“Yang kita
kembangkan di masa-masa mudah, akan menjadi kekuatan kita di masa-masa yang
berubah”, demikian motivasi dari buku “Who
Moved My Cheese”, (Spencer Johnson:2002). Berusaha mengingatkan bahwa di
masa terdamaipun, kita tidak boleh bersantai-santai, larut dalam ketenangan,
sehingga melupakan bahwa perubahan merupakan kepastian di dunia ini.
Meskipun sekarang
masyarakat Kal-Bar berada di kondisi yang damai dan tenteram, sejarah tetap
harus dipelajari. Biarpun sejarah itu menjadi sejarah yang kelam. Seperti
peribahasa Perancis “historie c’est
repete”, artinya “sejarah akan terulang kembali”. Pembelajaran sejarah
bukannya membuka luka lama, tapi pembelajaran agar luka itu tidak terjadi lagi
di masa depan.
Terutama menjelang
Pilkada Gubernur Kal-Bar 2012, pembelajaran tentang sejarah konflik kekerasan,
terutama pengerahan massa demi tujuan politik, sangat baik dipelajari untuk
menjaga minimal diri kita sendiri dan orang-orang yang kita cintai, agar tidak
mudah terprovokasi. Januari ini bertepatan pula dengan Peringatan Perisitiwa
Malari 38 tahun yang lalu.
Peristiwa
Malapetaka 15 Januari (Malari) 1974 di Jakarta, merupakan kerusuhan sosial
pertama sejak Soeharto menjadi presiden lewat pemilu pertama orde baru (1971). Peristiwa
yang diawali tidak setujunya beberapa golongan intelektual terhadap kebijakan
politik-ekonomi “modal asing”nya Soeharto, berbalut dengan persaingan politik
antara dua Jenderal papan atas Indonesia saat itu, Ali Moertopo (Assisten
Pribadi Presiden) dan Soemitro (Pangkomkabtib).
Hasilnya,
demonstrasi mahasiswa ternyata digunakan oleh sekelompok pihak untuk menjadikan
langit Jakarta “merah membara” akibat kepulan asap kerusuhan kota. Sementara
mahasiswa dijadikan kambing hitam atas peristiwa Malari. Hal ini mirip dengan
kasus Kudatuli 1996 dan Kerusuhan 1998, yang mengidentikan demonstrasi
mahasiswa dengan kerusuhan.
Menurut Asvi Warman
Adam dalam Seabad Kontroversi Sejarah(2007), tercatat sedikitnya 11 orang
meninggal, 300 luka-luka, 775 orang ditahan. Sebanyak 807 mobil dan 187 sepeda
motor dirusak/dibakar (sebagian besar buatan Jepang), 144 buah bangunan rudak
berat. Sebanyak 160 kg emas hilang dari sejumlah toko perhiasan.
SEBAB-SEBAB MALARI 1974
Beberapa golongan
intelektual sejak 1973 tidak setuju dengan kebijakan politik-ekonomi Indonesia
yang sangat terbuka dengan bantuan modal asing. Demonstrasi-demonstrasi dan
rapat-rapat akbar, maupun seminar-seminar marak dilaksanakan untuk menentang
masuknya modal asing. Sjafrudin Prawiranegara, Ali Sastroamidjojo, T.B.
Simatupang, dan Subadio Sastrosatomo, kerap diundang dalam seminar dan diskusi
mengkritisi masuknya modal asing. Mirip-mirip keadaan sekarang, termasuk di
Kal-Bar yang pro dan kontra dengan kebijakan pemerintahan pusat maupun daerah.
Namun, peristiwa
Malari masih menyimpan konflik-konflik yang lain juga, yang memperkeruh
masukan-masukan kaum intelektual kepada pemerintah.
Di masa orde baru,
perebutan kekuasaan bukanlah soal “kursi nomer satu” (presiden), melainkan
siapakah yang akan menjadi orang kedua, atau kepercayaan Presiden Soeharto.
Dalam tubuh Angkatan Darat, muncul dua jenderal terkemuka yang sangat populer
saat itu (1973-1974), pertama Jenderal Ali Moertopo menjabat Assisten Pribadi
Presiden (Aspri), yang sangat berpengaruh dalam memberi masukan-masukan
kebijakan pada Soeharto. Kedua, Jenderal Soemitro yang menjabat posisi
strategis bidang keamanan dan ketertiban, Pangkomkabtib. Persaingan politis
kedua jenderal yang masih aktif inilah, yang menjadi faktor kedua terjadinya
demonstrasi mahasiswa, dan faktor utama kerusuhan kota, atau Peristiwa Malari
1974.
Ali Moertopo dan
rekannya Mayjen. Soedjono Hoemardani sebagai Assisten Pribadi Presiden dianggap
berada dibalik besarnya arus masuk modal-modal asing ke Indonesia, terutama
modal Jepang. Sehingga mereka menjadi aktor-aktor yang “dikritisi” dalam
demonstrasi-demonstrasi mahasiswa. Di lain sisi, tekanan massa pada Ali
Moertopo, digunakan Soemitro untuk mendukung gerakan intelektual pengkritisi
kebijakan pemerintah. Soemitro menerima perwakilan para demontran untuk
berdialog mengenai kebijakan pemerintah, selain juga menghadiri rapat-rapat
akbar mahasiswa di kampus-kampus.
Fakta-fakta di atas
dapat diperiksa dalam tulisan-tulisan Asvi Warman Adam (2007) yang juga
mengutip berbagai sumber lain, dan M.C.Riklef, Sejarah Indonesia Modern (2005).
MELETUSNYA MALARI 1974
Kedatangan Perdana
Menteri (PM) Kakuei Tanaka, 15-17 Januari 1974, langsung disambut dengan
demonstrasi besar mahasiswa. Sejak tanggal 15 gelombang demonstrasi membanjiri
Jakarta. Demonstrasi mahasiswa yang seharusnya murni, diwarnai dengan
kejadian-kejadian mengecewakan. Terjadinya pembakaran ratusan mobil dan sepeda
motor, perusakan bangunan-bangunan, termasuk penjarahan toko-toko. Mahasiswa
menolak dinyatakan sebagai dalang pengrusakan. Sementara isu lain berkembang
bahwa kelompok massa tertentu (bukan mahasiswa) sengaja digerakkan untuk
membuat Jakarta rusuh. Kejadian yang terjadi sejak 15 Januari itu membuat langit
Jakarta memerah karena kobaran api.
Kepungan 20.000
orang terhadap rumah-tamu PM Tanaka dan 5.000 orang di Istana Presiden, membuat
kepulangan Tanaka dilakukan lewat helikopter langsung menuju Bandara Halim
Perdana Kusuma. Kobaran api dan kepulan asap terlihat jelas dari atas helikopter,
di mana juga terdapat Presiden Soeharto.
Fakta ironis dalam
peristiwa ini, bahwa Pangkomkabtib Jenderal Soemitro baru turun tangan dua hari
setelah meletusnya peristiwa, yaitu 17 Januari. Semakin menambah kecurigaan
bahwa Soemitro memberi angin pada gerakan tersebut (Riklef;2005). Hariman
Siregar, Adnan Buyung Nasution, dan Mochtar Lubis adalah beberapa aktifis yang
ditangkap dan dipenjara.
Pasca kejadian
Malari, Soemitro dicopot sebagai Pangkomkabtib oleh Soeharto. Demikian juga Ali
Moertopo, yang dicurigai menggerakkan massa untuk merusak citra mahasiswa dan
memukul Soemitro sebagai penanggungjawab keamanan di ibu kota (Asvi Warman
Adam: 2007).
MALARI DAN KAL-BAR 2012
Soe Hok Gie dalam
kegelisahannya bertanya “kenapa sejarah manusia menjadi sejarah penindasan?”
Keprihatinan Gie sangat mendasar bila kita melihat perjalanan sejarah dunia
kita, khususnya Indonesia, ataupun Kal-Bar. Persaingan manusia, berbalut
keserakahan, dan kepentingan-kepentingan golongan terus mewarnai sejarah kelam
daerah ini.
Peristiwa Malari
dapat menjadi pelajaran kita di awal tahun 2012. Di mana di tahun ini kita akan
melaksanakan pesta demokrasi terbesar di Kal-Bar, Pilkada Kal-Bar dan juga
Pilwako Singkawang. Mengingat pengalaman pilkada sebelumnya yang banyak sekali
memainkan emosi kita. Hendaknya dalam pilkada selanjutnya kita dapat
benar-benar dapat menjadi dewasa, dengan belajar dari sejarah.
Hendaknya para
calon pemimpin daerah bersaing dengan jujur, menunjukkan kualitasnya sebenarnya
di depan rakyat, mampu membawa massa pendukungnya untuk berlaku damai. Rakyat
Kal-Bar juga harus cerdas, tidak hanya memilih berdasarkan fanatisme sempit,
tidak mudah digerakkan dengan isu-isu yang justru memecah belah, dan melihat
calon pimpinan yang memaparkan visi-misi jelas bagi Kal-Bar, sesuai antara
idealisme (mimpi) dan realitas (kenyataan).
Bisa saja di masa
depan sejarah tidak lagi mengajarkan kepedihan, karena memang masa lalunya
benar-benar membahagiakan. Bila sejarah selalu melahirkan pahlawan dalam setiap
jaman, maka pahlawan masa sekarang ada di tangan kita. Jangan sampai sejarah
kelam terulang. Selamat berpemilukada dengan damai. (Michaster Minco)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar