Rabu, 28 Januari 2015

IDENTITAS DAYAK DI KALIMANTAN BARAT (Bag. 1)


"Etnis Dayak sebagai sebuah konsep 
bukanlah kelompok yang mudah diidentifikasikan"

(doc. penulis)
Etnis Dayak sepanjang perjalanan sejarah telah diyakini sebagai penduduk asli Kalimantan Barat. Setidaknya catatan sejarah yang dikeluarkan ilmuwan Belanda P.J. Veth “Borneo’s Westerafdeeling Geographisch, Statistisch, Historisch” tahun 1856, yang dialihbahasakan oleh Pastor Yeri OFM, Cap., dengan judul “Borneo Bagian Barat Geografis, Statistis, Historis” tahun 2012,  mengatakan demikian,

“... di tengah-tengah bermacam hubungan dan persatupaduan dan percampuran, atau dari permusuhan dan penolakan, dan di bawah keadaan alamiah dari udara dan tanah, produk-produk tanah dan karena itu satu cara hidup, berangsur-angsur, membentuk masyarakat itu, yang dianggap sebagai yang tertua dan asli, yang pada umumnya dikenal dengan nama Dayak, …” (Yeri [pent], 2012: 154)

 Meskipun P. J. Veth menjadi sumber yang cukup tua, masih saja pembahasan identitas Dayak menjadi hal yang tidak mudah dilakukan. Hal ini ditunjukkan dengan pernyataan P. J. veth sendiri, “…sebagai yang tertua dan asli, yang pada umumnya dikenal dengan nama Dayak, tetapi memuat satu perbedaan besar suku-suku yang masih sekarang ini berbeda satu sama lain dalam rupa, bahasa, cara hidup, konsepsi-konsepsi agama, dan tingkat kebudayaan.”(Yeri pent., 2012: 154).



Dayak Embaloh, Kapuas Hulu, Kalimantan Barat (doc.penulis)
Little Girl from Heart of Borneo (doc.penulis)
Dengan demikian apa yang dimaksud dengan Dayak? Atau siapa itu Orang Dayak? Dayak sebenarnya merupakan identitas yang dikontruksikan (dibangun) oleh orang-orang diluar komunitas yang dianggap Dayak tersebut. Penduduk asli Kalimantan yang disebut Dayak, sebenarnya tidak pernah menjadikan istilah “Dayak’ sebagai identitasnya, hingga hasil konstruksi sosial itu melekat demikian dalam dan menjadi nyata dengan terbentuknya Partai Persatuan Daya (Dayak) (1946) oleh J.C. Oevaang Oeray. Bahkan penulisan kata “Dayak” sebenarnya merupakan kesepakatan baru yang dilakukan pada tahun 1992 dalam acara Ekspo Budaya Dayak yang dilakukan Institute Dayakologi Research and Development (IDRD), yang sekarang dikenal dengan nama Institut Dayakologi (John Bamba ed., 2008:10). Siapakah yang memberi identitas “Dayak” pada penduduk asli Kalimantan?

Pembahasan mengenai identitas Etnis Dayak, sudah pernah dilakukan dengan sangat baik oleh Dr. Yekti Maunati, dalam bukunya “Identitas Dayak” (2004). Dalam bukunya tersebut Yekti menelusuri bagaimana penduduk asli Kalimantan bisa memperoleh identitasnya sebagai “Dayak”. Dalam melihat bagaimana sebuah terbentuknya identitas bisa terbentuk Yekti berpendapat demikian,

“… kebudayaan sebaiknya dipandang sebagai produk dari proses-proses budaya sebelumnya dan sebagai sesuatu yang terbuka bagi segala reinterpretasi dan gagasan-gagasan baru serta ausnya komponen-komponen lama… konsep-konsep tentang identitas dan bahkan identitas itu sendiri semakin dipandang sebagai akibat dari adanya sebuah interaksi yang dinamis antara konteks (dan sejarah) dengan construct” (Yekti Maunati, 2004: 25) (konstruksi sosial, tambahan penulis)

Dengan dasar pernyataan teoritis seperti demikian, seharusnya identitas Dayak juga merupakan interaksi dari konteks sejarahnya dan konstruksi sosial yang dibangun oleh masyarakat. Konteks sejarah merupakan fakta-fakta tentang keberadaan Dayak yang berhasil ditulis atau diingat. Sementara konstruksi sosial merupakan refleksi atas dasar historis yang disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan zaman.

Istilah Dayak pada awalnya memiliki banyak penyebutan dan penulisan, antara lain, Daya’, Daya, Dyak, Dadjak, Dayaker, dan Daya. Bila hal ini ditelusuri dari bahasa-bahasa setempat, maka ditemukan beberapa kata yang hampir sama seperti Daya’, Doya’, Dayo’, dan Dayuh yang berarti hulu dan manusia (John Bamba ed., 2008: 9). Dalam bahasa Dayak Jangkang, Kabupaten Sanggau, di mana Ibu penulis berasal, terdapat kata Doya yang artinya darah. Hal demikian bisa saja muncul, hasil pemberian komunitas di luar Dayak, yang mengidentikkan komunitas asli Kalimantan tersebut dengan daerah dominannya yaitu di dalam hutan-hutan dan di hulu-hulu sungai.

Penutup kepala itu disebut "Salaben" (doc. penulis)
Penggunaan istilah Dayak dengan berbagai variannya terhadap penduduk  asli Kalimantan, terlihat jelas dari tidak digunakannya istilah Dayak tersebut oleh orang-orang Dayak sendiri. Dalam buku “Keberagaman Subsuku dan Bahasa Dayak di Kalimantan Barat” disebutkan, “ Dulunya, mereka tidak mengenal istilah Daya’, Dyak, Daya, atau Dayak untuk menyebut identitas mereka.” (John Bamba ed., 2008: 10). Kemudian disebutkan juga,

“Sementara kelompok masyarakat yang dimaksud dengan berbagai istilah tersebut di atas, cenderung menyebut dirinya orang hulu, orang darat, orang pedalaman, bahkan ada yang menjawab dengan polos menyebut dirinya orang kampung, hanya karena alasan sederhana mereka kebanyakan hidup di kampung… Di Malaysia dan Brunei Darussalam hingga dekade 1940-an tidak mengenal sama sekali tiga atau lebih istilah ini. Pada kedua negara ini ada terminologi yang kerapkali digunakan untuk merujuk pada kelompok masyarakat yang mempunyai ciri-ciri sama, yaitu puak.” (John Bamba ed., 2008:10)

Lalu apa sebenarnya arti dari Dayak tersebut? Sebenarnya sampai saat ini tidak pernah ada kesepakatan tentang hal tersebut. John Bamba (ed) (2012), Maunati (2004), bahkan P.J. Veth (1856/2004), tidak berhasil sepakat soal arti istilah Dayak ini. Bagaimana dari berbagai jenis arti kemudian bisa memunculkan identitas Dayak? Sebelum melanjutkan lebih jauh, tahun 1992, Institut Dayakologi mengundang berbagai intelektual Dayak termasuk Malaysia dan Brunei Darussalam, untuk mengikuti Ekspo Budaya Dayak di Pontianak. Dari pertemuan tersebut, salah satunya menyepakati soal penggunaan istilah “Dayak” yang disebut dan ditulis demikian. Hingga sekarang kata “Dayak” inilah yang resmi digunakan.

Istilah Dayak dengan berbagai varian yang mirip penyebutannya, pertama kali diberikan oleh pemerintah kolonial barat, yaitu Belanda, untuk memudahkan menyusun administrasi dan sensus. (John Bamba, 2008: 11). Bagaimanapun juga perlu upaya untuk mengelompokkan manusia-manusia yang ada di Kalimantan demi pengaturan kebijakan kolonial. Dengan demikian, istilah Dayak sendiri memang mengandung muatan negatif, karena dari terbentuknya memang diberi label lawan dari kelompok-kelompok yang sudah teridentifikasi terlebih dahulu.

Label Dayak sebagai “manusia pedalaman” diberikan untuk membedakan dengan komunitas yang hidup di tepian laut atau pesisir, seperti Orang Eropa, Melayu, dan Cina. Istilah “non muslim” diberikan untuk membedakan dengan Etnis Melayu, demikian pula label “primitif”, “tidak beradab”, yang diberikan dengan sudut pandang budaya Eropa. Melihat sumber Maunati (2004: 6), Bamba (2008: 11), peneliti menganalisis bahwa pada masa kolonial, Dayak benar-benar diidentikkan dengan “pemburu kepala”/heads hunters, sebuah tradisi yang memiliki banyak nama bagi komunitas-komunitas pendukungnya, tetapi yang jelas bukan pemburuan kepala, seperti yang diberikan ilmuwan kolonial. Mengenai stigma Dayak sebagai pemburu kepala, banyak dibahas oleh Yekti Maunati (2004).
Di tengah hutan bekas kampung lama (doc. penulis)
Pemberian label Dayak dengan berbagai karakteristiknya, murni menjadi pandangan kolonialis yang berpusat pada identifikasi diri mereka sebagai orang Eropa. Dengan demikian alat ukur yang digunakan juga nilai-nilai Eropa. Identitas Dayak selama masa kolonial ini menjadi identitas yang pasif karena seluruhnya merupakan pemberian komunitas di luar komunitas Dayak tersebut. Menurut Tjilik Riwut dalam buku “Maneser Panatau Tatu Huang: Menyelami Kekayaan Leluhur” (2003: 63 & 117), penduduk asli Kalimantan jumlahnya 450 sub etnis. Sedangkan  di Kalimantan Barat terdapat 151 sub etnis berdasarkan dialek bahasanya (John Bamba, 2008). Pada akhirnya di masa kolonial digeneralisir menjadi satu bagian, yaitu Dayak. Di sinilah, identitas Dayak pertama kali terbentuk.

Bila identitas Dayak yang terbentuk pada masa kolonial ini ingin dikonfrontir, sebenarnya citra-citra negatif yang diberikan para kolonialis terhadap Dayak sangat tidak adil karena bagi komunitas Dayak sendiri, kehidupan mereka sangat beradab, seperti yang dikemukakan Maunati (2004: 6), “Tetapi, jelas bahwa di dalam sebagian besar representasi Barat yang ada, Dayak dipandang primitif, sangat berbeda dengan pandangan orang-orang ini yang menganggap diri mereka sendiri sebagai bagian dari sebuah masyarakat beradab.” Seperti misalnya praktek pemburuan kepala yang dianggap Barat, sebenarnya adalah praktek adat yang terhormat dan bukan karena naluri kekerasan yang egosentris.

Bersambung ke bagian 2 ...

3 komentar:

antonius mengatakan...

waw halaman yang bagus dan artikel yang menarik . Saya senang bisa menemukan artikel ini , karena artikelnya sangat membantu dan bermanfaat untuk saya . ditunggu postingan berikutnya yaaa ...terimakasih

cKAja mengatakan...

selalu suka cerita mengenai masyarakat suku dayak. trims telah sharing

talefagnani mengatakan...

Harrah's Casino & Hotel - Mapyro
Get directions, reviews and information for Harrah's Casino 인천광역 출장샵 & Hotel in Hammond, OK. In-person 원주 출장안마 betting; A 군산 출장마사지 live casino; Live 밀양 출장샵 table 안동 출장마사지 games