Minggu, 01 Maret 2015

IDENTITAS TIONGHOA DI KALIMANTAN BARAT (Bag.1)

Identitas Tionghoa, seperti halnya identitas Dayak, 
tidak mudah untuk digeneralisir. 

       
Sumber: google
Seperti halnya identitas Dayak, identitas Tionghoa akan dikupas dari sudut etimologis, sejarah, politik, dan sosial.


Permasalahan istilah Tionghoa mengalami pasang surut dalam perjalanan Bangsa Indonesia. Ada masanya bangsa tersebut dipanggil Cina, China, Chinese Shina, Shin, Tionghoa, dan Tiongkok. Menurut Leo Suryadinata, dalam bukunya Etnis Tionghoa dan Nasionalisme Indonesia (2010: 200), "... bagi orang Tionghoa yang masih sadar dengan tradisinya, istilah Cina itu merupakan lambang pelecehan etnis dan diskriminasi." Sementara itu, bertentangan dengan Leo Suryadimata, M.D. La Ode dalam Etnis Cina Indonesia Dalam Politik (2012) justru menggunakan istilah Etnis Cina Indonesia (ECI) untuk menyebutkan kelompok yang sama. Argumen La ODe adalah,


"Selama penelitian ... tidak ditemukan seorangpun warga Etnis Tionghoa, melainkan etnis Hakka/Khek, Tio Ciu, Hok Cia, Hokkien, dan Kanton. Etnis itulah (di antaranya) yang meminta agar dirinya disebut Etnis Tionghoa... Penetapan penggunaan istilah Etnis Cina merujuk pada latar belakang negara asal imigran Cina di Indonesia... Sama juga apabila warga negara Indonesia (etnis Jawa, Batak, Sunda, Bugis, Dayak, ... dan lainnya) ke luar negeri, di luar negeri mereka disebut Etnis Indonesia atau orang Indonesia."

      Dalam perjalanan sejarah istilah yang menyangkut imigran dari Negeri Tirai Bambu memang beragam. Dalam penelusuran http://id.wikipedia.org/wiki/Penggunaan_istilah_Cina,_China,_dan_Tiongkok (diakses 15/1/2014, pukul 15:43), Leo Suryadinata, dan M.D. La.Ode, diketahui bahwa dalam sabda Nabi Muhammad SAW disebutlah "Uthlubul ‘ilma walaw bishshiin", dalam Bahasa Indonesia "Tuntutlah ilmu sampai ke negeri Shin." Negeri Shin adalah negeri yang berhasil disatukan Kekaisaran Chin (225 SM) dalam hal politik, bahasa, alat ukur, dan tulisan. Inilah untuk pertama kali daerah liar dengan berbagai suku tersebut bersatu dalam satu kebiasaan. Wilayah ini kemudian dikenal dengan Chin. Pedagang Arab menyebutnya Shin, orang-orang Eropa menyebutnya China (disebut Caina/Cayna), orang Amerika Serikat menyebutnya Chinese.
      Sampai di sini sepertinya tidak ada masalah dengan istilah Cina. Namun, ketika kolonialisme Bangsa Barat merebak di Cina (abad 19), dan semakin merendahkan martabat Bangsa Cina, mulai muncul pemikiran baru. 


Kesimpulan ini penulis analisis dari http://id.wikipedia.org/wiki/Penggunaan_istilah_Cina,_China,_dan_Tiongkok (diakses 15/1/2014, pukul 15:43), http://hurek.blogspot.com/2009/10/tiongkok-tionghoa-china-cina.html (diakses 15/1/2014, pukul 16:28).  Pertama, mengingat Kekaisaran Chin tidaklah benar-benar dikagumi rakyat Cina saat itu karena kebrutalannya di masa lalu, membantai 500 sarjana Konfusianisme, melarang ajaran Kong Hu Cu, yang justru menjadi terbesar di Cina saat itu (abad 19). Kedua, dengan masuknya Jepang menjajah Cina (akhir abad 19 sampai tengah abad 20), muncullah istilah rasis terhadap orang Cina yaitu "Shina" yang artinya "orang pinggiran" atau "orang terbelakang". Besar kemungkinan ini adalah pelesetan dari sebutan Cina yang berlaku umum saat itu. Faktor kedua inilah yang menyakitkan sebegitu dalamnya bagi orang Cina. Ketiga, bangkitnya nasionalisme Cina abad 20, seperti halnya Nasionalisme Indonesia, memunculkan keinginan untuk menciptakan identitas baru. Merekapun mulai menelusuri sejarah kembali, dan menemukan identitas baru pada Kerajaan Shang. Seperti yang dikutip dari hurek.blogspot.com,

"Istilah Tiongkok dari Dinasti Shang, ... banyak negara-negara atau kerajaan kecil, sebentar tunduk, sebentar mengkhianati Kerajaan Shang. Ketika Dinasti Shang menguasai wilayah di tengah-tengah kerajaan yang berada di sebelah Timur, Barat, Utara dan Selatan, maka negara kerajaan ini disebut Tiongkok (Zhong Guo dalam lafal bahasa daerah Hokian, yang juga berarti Negara-Tengah)"

      Kerajaan Tengah ini sangat menginspirasi karena merupakan pusat kebudayaan dan bangkitnya Konfusianisme, yang dalam sejarahnya pernah dihancurkan Kekaisaran Chin. Dari Kerajaan Zhong Guo/ Chung Kuo inilah istilah Tiongkok muncul. Bangkitnya identitas baru, semakin tampak ketika Sun Yat Sen meruntuhkan Dinasti Ching dan menggantikannya menjadi "Chung Hwa Ming Kuo" atau "Republik Tiongkok". Maka sejak inilah, isitlah Cina dengan berbagai dialeknya China, Chinese, Shina, tidak dipergunakan lagi. Tiongkok digunakan untuk menunjukkan daerahnya, sedangkan Tionghoa untuk menunjukkan kebangsaannya. Tentu saja pelafalannya mendapatkan tekanan berbeda-beda dari berbagai dialek bahasa, seperti halnya Indonesia dilafalkan "Indonesa" bagi orang Klaten. Namun, arti Tiongkok atau Tionghoa tetaplah "negara tengah" atau "orangnya negara tengah" merujuk kebangkitan budaya pada Dinasti Shang.
      Bagaimana dengan sejarah penggunaan di Indonesia? Melihat apa yang tertulis di wikipedia.com, penggunaan istilah Tionghoa dan Tiongkok di Nusantara (saat itu Indonesia juga belum ada!) ternyata adalah bentuk kesetiakawanan pada orang-orang Tionghoa di sekitar tahun 1928, saat Sumpah Pemuda dikumandangkan. Koran-koran Tionghoa, terutama Koran Sin Po mengganti sebutan "Hindia Belanda" menjadi "Indonesia". Dengan demikian, para pejuang Indonesia juga menggunakan istilah Tionghoa dan Tiongkok untuk mengganti sebutan Cina.
     
Sumber: google
Sebutan Tiongkok dan Tionghoa terus digunakan hingga Indonesia merdeka 1945, dan terus digunakan sepanjang Orde Lama. Hingga meletuslah peristiwa yang juga dikenal dengan banyak nama: Gestok (Soekarno), Gestapu (Soeharto), G30S/PKI (versi resmi Orde Baru), di masa Reformasi peristiwa itu dikenal dengan variasi G30S ataupun Gerakan 30 September. Peristiwa tersebut kemudian oleh pemerintahan Soeharto dan Orde Baru diidentikkan dengan keterlibatan orang-orang Tionghoa dan RRT (Republik Rakyat Tiongkok). Berpegang pada keyakinan iutlah, Indonesia melepaskan hubungan diplomatiknya dengan Tiongkok, dan mengubah kembali istilah Tiongkok dan Tionghoa ke istilah Cina.
      Atas dasar apa Indonesia kembali ke istilah Cina? Berdasarlan Leo Suryadinata (2010), perubahan tersebut bermula dari Seminar Angkatan Darat Agustus 1966,

"Seminar tersebut memutuskan mengganti istilah Tionghoa dan Tiongkok menjadi Cina untuk menunjukkan amarah rakyat Indonesia (terutama kaum militer?) terhadap RRC (yang mendukung PKI) ... "alasan utama" penggunaan istilah tersebut adalah ingin "menghilangkan rasa inferior pada bangsa kita sendiri, sebaliknya menghilangkan rasa superior pada golongan yang bersangkutan di dalam negara kita.""

Catatan Leo Suryadinata tersebut dapat diartikan bahwa Pemerintah Orde Baru menginginkan stigma Cina zaman dahulu dibangkitkan lagi. Stigma yang terkait dengan keberingasan Dinasti Chin, dan stigma yang diberikan Jepang yaitu "orang pinggiran".
      Dengan berkuasanya Orde Baru secara otoriter selama 32 tahun, yang juga mewarnai penulisan sejarah pada masanya, maka istilah Cina pun menjadi semakin membiasa. Banyak di antara kaum muda Tionghoa yang tidak mengerti soal istilah Cina, Tionghoa, dan Tiongkok. Cina semakin digunakan dalam bentuknya yang netral, bahkan tanpa arti, selain menunjukkan arti geografis sebuah negeri di seberang lautan utara Indonesia. Dalam bidang diplomatik, menurut Leo Suryadimata, di tahun 1989 perwakilan diplomatik dari Tiongkok menolak istilah Cina. Indonesia pun menolak kembali ke Tiongkok. Maka digunakan istilah netral menurut bahasa diplomatik Amerika Serikat, yaitu China (disebut Caina). Padahal di dalam negeri tetap saja tulisan China itu dibaca Cina. Dalam hubungan diplomatik masa Reformasi, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sudah menggunakan istilah Tiongkok dalam laporan diplomatiknya untuk menyebut negeri Cina.
      Seperti halnya masalah istilah "Cina" dan "Tionghoa" yang pasang surut, identitas sosial-politik Etnis Tionghoa di Indonesia juga mengalami pasang surut. Sebagai pengantar, baiklah kiranya menyimak pendapat Leo Suryadinata untuk kesekian kalinya.

"Dari sudut budaya, orang Tionghoa terbagi atas peranakan dan totok. Peranakan ... sudah lama tinggal di Indonesia dan umumnya sudah terbaur. Mereka berbahasa Indonesia sebagai bahasa sehari-hari... Totok adalah pendatang baru, umumnya baru tinggal di negeri ini selama satu sampai dua generasi ...
Dalam hal agama, sebagaian besar ... Budhisme, Tridharma, dan Khonghucu. Namun, banyak pula yang memeluk agama Katolik dan Kristen. Belakangan, yang memeluk Islam pun bertambah.
Dalam hal orientasi politik, ada yang pro Beijing atau pro Taipei, tetapi yang terbesar adalah pro Jakarta. Ada yang berwarganegara RRT atau Taiwan, namun yang terbanyak adalah warga negara Indonesia (WNI).
Dalam bidang ekonomi, banyak yang kaya, tetapi lebih banyak lagi yang miskin. Namun, sebagai minoritas perkotaan di Indonesia, orang Tionghoa dapat digolongkan ke dalam kelas menengah."

Pendapat Leo Suryadinata, sebenarnya menggambarkan bahwa identitas Tionghoa bukanlah sebuah identitas tunggal yang kaku. Sama seperti halnya identitas Dayak, identitas Tionghoa juga berkembang sesuai konteks sejarah dan konstruksi sosial dimana identitas tumbuh di masyarakat. Berikut ini akan ditelusuri bagaimana identitas Tionghoa bisa terbentuk di Indonesia.
      Catatan sejarah yang dikeluarkan ilmuwan Belanda P.J. Veth “Borneo’s Westerafdeeling Geographisch, Statistisch, Historisch” tahun 1856, yang dialihbahasakan oleh Pastor Yeri OFM, Cap., dengan judul “Borneo Bagian Barat Geografis, Statistis, Historis” (2012: 254), mengatakan demikian:

"Dari segala bangsa asing, saya maksudkan dari luar Nusantara sendiri, rupanya tidak ada yang kunjungi Borneo lebih dulu daripada orang-orang Cina. Pengetahuan ini hampir pasti sama umur daripada pengetahuan mereka tentang Nusantara pada umumnya, dan ini mulai terjadi diwaktu peziarah-peziarah Cina, kunjungi India dari Abad ke-4 sampai ke-5 dengan tujuan mempelajari agama Budha."

Keyakinan P.J. Veth lebih merupakan sebuah hipotesis nalarnya dengan merujuk bukti-bukti adanya jalur perdagangan kuno yang memang harus melintasi Nusantara dari Tiongkok menuju India. Bukti tertulis sendiri tentang keberadaan bangsa Tionghoa di Borneo adalah laporan seorang yang bernama Klaproth, yang berhasil mengutip catatan Dinasti Ming pada abad ke-7. P.J. Veth (2012: 255) mencatat dari Klaporth adanya lokasi-lokasi yang ada di Borneo, seperti Pulau Palawan atau Paragoa, Ki-li-wen atau Kinibalu, Wen-lai atau Brunei, Cu-ga-tiao-la atau Sukadana, dan Maschin atau Banjarmasin.
     
Sumber: google
Keberadaan bukti tersebut, bila harus diperkuat dengan keberadaan masyarakat Tionghoa pada masa Sriwijaya, Singosari, hingga Majapahit, menandakan hubungan Nusantara dengan budaya Tionghoa bukanlah hal yang baru. Tentu saja pemaknaan terhadap identitas Tionghoa antara sekarang dan zaman tersebut akan berbeda. Inilah yang semakin memperkuat bahawa identitas itu berubah-berubah sesuai yang dikatakan Yekti Maunati, mengikuti konteks sejarah dan konteks sosialnya. Identitas Tionghoa pada zaman kerajaan Hindu dan Budha adalah bangsa dengan peradaban tinggi (bersama dengan India), yang memang mengutamakan perdagangan. Selain pernah mengekspansi Jawa ketika akhir masa Singosari. Namun, digagalkan Raden Wijaya dengan tipu-muslihat. Menurut M.D. La Ode (2012: 121), masyarakat Tionghoa pasa masa-masa ini dipelopori oleh marga Hokkien.
       Identitas Tionghoa berubah ketika Bangsa Barat masuk ke Nusantara, terutama ketika Belanda berkuasa untuk waktu yang sangat lama. Kekalahan teknologi perang membuat masyarakat Tionghoa harus melakukan tawar-menawar supaya bisa mempertahankan eksistensinya di Nusantara. M.D. La Ode dalam Etnis Cina Indonesia Dalam Politik (2012: 121), mengutip Twang Peck Yang, melihat ada dua gelombang besar imigrasi masyarakat Tionghoa pada masa Kolonial Belanda, yaitu 1860-1890 dan 1900-1930.
      Pemerintah Kolonial Belanda pada 1860-1890 menganut politik pintu terbuka. Menurut A.K. Wiharyanto (2004), dalam Indonesia Dalam Abad XIX, "berarti pemerintah kolonial memberi kesempatan kepada kaum modal asing (Belanda, Inggris, Amerika Serikat) untuk menanamkan modal sebanyak-banyaknya di Indonesia." Dengan diberlakukan Undang-undang Agraria (Agrarische Wet), bermunculan kepemilikan-kepemilikan tanah oleh swasta, termasuk orang Tionghoa yang beramai-ramai datang dari Tiongkok. Inilah imigrasi besar-besaran orang Tionghoa yang pertama. Bagaimana nasib identitas Tionghoa saat itu? Mengutip A.K. Wiharyanto (2004), "Sistem baru ini membuat Belanda tidak langsung memeras rakyat tetapi lewat kaum kapitalis itulah rakyat Indonesia diperas."

Bersambung ke bagian 2 ...

Tidak ada komentar: