Jumat, 24 September 2010

HISTORIOGRAFI ASIA SELATAN DAN ASIA TENGGARA (Bagian I)

".... dalam sebuah kuliah Metodologi Penelitian Sejarah, di kelas (alm) Prof. Dr. P.J. Suwarno, S.H."

LATAR BELAKANG
Seperti halnya di tempat-tempat lain, perkembangan historiografi Asia Selatan dan Asia Tenggara selalu berhubungan erat dengan sumber-sumber kesusastraan (literaty). Namun, sebelum abad ke-20 sumber-sumber yang terpenting adalah pelbagai agama yang selama enam abad memisahkan suatu wilayah dan menyatukan wilayah lainnya. Untuk kemudahan tinjauan mengenai ikhtisar tradisi historiografi ini, kita dapat membedakan lima wilayah yang mempunyai agama dan pengalaman baca tulis yang berbeda.
Antara agama Hindu yang dianut oleh rakyat banyak di India dan agama Buddha Theravada yang tersebar di Muangthai, Birma dan Sri Lanka, tidak terdapat banyak persamaan. Kedua daerah tersebut berbeda pula dengan wilayah ketiga, yaitu daerah penyebaran agama Islam dengan pusat-pusatnya di Pakistan dan India serta masyarakat di Indonesia, Malaysia dan Filipina Selatan. Wilayah yang keempat dan kelima yaitu, Vietnam dimana terdapat suatu bentuk tertentu dari agama dan Budaya Tiongkok, dan masyarakat yang sebagian besar menganut agama Kristen di Filipina. Dalam wilayah tersebut dapat terlihat perbedaan dan tanggapan mengenai sejarah.


1. Historiografi Tradisional
Historiografi Tradisional Asia Selatan
Agama yang dikenal pertama kali di India adalah agama Veda. Agama ini di India mengahasilakan tarikh-tarikh dalam bentuk Purana. Tradisi Purana ini kemudian diperluas dan tarikh-tarikh lain disusun pula, namun tetap ditandai ciri-ciri sebagai berikut: tidak dikenal umum, dibesar-besarkan, kurang data yang otentik dan pengabaian topografi dan kronologi.
Epik-epik besar yaitu Mahabharata dan Ramayana, banyak berpengaruh dan dipakai sebagai sumber tradisi historiografi yang lain lagi. Sekalipun tidak menimbulkan penulisan sejarah, namun berabad-abad lamanya epik-epik itu merupakan bentuk yang paling dekat dengan sejarah dan dapat dikatakan berperan sebagai sejarah bagi orang-orang yang menggunakan cerita-cerita itu. Tambahan lagi, kedua epik tersebut bersama-sama dengan cerita Pancatantra dan Jataka dari agama Buddha menjadi sumber dari cerita-cerita jenaka dan tradisi berkisah untuk pemulisan genealogi-genealogi buddhis dan kronik-kronik di Sri Lanka serta daratan Asia Tenggara. Beberapa abad kemudian, baru kronik-kronik ini beralih dari perkembangan filsafat Gautama Buddha ke pencatatan yang dilakukan secara sadar dari peristiwa-peristiwa politik kontemporer dan peristiwa-peristiwa keagamaan.
Historiografi India sangat kaya setelah masuknya agama Islam ke India pada akhir abad ke-12. Suatu tradisi pemulisan sejarah yang sudah berkembang baik diperkenalkan, dan selama enam abad lebih suatu cabang historiografi Islam menguasai Asia Selatan. Ciri-ciri utama dari penulisan historiografi Islam ini sama dengan historiografi Islam di persia, Afrika Barat dan Afrika Utara. Historiografi ini tetap terikat pada kepentingan kekuasaan yang ortodoks dan cenderung untuk mengabdi kepada Tuhan dan komuniti Islam. Karya ini ditunjukkan pada pendidikan moral dan agama melalui kisah-kisah para nabi, khalif, sultan dan orang-orang besar lainnya. Cerita-cerita tersebut berkisah menganai kemenangan dan kekalahan para penguasa Islam dan tidak pernah menyentuh orang yang menganut agama lain.

Historiografi Tradisional Asia Tenggara
Di Birma, dengan tersebarnya agama Buddha Theravada orang-orang Mon-Khmer (di daaratan Asia Tenggara) mulai menyusun kronik-kronik yang memantapkan suatu tradisi penggabungan data-data mengenai dinasti, anekdot-anekdot mengenai raja-raja, serta berbagai mitos dan legenda yang memberikan arti pada setiap pemerintahan. Sebagai karya yang disusun oleh para biarawan, para brahmana terpelajar, karya-karya ini mengandung bahan-bahan yang berharga bagi tulisan-tulisan pertama dari orang-orang Eropa mengenai Birma. Demikian pula tradisi Muangthai, yang dikembangkan oleh para biarawan dan menteri-menteri yang terpelajar, diambil dari Sri Lanka, mungkin melalui bangsa-bangsa yang berbahasa Mon-Khmer yang berdiam di Lembah Menam.
Keadaannya berbeda di antara orang-orang Jawa dan Melayu. Monumen-monumen dan inskripsi-inskripsi Hindu-Buddhis banyak sekali ditinggalkan, tetapi perhatian penduduk asli pada masa lampau dan penggunaan masa lampau sebagai sumber kekuatan gaib untuk memberikan kekuasaan dan mensahkan kewibawaan juga berkembang sendiri. Mulai dari sajak-sajak epik Negarakertagama sampai pada Pararaton dan Babad Tanah Jawi( abad 14-17 ) pujangga-pujangga keraton memuja-muja raja mereka, meyususn genealogi-genealogi yang mengesankan, serta menyempurnakan dalam bentuk sajak. Karya ini bukan karya sejarah, tetapi mendekati suatu tradisi asli dalam hal kesadaran sejarah.
Keinginan untuk meneruskan kekuasaan yang sah dan kedaulatan para pahlawan dari masa lampau, nampak dipertahankan selam berabad-abad. Karena tidak memiliki ketepatan kronologis serta perhatian yang sekuler mengenai raja-raja, menteri-menteri, rakyat dan musuh-musuh, maka daftar tersebut lebih banyak merupakan latihan metrik serta jampi-jampi daripada penulisan sejarah. Namun, setelah abad ke-19 babad yang dihasilakan lebih mendekati sejarah, terutama Babd Diponegoro dan Sejarah Banten.
Tulisan-tulisan dalam bahasa melayu, terutama kitab Sejarah Melayu dan sejumlah karya lain seperti kerjaan Johor dan Kerajaan Riau-Lingga, lebih kaya daripada cerita-cerita dalam bahasa Jawa, uraian mengenai orang dan tempatnya juga lebih hidup. Tidak banyak tekanan pada kekuatan gaib, dibandingkan tekana nilai-nilai moral seperti kepatuhan, kejujuran dan secara keseluruhan karya-karya berbahasa Melayu ini tidak saja bertujuan untuk mendidik tetapi juga menghibur.

Ciri-Ciri Historiografi Tradisional
Ada beberapa tradisi yang mempunyai asal-usul sama tetapi kemudian berkembang menjadi tradisi-tradisi tersendiri dan khas di Sri Lanka, Birma, Muangthai, Jawa dan dunia Melayu. Malah tradisi Islam tidak homogen, dan apa yang muncul di India Utara berbeda sekali dengan penulisan di Aceh, Jawa, Malaka, Johor, Sulawesi Selatan dan Sulu.
Ciri-ciri yang sama itu adalah: (a) kebanyakan karya-karya tersebut kuat dalam hal genealogi, tetapi lemah dalam hal kronologi dan detail-detail biografis; (b) tekanannya adalah pada gaya bercerita, bahan-bahan anekdot, dan penggunaan sejarah sebagai alat pengajaran agama; (c) bila karya-karya tersebut lebih bersifat sekuler maka nampak adanya persamaan dalam hal perhatian pada kingship (konsep mngenai raja) serta tekanan diletakkan pada kontinuitas dan loyalitas yang ortodoks; (d) pertimbangan-pertimbangan kosmologi dan astrologis cenderung untuk menyampingkan keterangan-keterangan mengenai sebab-akibat dan ide kemajuan.
Perbedaan-perbedaan yang pokok adalah: (a) agama memisahkan para sejarawan Indo-Islam dari konteks sosio-ekonomi agama Hindu yang terdapat dalam sejarah India; agama juga memisahkan orang-orang Muangthai dan Kamboja dari tradisi Asia Timur dalam bentuk Vietnamnya; agama juga memisahkan dunia Melayu-Jawa dari orang-orang Muangthai dan Birma di satu pihak dan orang-orang Filipina di pihak lain; (b) persaingan nasional mempengaruhi karya mengenai bangsa-bangsa yang bertetangga, umpanya karya-karya orang-orang Birma dan Muangthai; (c) perbedaan-perbedaan bahasa di India sebelum dipakainya bahasa Persia dan daratan Asia Asia Tenggara sebelum menurunnya bahasa Pali sangat rumit: kebanyakan karya-karya itu tidak dapat dibaca di luar batas-batas negara itu sendiri; (d) kebijaksanaan-kebijaksanaan raja-raja mengenai penulisan sejarah cukup beragam: karya-karya Islam dan Melayu diedarkan di kalangan umum, sedangkan karya-karya orang Muangthai, Birma, serta Vietnam hanya untuk kepentingan pihak resmi.
Ada dua hal yang perlu ditekankan di sini. Pertama, kalangan ilmiah masa kini sudah mulai menghargai karya-karya tradisional tersebut, dan telah menerapkan teknik-teknik kritik Biblikal dan Homerikal dalam penelitian-penelitian mereka. Sekarang sudah disadari bahwa kronik-kronik dapat diartikan dengan tepat dalam konteks keseluruhan sistem budaya yang menghasilkannya. Kedua, terlepas dari persoalan apakah karya-karya ini dapat dinamakan”sejarah” atau tidak, nilainya sebagai suatu dokumen sejarah telah terbukti sekarang. Yang diperlukan sekarang adalah teknik-teknik yang lebih halus dan lebih peka untuk mendapatkan data-data yang diperlukan untuk menuliskan sejarah Asia Selatan dan sejarah Asia Tenggara.
(Bersambung ke Historiografi Modern Assel dan Asteng)

Tidak ada komentar: