Sejak dikenal secara luas di
Eropa pada abad ke-14, Valentine’s Day
menjadi perayaan yang mendunia. Perayaan Valentine’s
Day diinspirasikan oleh tradisi Eropa kuno “Lupercaria” yang merayakan
datangnya musim semi, musim kesuburan. Nama “Valentine” sendiri diambil dari
nama Santo Valentin yang berdasarkan tradisi Gerreja Katolik dirayakan tiap 14
Februari. Dewasa ini, Valentine’s Day
tidak lagi identik lagi dengan Eropa dan tradisi Katolik, melainkan sudah
menjadi perayaan mendunia. Dalam berbagai sumber, Valentine’s Day dinyatakan sebagai hari terpopuler ke-2 di Amerika
Serikat (negara sekuler) setelah natal.
Sebagai bahasa universal,
“cinta” dalam balutan “Valentine, memang mudah tersebar dalam berbagai bentuk
kebudayaan yang didatanginya. Maka tak heran, di awal bulan Februari, semua
super market hingga mal di Pontianak mulai berpermak diri dengan riasan Valentine’s Day.
Benarkah Februari hanya melulu
soal Valentine’s Day? Ternyata tidak! Di tanggal yang sama, 14 Februari, juga
terdapat hari bersejarah bagi Bangsa Indonesia. Peringatan “Pemberontakan PETA
di Blitar 1945”, yang kemudian mengedepankan sosok pemuda Pahlawan Nasional,
Supriyadi.
Hanya saja, di masa sekarang
ini, membahas sejarah sangat tidak populer di kalangan muda. Sejarah dianggap
kuno, dan identik dengan politik para orang-orang tua. Sejarah dianggap pembicaraan
berat, yang layak dilakukan golongan beruban. Sedangkan masa muda, adalah masa
bersenang-senang.
Dalam rangka 14 Februari, bulan
cintanya muda-mudi, kita akan melihat seperti apa jalannya sejarah
Pemberontakan PETA di Blitar 1945, yang dilakukan seorang muda berumur 22 tahun
(lahir 1923), dan rekan-rekannya yang bahkan berumur di bawahnya. Kita akan
melihat kisah cinta, yang menggelora di hati orang muda di Jaman Pendudukan
Jepang.
PEMUDA PETA DAN MIMPI
MUDANYA
Kedatangan Jepang (1942) memang
disambut dengan gegap gempita oleh masyarakat di Nusantara. Betapa tidak,
bangsa dengan postur yang sama dengan kita, bermata sipit, berkulit
kuning-coklat, memiliki kesamaan dengan masyarakat Melanesia Nusantara,
bandingkan dengan orang-orang Eropa yang mengaku menguasai Nusantara ratusan
tahun. Lebih-lebih lagi, bangsa Jepang yang Asia, mampu mengalahkan
tentara-tentara Eropa yang hingga saat itu masih terhebat di dunia. Muncullah
perasaan kagum pada Jepang di benak masyarakat.
Andaryoko, Pejuang Peta (doc.google) |
Para pemuda yang identik dengan
semangat dan optimisme tak kalah semaraknya menyambut Jepang. Kesan-kesan
heroik yang dibangun Jepang, dan janji-janji Jepang sebagai saudara tua
Indonesia, membuat para pemuda berbondong-bondong mendukung Jepang. Sepertinya
memang inilah saat kejayaan Nusantara akan bangkit kembali. Maka, ketika Jepang
mendirikan organisasi-organisasi seperti: Gerakan Tiga A (1942), Putera (1943),
dan terutama PETA (1943), banyak pemuda
yang memasukinya. Anggapannya sederhana, ingin memberi sumbangsih bagi
kemerdekaan Indonesia kelak, seperti yang dijanjikan Jepang. Heroik bukan?!
PETA atau Pembela Tanah Air,
merupakan pasukan sukarela yang keseluruhannya orang Indonesia, dan
dipersiapkan sebagai pasukan cadangan Tentara Dai Nippon. PETA disusun layaknya
militer resmi, dengan lima tingkatan: Daidanco
(komandan batalyon), cudanco
(komandan kompi), shodanco (komandan
peleton), bundanco (komandan regu),
dan giyuhei (prajurit). Daidanco diangkat dari tokoh-tokoh
terkemuka di masyarakat, cudanco dari
pegawai pemerintahan dan pemimpin agama, dan shodanco berasal dari para pemuda-pemuda terdidik. (Marwati
Djoened, 1993:35)
Para pemuda-pemuda kalangan
menengah ke atas, golongan mampu, bangsawan, yang mendapat pendidikan ELS,
MULO, ataupun MOSVIA dan OSVIA (setingkat SMP dan SMA, sekitar umur 20 tahun),
secara sukarela banyak mendaftar menjadi anggota PETA setingkat shodanco. Menurut G.Moedjanto (1988:80)
“mereka sendiri nasibnya tidak begitu sengsara”, tetapi dengan angan-angan
indah tentang masa depan Indonesia Merdeka, dan ajakan teman, masuk dan
berlatih pada PETA. Menjadi tentara juga kental dengan nuansa heroisme, tidak
berbeda dengan orang muda sekarang ini, yang gandrung dengan berbagai aktivitas
“heroisme”, dan mengikuti tren gaul.
Hanya saja, bagaimana golongan
yang sejahtera tersebut, yang aman dan tenteram, bisa melakukan “pemberontakan”
yang terkenal dan menginspirasi masyarakat, bahkan mendapat tepukan salut
golongan tua. Bukankah mereka sendiri para pengagum Jepang?
PETA: MEMPERJUANGKAN
CINTA
Di depan bilang cinta, ternyata
ada udang di balik batu. Siapa yang tak sakit hati bila dikhianati, “ditusuk
dari belakang”?! Perasaan inilah yang menebar di kalangan pemuda, di
asrama-asrama PETA, khususnya di Daidan
(Batalyon) Blitar, Jawa timur.
PETA (doc.google) |
Mimpi tentang hebatnya seorang
tentara, runtuh ketika pangkat-pangkat di pundaknya tak berarti di depan
tentara Jepang yang terendah sekalipun. Perwira-perwira PETA harus tunduk
hormat pada bintara dan tamtama Jepang. (Marwati Djoened: 37). Bagi para pemuda
di shodan (peleton), hari-hari
dilalui dengan pukulan dan perlakuan kasar. Masa-masa para pemuda di asrama
Blitar, yang dipinggir jalan, menguak kenyataan. “orang-orang desa kalau lewat
depan asrama harus berhenti dan membungkuk. Kalau ada yang lupa membungkuk,
langsung dipukul. Padahal rakyat desa… bukannya tidak mau hormat, tapi ya tidak
ngerti saja.” (Baskara T. Wardaya, 2008:56).
Dendam semakin membara, ketika
para pemuda kembali ke kampung halamannya, setelah pelatihan di asrama. Mereka
melihat dan mendengar langsung penuturan sanak-saudaranya tentang perlakuan
Jepang. Para petani dipaksa menyerahkan padinya pada kumiai (organisasi pengumpulan padi), sehingga masyarakat hanya
makan nasi jagung dan berpakaian goni. (Marwati Djoened: 36). Ditambah lagi
cerita-cerita tentang kerja paksa Romusha, juga soal perempuan-perempuan yang
dijadikan budak nafsu tentara Jepang.
Sekembalinya dari “pulang
kampung”, Shodanco Supriyadi yang tidak jauh usianya dengan kita (22 tahun),
menggalang opini di asrama Daidan,
Blitar. Mereka harus melakukan perlawanan, pemberontakan, bahkan dituliskan
dalam penelitian Baskara T. Wardaya (2008:58) “Berontak aja yuk, mumpung masih
muda”, kemudian jawab yang lain “Ya sudah, ayo. Berani nggak? Berani!”. Salah
seorang penggagas pemberontakan adalah Shodanco Moeradi yang bahkan belum
berumur 20 tahun.
Maka, meletuskan Pemberontakan
PETA di Blitar, 14 Februari 1945. Hari yang sama di masa sekarang, dengan Valentine’s Day. Meskipun pemberontakan
itu berhasil dikalahkan Tentara Jepang. Namun, gaungnya menyebar di Nusantara,
membuat golongan tua yang bekerja sama dengan Jepang terkagum-kagum. Kelak,
Supriyadi akan diajukan menjadi Menteri Keamanan Rakyat dan kemudian Panglima
TKR (Tentara Keamanan Rakyat) pasca proklamasi 1945, bahkan ketika umurnya
masih 22 tahun.
BAGAIMANA ORANG MUDA
SEKARANG?
Dalam pembicaraan dengan seorang
sahabat, yang juga pegawai salah satu instansi terkemuka, tercetuslah ujaran
“kita ini mungkin dikatakan para orang tua, young
and stupid (muda dan bodoh).” Kata itu terus menggema dalam pemikiran ini.
Benarkah menjadi muda itu selalu dipandang sebelah mata? Ataukah ini hasil
perilaku kami yang begitu mudah terombang-ambingkan budaya populer, sehingga
pemuda memang tergeser dari perjuangan sosial, tak tampak lagi oleh zaman.
Teringat sebuah buku “Mereka
Yang Mati Muda” (Arifin Surya Nugraha, dkk, 2008), di masa muda itu tersebutlah:
R.A. Kartini (25 Tahun), Robert Wolter Mongonsidi (24), Chaeril Anwar (27), Soe
Hok Gie (27). Masih harus ditambah pemuda-pemuda idealis, Moh. Hatta yang tidak
akan menikah hingga Indonesia merdeka, Sudirman yang menjadi guru sekaligus Panglima
TKR di usia 31 tahun. Tentu masih banyak lagi.
Ketika Valentine’s Day datang, selayaknyalah orang muda merayakan “kasih
cinta” kepada mereka yang spesial di hati. Namun, di hari yang sama ingatlah,
tentang “kisah cinta” para pemuda PETA, yang mampu melebarkan cintanya bukan
pada individu saja, tapi pada sesama yang menderita. Selamat Valentine’s Day, heningkan sejenak dan
tarik inspirasi dari Pemberontakan PETA di Blitar 1945.
(Artikel ini suatu usaha mendekatkan cara pikir sejarah yang kontekstual bagi remaja)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar