Jumat, 24 September 2010

HISTORIOGRAFI ASIA SELATAN DAN ASIA TENGGARA (Bagian II)

"...masih dari kuliah Metodologi Penelitian Sejarah, kelas (alm) Prof. Dr. P.J. Suwarno, S.H."


2. Historiografi Modern
Historiografi modern di Eropa tumbuh bersamaan dengan ekspansi kegiatan orang-orang Eropa di Asia. Tetapi karena kegiatan orang-orang Eropa di Asia antara abad ke-16 dan ke-17 hanya di daerah pinggiran saja dan karena perubahan sikap tradisional orang-orang Eropa sendiri terhadap sifat dan penggunaan sejarah sangat lambat, maka tidak ada pengaruhnya pada historiografi Asia Selatan dan Asia Tenggara pada masa tersebut. Baru pada paruh kedua abad ke-19, ketika ilmu pengetahuan dan kebudayaan Barat secara sadar diajarkan dan dipelajari, mula-mula di Asia selatan dan kemudian di beberapa tempat di Asia Tenggara, maka wilayah-wilayah itu pun terpengaruh oleh metode-metode sejarah Barat. Namun apa yang diperkenalkan secara luas sekarang adalah teknik-teknik tradisional dari akhir abad ke-18 dan awal abad ke -19, umpamanya metode filologis dari William Jones dan penulisan sejarah dari James Mill, Mountstuart Elphinstone, dan Vincent Smith. Ada suatu perbedaan waktu dalam perkembangan metodologis ini, dan dalam awal abad ke-20 teknik-teknik tradional tersebut masih dianggap tinggi dan jitu untuk ditiru. Perkembangan menuju sejarah “ilmiah” dan pertumbuhan ilmu-ilmu sosial di Eropa dan Amerika hampir tidak diketahui sampai sesudah perang Dunia kedua. Pemakaian teknik-teknik historiografi Barat pertama-tama digunakan untuk mempelajari India dan Sri Lanka, tetapi kemudian orang-orang Belanda menggunakanya juga untuk mempelajari Indonesia, dan orang-orang Perancis, sekalipun yang paling akhir dalam deretan ini, segera pula menggunakannya untuk mempelajari Indocina.

Historiografi Modern Asia Selatan
Ilmu pengetahuan Barat yang sungguh-sungguh di India dimula dari William James yang membentuk Asiatis Society di Calcutta pada tahun 1784. Kegiatan lembaga ini mengenai penelitian dunia Timur dan lembaga-lembaga sejenisnya di Bombay, Madras, Mysore, dan Sri Lanka, serta pertumbuhan lembaga-lembaga ilmiah di Perancis dan Jerman, dan pengadaan kursi-kursi kemahaguruan di Eropa dalam abad ke-19, merupakan landasan bagi perkembangan historiografi modern di Asia Selatan.
Sumbangan-sumbangan yang paling penting pada mulanya adalah dalam bidang filoogsi Sankrit dan pengediatn teks-teks dari agama Veda dan agama Budha, tetapi kemudian penelitian tentang kepurbakalaan India-lah yang meletakkan dasar untuk menghadapi bahan-bahan dari India Kuno yang sebelumnya tidak dapat ditelusuri itu. Periode pra-Islam sangat menarik karena bagi sejarawan periode ini serbat tidak pasti – tidak ada kronoligi, tidak ada geneologi yang dapat dipercaya, dan tidak ada ketentuan-ketentuan yang dapat menjelaskan manusia dengan tepat. Dalam bidang inilah tercatat penemuan-penemuan yang paling mengesankan. Yang terutama adalah karya James Tod, Annal and Antiquities of Rajasthan (Tarikh-tarikh dan kepurbakalaan Rajastan) yang diterbitkan antara 1829 sampai 1832, dan penelitian-penelitian epigrafi dan numismatik dari James Prinisip yang diterbitkan pada tahun 1858 dengan judul Essays on Indian Antiquities ( Esai-esai mengenai kepurbakalaan India). Keberhasilan ini mengakibatkan dibukanya departemen arkeologi di bawah pimpinan Alexander Cunningham pada tahun 1862; inilah yang pada tahun 1902 menjelma menjadi Indian Archeological Survey (Dinas Kepurbakalaan India) yang tekenal itu yang dipimpin oleh John Marshall (Ancient India, 1953).
Bila dibandingkan dengan karya-karya tersebut di atas, sejarawan-sejarawan tradisional Eropa kurang berhasil. Mill, Esphinstone, dan Smith, maupun ahli-ahli sejarah India yang berkebangsaan Perancis dan Jerman, tergesa-gesa menekankan superioritas pemerintahan Barat atau sangat tidak kritis terhadap bahan-bahan Islam dan non-Islam. Pengaruh-pengaruh mereka pada mulanya paling besar di kalangan pembaca Eropa dibandingkan dengan pembaca India. Baru setlah dibukanya universitas-universitas model Inggris di Calcuta, Bombay, Madras (ketiganya tahun 1857), dan di tempat-tempat lain, maka pengajaran secara formal memperkenalkan karya-karya Eropa pada ilmiawan-ilmiawan muda India. Tetapi pada saat itu pula, ketika sarjana ilmu-ilmu sejarah Eropa sedang mengalami langkah-langkah kemajuan, sarjana-sarjana India seperti R.G. Bhandarkar mempelajari teknik-teknik yang berasal dari masa sebelumnya dengan cara yang demikian baiknya sehingga sanggup mengkritik sejarawan-sejarawan Eropa sendiri (Philips, 1961a, Bahsam 1961b).
Baru dalam abad ke-20 historiografi Asia Selatan mulai terpengaruh secara langsung dan kuat oleh metodologi Barat. Paling kurang adanya dua caranya. Pertama, suatu penghargaan yang lebih mendalam terhadap metode-metode ilmiah Barat, terutama setelah penelitian arkeologis yang gemilang mengenai Mohenjodaro dan Harappa. Kedua, adalah pendekatan nasionalistis dan anti-imperialistis, yang dalam bentuknya yang paling ekstrem menghasilkan penulisan-penulisan sejarah yang buruk dan revisionistis pada satu pihak, dan pada pihak lain memberi perangsang bagi historiografi Marxis dan lain-lain bentuk histioriografi yang radikal (Majumdar, 1961b)
Dapat dikatakan bahwa awal historiografi modern adalah diterbitkannya Cambridge History of India (sejarah India dari Cambrdige) yang enak jilid itu antara tahun 1932. Hal ini membangkikat perhatian yang cukup besar dari pihak orang-orang India, malah juga mereka yang tidak menyenangi dominasi karya orang-orang Barat mengenai India. Diakui bahwa dalam bidang arkeologi dan numismatik, kumpulan karya yang banyak dihasilkan oleh sarjana-sarjana Eropa itu tidak dapat diabaikan. Demikian pula kumpulan dokumen-dokumen dan penafsiran-penafsiran mengenai kegiatan orang-orang Inggris, politik East India Company (perusahaan India Timur), dan perluasan kekuasaan Inggris di India. Tetapi tidak demikian halnya mengenai karya-karya tentang agama dan kebudayaan India, perlawanan India terhadap Inggris (umpamanya pemberontakan 1857 dan pergrakan nasional) dan perubahan-perubahan sosial-ekonomi di India sejak awal abad ke-19. Dalam bidang inilah sejarawan generasi baru mulai menentang hasil-hasil penelitian orang-orang Eropa itu. Yang terpenting dari generasi baru ini adalah R.C Majumdar, H.C Raychaudhuri, K.A.A. Nilakantasastri,dan K.M. Panikar. Kebanyakan adalah tamatan jurusan-jurusan sejarah dari tingkat universitas di Inggris maupun di India, dan banyak di antara mereka adalah dosen-dosen sejarah yang profesional. Mereka melanjutkan tradisi pembentukan lembaga-lembaga ilmiah untuk menerbitkan majalah-majalah ilmiah dan belajar menghargai perpustakaan yang besar serta koleksi-koleksi arsip yang diorganisasi oleh negara dan pemerintah India (Lihat, Nilakantasastri, 1956; Datta, 1957).
Setelah kemerdekaan tercapai, penulisan sejarah berkembanga terus. Yang terutama sangat aktif adalah lembaga-lembaga seperti Archeological Survey (Dinas Arkeologi), History Records Commiossion (komiris Arsip Sejarah), dan India History Congress (Kongres Sejarah India). Antara penerbitan-penerbitan majalah dengan standar akademis ada pula yang patut dicatat; India Historical Quarterly (Kwartalan Sejarah India), dan Jurnal of Indian History (Jurnal Sejarah India). Suatu usaha yang penting yaitu seri sebelas jilid mengenai sejarah dan kebudayaan bangsa India yang diterbitkan oleh Bharatiya Vidya Bharam dengan editor umum R.C. Majumdar. Juga penting India History Congress tersebut yang mengadakan komperensi mengenai sejarah Asia pada tahun 1961 dan pertemuan internasional dari International Congress of Orientalists (Kongres Internasional ahli-ahli mengenai dunia timur) yang diadakan di New Delhi pada tahun 1965. Perkembangan-perkembangan ini mencerminkan kesadaran historiografi modern dari orang-orang India yang rupanya juga mencerminkan penerimaan metode-metoe ilmiah yang modern dalam historiografi. Kenyataan yang paling penting di India modern ini adalah bahwa kini cukup banyak tersedia sejarawan yang terlatih untuk mempelajari hampir seluruh periode dan macam persoalan dalam sejarah India. Tambahan lagi, beberapa dari sejarawan baru kini mulai menggunakan ilmu-ilmu sosial dalam penelitian mereka. Dalam hal mempertajam metodologinya banyak yang beralih pada disiplin-disiplin ilmiah yang dikembangkan di Amerika Serikat.

Historiografi Modern Asia Tenggara
Berbeda dengan Asia Selatan, di Asia Tenggara tidak terdapat suatu pusat kegiatan ilmiah yang berurat-berakar dan menyebar ke seluruh wilayah itu. Perluasan kekuasaan bangsa Eropa yang tidak merata di seluruh wilayah dan submer bahan-bahan yang tidak banyak dari negara-negara yang kecil itu, tidak memungkinkan adanya perkembangan historiografi modern. Umpamanya kisah-kisah tertua mengenai daerah ini yang dihasilkan oleh orang-orang Portugis, Spanyol, Belanda, dan Inggris (dari abad ke-16 sampai dengan abad ke-18) tidak mempengaruhi penulisan-penulisan dari orang-orang Asia Tenggara dan lebih merupkan historiografi Eropa. Malah pembentukan Bataviaach Genootshcap vor Kunsten en Vetenschappen (Perhimpunan ?Batavia untuk seni dan Ilmu pengetahuan) yang terkenal itu pun (di Jakarta sejak tahun 1778) dan bukunya William Marsden, History of Sumatra (Sejarah Sumatera) yang diterbitkan pad atahun 1783 serta bukunya Raffles, History of Java (Sejarah Jawa) dari tahun 1817, sedikit sekali merangsang penelitian sejarah. Baru pada bagian akhir dari abad ke-19, dan dengan dihidupkannya kembali perhimpunan Batavia untuk Seni dan Ilmu Pengetahuan tersebut, serta pembentukan Straits Branch of the Royal Asiatic Society (Cabang Straits dari masyarakat kerajaan Asia) pada tahun 1878, mulailah kegiatan ilmiah yang sungguh-sungguh di Indonesia dan di Malaysia. Sesungguhnya sewaktu orang-orang Eropa sedang menghasilkan karya-karya tersebut, dalam abad ke-19, tradisi asli penulisan Babad dan Sejarah juga tetap hidup, dan sarjana-sarjana Barat sering bergantung pada kronik-kronik asli itu untuk mendapatkan bahan-bahan mengenai periode yang lebih tua. Betapa pun, karya orang-orang Eropa tersebut berkembang berdampingan dengan usaha-usaha penulisan sejarah setempat dan tidak mempengaruhi bentuk-bentuk dan sikap-sikap tradisional.
Demikian juga orang-orang Birma dan Muangthai di daratan Asia Tenggara tetap giat menyusun Yazawin-yazawin dan P’ongsawadan-P’ongsawadan sewaktu orang-orang Eropa yang amatir itu seperti Arthur Phraye (A History of Burma - sejarah Birma, 1883) dan W.A.R Wood (A History of Siam – sejarah siam, 1926) menulis karya-karyanya dan sewaktu majalah-majalah ilmiah seperti Journal of the Burma Research Society (jurnal masyarakat Penelitian Birma) dan Journal of the Siam Society (Jurnal masyarakat Muangthai) diterbitkan. Umpamanya, kedua sarjana Inggris yang disebut di atas mengakui bahwa mereka sangat bergantung pada hasil penelitian setempat itu. Di Vietnam sejarawan-sejarawan tradisional banyak membantu sarjana-sarjana Perancis yang tergabung dalam Ecole Francaise d’Etreme Orient (sekolah Perancis mengenai Timur Jauh) yang didirikan pada tahun 1900 dan yang karya-karyanya membawa keharuman pada majalahnya yang benama Bulletin. Arsip-arsip kerajaan di Hue pun masih menyimpan dokumen-dokumennya dengan cara tradisional sampai beberapa tahun setelah Perancis menaklukkan daaerah itu.
Filipihna adalah suatu kasus tersendiri dimana suatu tingkat ilmu pengetahuan Barat menggantikan tingkat ilmu pengetahuan Barat lainnya. Namun demikian, penulisan sejarah model Spanyol tradisional tetap berkembang selama masa pendudukan Amerika Serikat (sejak 1898) sementara sarjana-sarjana Amerika mempelajari sejarah Filipina dari dokumen-dokumen kolonial dan dokumen-dokumen Missi Spanyol. Di antaranya yang paling penting adalah karangan E.H. Blair dan J.A. Robertson yang 55 jilid itu dan yang berjudul The Philippine Islands, 1493-1898 (Kepulauan Filipina, 1493-1898) dan yang diterbitkan antara tahun-tahun 1903 dan 1909.
Dalam abad ke-19 dan paruh pertama dari abad ke-20 pernah terdapat tiga bidang historiografi Asia Tenggara yang berbeda-beda. Pertama, sejarah kuno – yang tidak dikenal atau kurang dikenal oleh penduduk asli – diungkpakan oleh para filolog, epigraf, dan para arkeolog. Kedua, sejarah kolonial – yang mencakup perdagangan, perang, perjanjian-perjanjian, dan administrasi orang-orang Eropa – adalah bidang perhatian khusus dari orang-orang Eropa sendiri, dan kurang sekali menarik perhatian sarjana-sarjana setempat. Ketiga, “periode tengah” – yang berkisar antara empat sampai sepuluh abad sebeluam abad ke-19 – adalah zaman penulisan sejarah pendudul asli; metode-metode modern bisa digunakan untuk mengatur, menentukan tanggal-tanggal secara lebih tepat, dan malah menginterpretasikan kembali tulisan-tulisan dari periode ini (Hall, 1961).
Berbeda sama sekali dengan apa yang mereka lakukan di Asia Selatan, orang-orang Inggris, Belanda, dan Perancis tidak berusaha untuk mendidik sejarawan-sejarawan di kalangan orang-orang Asia Tenggara sampai beberapa tahun setelah Perang Dunia.

Ciri-Ciri Historiografi Modern
Diantara dua wilayah antara Asia tenggara dan Asia selatan India-lah yang paling mengesankan baik dilihat dari kuantitasnya maupun kualitasnya. Tetapi Srilangka dan Pakistan banyak persamaanya dengan Indonesia, Birma, Malaysia, dan Filipina dalam soal tingkat kemajuan dan kemungkinan-kemungkinan yang ada dalam penelitian. Ada kemungkinan bahwa Srilangka dan Filipina Malaysia dan Singapura akan berbeda perkembanganya dengan negara-negara lain karena Historiografi tradisionalnya tidak menghambat Modernisasi. Dalam hal ini Historigrafi modern sedang dikonfrontasikan dengan nasionalisme dan mungkin saja ditunjukan pada kepentingan-kepentingan Nasional. Salah satunya India tersebut dihadapkan pada negara-negara lainya. Sejarah nasional diutamakan dari pada sejarah ilmiah, tetapi selama alat pengajaran dan penggunaan metode-metode akademis tetap dipertahankan, keadaan ini bisa saja berubah. Muangthai adalah suatu pengecualian. Peneliti sejarah tidak terlalu banyak, dan masih ada karya-karya yang dikerjakan dalam batas-batas nilai nilai tradisional, tetapi tidak ada ramuan tradisional dalam karya karya mereka. Apalagi suatu generasi baru sedang mengunakan metode-metode modern dan semakin tinggi saja ketrampilan dan keyakinan mereka

Otonomi Tradisi Historiografi

Di dalam Otonami Tradisi Historiografi sejarah tidak pernah mendapat tempat yang penting dalam tradisi Asia tenggara. Fungsi utama yang pernah ada adalah memperkuat kewibawaan sang raja, dengan memberi ajaran moral dan agama serta menghibur untuk memberi kesenangan. Setiap tradisi historiografi berkembang sekitar kepentingan dari bermacam-macam pembaca dengan kekuatan atau kelemahanya tergantung pada pranata politik yang menghasilkan pembaca-pembaca itu. Selama pranata-pranata itu tetap bertahan, tradisi penulisan sejarah yang mendukungnya pun bertahan pula.
Di asia selatan dan filipina pengaruh pemerintah kolonial sangat lama dan hal ini meningkatkan bekas yang mendalam dalam Historiografi penduduk setempat. Sebab itu kecuali beberapa tradisi historiografi Islam, tidak ada historiografi tradisional yang masih bertahan disana. Tetapi dibagian lain di Asia Tenggara Sejarah pengaruh barat tidak terlalu mendalam, dan dalam hal-hal tertentu malah kurang dari seratus tahun, dalam mana masa sejarahwan-sejarawan dan para penguasa kolonial tidak menghancurkan tradisi tradisi lokal. Dengan demikian, banyak diantara tradisi-tradisi itu yang masih hidup dalam tradisi baru. Hal ini bisa nampak bila pergerakan nasional berhasil menghidupkan karya-karya masa silam.
Dalam hal ini, yang terpenting bukan kenyataan bahwa historiografi Asia selatan dan asia tenggara belum juga berhasil membebaskan dirinya dari sikap-sikap serta hambatan-hambatanya. Yang terpenting adalah kenyataan bahwa antara lembaga dan akademis di asia dan dunia barat telah ada hubungan timbal balik Karya-karya yang penting dapat sama-sama diperoleh, dan disiplin baru sudah diperkenalkan dan di pahami. Konsep dasar telah sampai di asia selatan dan asia tenggara bahwa waktu dan tempat harus teliti behwa pengetahuan mengenai masa lampau manusia harus Sekuler dan humanistik, dan bahwa pakta sejarah dan interprestasi sejarah harus selalu diuji dengan metode-metode ilmiah yang paling baik

Oleh: M.S.Mitchel Vinco

Tidak ada komentar: