Minggu, 05 Februari 2012

MALARI 1974 dan PEMILU KALBAR 2012


“Yang kita kembangkan di masa-masa mudah, akan menjadi kekuatan kita di masa-masa yang berubah”, demikian motivasi dari buku “Who Moved My Cheese”, (Spencer Johnson:2002). Berusaha mengingatkan bahwa di masa terdamaipun, kita tidak boleh bersantai-santai, larut dalam ketenangan, sehingga melupakan bahwa perubahan merupakan kepastian di dunia ini.
Meskipun sekarang masyarakat Kal-Bar berada di kondisi yang damai dan tenteram, sejarah tetap harus dipelajari. Biarpun sejarah itu menjadi sejarah yang kelam. Seperti peribahasa Perancis “historie c’est repete”, artinya “sejarah akan terulang kembali”. Pembelajaran sejarah bukannya membuka luka lama, tapi pembelajaran agar luka itu tidak terjadi lagi di masa depan.
Terutama menjelang Pilkada Gubernur Kal-Bar 2012, pembelajaran tentang sejarah konflik kekerasan, terutama pengerahan massa demi tujuan politik, sangat baik dipelajari untuk menjaga minimal diri kita sendiri dan orang-orang yang kita cintai, agar tidak mudah terprovokasi. Januari ini bertepatan pula dengan Peringatan Perisitiwa Malari 38 tahun yang lalu.  
Peristiwa Malapetaka 15 Januari (Malari) 1974 di Jakarta, merupakan kerusuhan sosial pertama sejak Soeharto menjadi presiden lewat pemilu pertama orde baru (1971). Peristiwa yang diawali tidak setujunya beberapa golongan intelektual terhadap kebijakan politik-ekonomi “modal asing”nya Soeharto, berbalut dengan persaingan politik antara dua Jenderal papan atas Indonesia saat itu, Ali Moertopo (Assisten Pribadi Presiden) dan Soemitro (Pangkomkabtib). 
Hasilnya, demonstrasi mahasiswa ternyata digunakan oleh sekelompok pihak untuk menjadikan langit Jakarta “merah membara” akibat kepulan asap kerusuhan kota. Sementara mahasiswa dijadikan kambing hitam atas peristiwa Malari. Hal ini mirip dengan kasus Kudatuli 1996 dan Kerusuhan 1998, yang mengidentikan demonstrasi mahasiswa dengan kerusuhan.
Menurut Asvi Warman Adam dalam Seabad Kontroversi Sejarah(2007), tercatat sedikitnya 11 orang meninggal, 300 luka-luka, 775 orang ditahan. Sebanyak 807 mobil dan 187 sepeda motor dirusak/dibakar (sebagian besar buatan Jepang), 144 buah bangunan rudak berat. Sebanyak 160 kg emas hilang dari sejumlah toko perhiasan.

SEBAB-SEBAB MALARI 1974
Beberapa golongan intelektual sejak 1973 tidak setuju dengan kebijakan politik-ekonomi Indonesia yang sangat terbuka dengan bantuan modal asing. Demonstrasi-demonstrasi dan rapat-rapat akbar, maupun seminar-seminar marak dilaksanakan untuk menentang masuknya modal asing. Sjafrudin Prawiranegara, Ali Sastroamidjojo, T.B. Simatupang, dan Subadio Sastrosatomo, kerap diundang dalam seminar dan diskusi mengkritisi masuknya modal asing. Mirip-mirip keadaan sekarang, termasuk di Kal-Bar yang pro dan kontra dengan kebijakan pemerintahan pusat maupun daerah.
Namun, peristiwa Malari masih menyimpan konflik-konflik yang lain juga, yang memperkeruh masukan-masukan kaum intelektual kepada pemerintah.
Di masa orde baru, perebutan kekuasaan bukanlah soal “kursi nomer satu” (presiden), melainkan siapakah yang akan menjadi orang kedua, atau kepercayaan Presiden Soeharto. Dalam tubuh Angkatan Darat, muncul dua jenderal terkemuka yang sangat populer saat itu (1973-1974), pertama Jenderal Ali Moertopo menjabat Assisten Pribadi Presiden (Aspri), yang sangat berpengaruh dalam memberi masukan-masukan kebijakan pada Soeharto. Kedua, Jenderal Soemitro yang menjabat posisi strategis bidang keamanan dan ketertiban, Pangkomkabtib. Persaingan politis kedua jenderal yang masih aktif inilah, yang menjadi faktor kedua terjadinya demonstrasi mahasiswa, dan faktor utama kerusuhan kota, atau Peristiwa Malari 1974.
Ali Moertopo dan rekannya Mayjen. Soedjono Hoemardani sebagai Assisten Pribadi Presiden dianggap berada dibalik besarnya arus masuk modal-modal asing ke Indonesia, terutama modal Jepang. Sehingga mereka menjadi aktor-aktor yang “dikritisi” dalam demonstrasi-demonstrasi mahasiswa. Di lain sisi, tekanan massa pada Ali Moertopo, digunakan Soemitro untuk mendukung gerakan intelektual pengkritisi kebijakan pemerintah. Soemitro menerima perwakilan para demontran untuk berdialog mengenai kebijakan pemerintah, selain juga menghadiri rapat-rapat akbar mahasiswa di kampus-kampus.
Fakta-fakta di atas dapat diperiksa dalam tulisan-tulisan Asvi Warman Adam (2007) yang juga mengutip berbagai sumber lain, dan M.C.Riklef, Sejarah Indonesia Modern (2005).

MELETUSNYA MALARI 1974
Kedatangan Perdana Menteri (PM) Kakuei Tanaka, 15-17 Januari 1974, langsung disambut dengan demonstrasi besar mahasiswa. Sejak tanggal 15 gelombang demonstrasi membanjiri Jakarta. Demonstrasi mahasiswa yang seharusnya murni, diwarnai dengan kejadian-kejadian mengecewakan. Terjadinya pembakaran ratusan mobil dan sepeda motor, perusakan bangunan-bangunan, termasuk penjarahan toko-toko. Mahasiswa menolak dinyatakan sebagai dalang pengrusakan. Sementara isu lain berkembang bahwa kelompok massa tertentu (bukan mahasiswa) sengaja digerakkan untuk membuat Jakarta rusuh. Kejadian yang terjadi sejak 15 Januari itu membuat langit Jakarta memerah karena kobaran api.
Kepungan 20.000 orang terhadap rumah-tamu PM Tanaka dan 5.000 orang di Istana Presiden, membuat kepulangan Tanaka dilakukan lewat helikopter langsung menuju Bandara Halim Perdana Kusuma. Kobaran api dan kepulan asap terlihat jelas dari atas helikopter, di mana juga terdapat Presiden Soeharto.
Fakta ironis dalam peristiwa ini, bahwa Pangkomkabtib Jenderal Soemitro baru turun tangan dua hari setelah meletusnya peristiwa, yaitu 17 Januari. Semakin menambah kecurigaan bahwa Soemitro memberi angin pada gerakan tersebut (Riklef;2005). Hariman Siregar, Adnan Buyung Nasution, dan Mochtar Lubis adalah beberapa aktifis yang ditangkap dan dipenjara.
Pasca kejadian Malari, Soemitro dicopot sebagai Pangkomkabtib oleh Soeharto. Demikian juga Ali Moertopo, yang dicurigai menggerakkan massa untuk merusak citra mahasiswa dan memukul Soemitro sebagai penanggungjawab keamanan di ibu kota (Asvi Warman Adam: 2007).

MALARI DAN KAL-BAR 2012
Soe Hok Gie dalam kegelisahannya bertanya “kenapa sejarah manusia menjadi sejarah penindasan?” Keprihatinan Gie sangat mendasar bila kita melihat perjalanan sejarah dunia kita, khususnya Indonesia, ataupun Kal-Bar. Persaingan manusia, berbalut keserakahan, dan kepentingan-kepentingan golongan terus mewarnai sejarah kelam daerah ini.
Peristiwa Malari dapat menjadi pelajaran kita di awal tahun 2012. Di mana di tahun ini kita akan melaksanakan pesta demokrasi terbesar di Kal-Bar, Pilkada Kal-Bar dan juga Pilwako Singkawang. Mengingat pengalaman pilkada sebelumnya yang banyak sekali memainkan emosi kita. Hendaknya dalam pilkada selanjutnya kita dapat benar-benar dapat menjadi dewasa, dengan belajar dari sejarah.
Hendaknya para calon pemimpin daerah bersaing dengan jujur, menunjukkan kualitasnya sebenarnya di depan rakyat, mampu membawa massa pendukungnya untuk berlaku damai. Rakyat Kal-Bar juga harus cerdas, tidak hanya memilih berdasarkan fanatisme sempit, tidak mudah digerakkan dengan isu-isu yang justru memecah belah, dan melihat calon pimpinan yang memaparkan visi-misi jelas bagi Kal-Bar, sesuai antara idealisme (mimpi) dan realitas (kenyataan).
Bisa saja di masa depan sejarah tidak lagi mengajarkan kepedihan, karena memang masa lalunya benar-benar membahagiakan. Bila sejarah selalu melahirkan pahlawan dalam setiap jaman, maka pahlawan masa sekarang ada di tangan kita. Jangan sampai sejarah kelam terulang. Selamat berpemilukada dengan damai. (Michaster Minco)

Tidak ada komentar: