalam perspektif ini sejarah emansipasi wanita di Indonesia lebih relevan daripada suatu penelitian mengenai silsillah raja-raja Kediri.
Zinn menandaskan bahwa opsinya tidak mempengaruhi hasil penelitin historis. Usul-usul Zinn dapat kita ringkas menurut empat butir yaitu:
1. Pengkajian sejarah hendaknya menimba ilham dari cita-cita Fajar Budi. Pada abad itu, pengkajian sejarah baru dianggap relevan, kalau mengabdi kepada kemajuan. Seperti Voltaire dan Gibbon memerangi takhayul dan dogma-dogma.
2. Seterusnya Zinn minta dari seorang sejarawan, agar ia memaparkan sejarah dari perspektif orang-orang yang menjadi korban proses sejarah. Agar penderitaan para korban itu dapat dihayati, Zinn menganjurkan metode hermeneutis. Baru metode hermeneutis akan berhasil melukiskan penderitaan mereka itu, seolah-olah merupakan penderitaan kita sendiri.
3. Seorang sejarawan terus-menerus harus menyadarkan kita, bahwa tata tertib dalam masyarakat dewasa ini kebetulan saja terjadi begini dan bahwa itu terikat akan keadaan pada suatu waktu tertentu. Keadaan sekarang ini bukanlah ditentukan oleh nasib yang tak terelakkan, melainkan merupakan hasil dari suatu pertarungan antara kekuatan-kekuatan sosial.
4. Akhirnya sejarah membuka jalan, agar kita dapat belajar dari kesalahan-kesalahn dan sukses-sukses manusia dahulu kala. Sejarah Revolusi Industri di Inggris mengajarkan kepada kita, kesalahan-kesalahan mana yang harus kita hindarkan dalam melaksanakn industialisasi.
Masalah-masalah Sekitar Penulisan Sejarah Yang Terlibat
Kebanyakan sejarawan dan filsuf sejarah sepakat, bahwa suatu spesialisasi yang ekstrem dalam pengkajian sejarah, memang harus dihindarkan. Menyadari hal itu sudah membuka pandangan seorang sejarawan bagi masalah-masalah sosial dan politik yang memberi corak kepada zamannya sendiri. Maka dari itu, kita dapat menyetujui keinginan Zinn, supaya seorang sejarawan tetap sadar akan tanggung jawab sosial dan kultural terhadap zamannya. Tetapi sering seorang sejarawan yang terlibat menyaksikan dengan rasa heran, bagaimana kelompok-kelompok sosial tertentu sangat terikat akan suatu tata masyarakat yang menurut pendapatnya, bertentangan dengan kepentingan obyektif kelompok itu.
Nipperdey masih melihat suatu bahaya lain yang dapat dihasilkan oleh penulisan sejarah yang terlibat. Bahaya itu adalah bahwa kita hanya menggunakan masa silam untuk melaksanakan, dihari depan, norma-norma dan nilai-nilai yang sekarang kita terima. Tetapi penulisan sejarah yang tidak terlibat, rupanya merupakan jaminan yang lebih baik bagi hari depan yang lebih cerah daripada penulisan sejarah yang terlibat. Seorang sejarawan yang terlibat, bertitik tolak pada suatu pendapat yang masih harus dibuktikan. Dengan kata lain, seorang sejarawan terlibat mengandaikan suatu wawasan historis, yang baru dapat diperoleh lewat suatu penelitian yang tidak berat sebelah.
E. Bagaimana Perjalanan dari Pemikiran Tentang Keterlibatan Dalam Penulisan Sejarah
Adapun Horkheimer (1895-1973) dan Th. Adorno (1903-1069) mendirikan Mazhab Frankfurt, yakni pada tahun 1929, yang terhimpun dalam mazhab itu ialah sejumlah ahli sosiologi yang melancarkan kritik neo-marxis terhadap kapitlisme Barat modern, serta terhadap filsafat ilmu yang positivistis yang menurut mereka merupakan pengungkapan teoritis mengenai sistem kapitalis itu. Marxisme yang dianut Habermas, terutama berakar dalam perhatiannya untuk gagasan marxis mengenai ideologi-ideologi. Yang menjadi tujuan Habermas bukan pertama-tama untuk merombak susunan masyarakat yang ada, melainkan untuk mengkritik ideologi yang menopang tata masyarakat yang sedang berlaku. Menurut Habermas sendiri, sautu masyarakat dimana kebenaran mengenai kenyataan sosial dapat dicari dan dapat ditemukan dalam suatu diskusi yang bukan ideologi dan yang bebas dari perbudakan.
Menurut Oakeshott konsep perubahan sebetulnya merupakan sebuah konsep yang paradoksal, karena memperpadukan pengertian mengenai perbedaan, dengan pengertian mengenai sesuatu yang tetap sama. Bila ada yang berubah maka ada juga unsur-unsur yang sama di dalam perubahan itu. Perubahan yang tidak dibarengi oleh sesuatu yang tetap sama, merupakan kekacauan belaka, tak adanya tata tertib dan, aneh bin aneh, justru menimbulkan kesan mengenai sesuatu yang sama, tetap dan statis. Perubahan yang sejati mengdaikan adanya sesuatu yang sama, yang dapat dipakai sebagai tolak ukur untuk mengukur perubahan.
Pada umumnya ada aura pemistis dalam memandang kesadaran historis dewasa ini. Bertambahnya kuantitas dan kualitas sejarah pada abad 20, menurut Nietzsche membuat masa silam hany menjadi obyek belaka, yang terletak di depan muka kita seperti benda yang mati. Jumlah buku dan karangan sejarah yang demikian banyak, membuat kita acuh tak acuh terhadap masa silam. Menurut Th. Schieder, manusia Barat sekarang ini, tidak merasa terikat lagi dengan masa silam, karena kesadaran akan unsur perubahan dan kelestarianayang demikian pokok bagi kesadaran historis telah punah.
Kebanyakan sejarawan dan filsuf sejarah sepakat, bahwa suatu spesialisasi yang ekstrem dalam pengkajian sejarah, memang harus dihindarkan. Menyadari hal itu sudah membuka pandangan seorang sejarawan bagi masalah-masalah sosial dan politik yang memberi corak kepada zamannya sendiri. Maka dari itu, kita dapat menyetujui keinginan Zinn, supaya seorang sejarawan tetap sadar akan tanggung jawab sosial dan kultural terhadap zamannya. Tetapi sering seorang sejarawan yang terlibat menyaksikan dengan rasa heran, bagaimana kelompok-kelompok sosial tertentu sangat terikat akan suatu tata masyarakat yang menurut pendapatnya, bertentangan dengan kepentingan obyektif kelompok itu.
(M.S. Mitchel Vinco/ dalam sebuah kuliah filsafat sejarah)