Identitas Tionghoa, seperti halnya
identitas Dayak,
tidak mudah untuk digeneralisir.
Sumber: google |
Permasalahan istilah Tionghoa mengalami pasang surut dalam perjalanan Bangsa Indonesia. Ada masanya bangsa tersebut dipanggil Cina, China, Chinese Shina, Shin, Tionghoa, dan Tiongkok. Menurut Leo Suryadinata, dalam bukunya Etnis Tionghoa dan Nasionalisme Indonesia (2010: 200), "... bagi orang Tionghoa yang masih sadar dengan tradisinya, istilah Cina itu merupakan lambang pelecehan etnis dan diskriminasi." Sementara itu, bertentangan dengan Leo Suryadimata, M.D. La Ode dalam Etnis Cina Indonesia Dalam Politik (2012) justru menggunakan istilah Etnis Cina Indonesia (ECI) untuk menyebutkan kelompok yang sama. Argumen La ODe adalah,
"Selama penelitian ... tidak ditemukan
seorangpun warga Etnis Tionghoa, melainkan etnis Hakka/Khek, Tio Ciu, Hok Cia,
Hokkien, dan Kanton. Etnis itulah (di antaranya) yang meminta agar dirinya
disebut Etnis Tionghoa... Penetapan penggunaan istilah Etnis Cina merujuk pada
latar belakang negara asal imigran Cina di Indonesia... Sama juga apabila warga
negara Indonesia (etnis Jawa, Batak, Sunda, Bugis, Dayak, ... dan lainnya) ke
luar negeri, di luar negeri mereka disebut Etnis Indonesia atau orang
Indonesia."
Dalam
perjalanan sejarah istilah yang menyangkut imigran dari Negeri Tirai Bambu
memang beragam. Dalam penelusuran http://id.wikipedia.org/wiki/Penggunaan_istilah_Cina,_China,_dan_Tiongkok
(diakses 15/1/2014, pukul 15:43), Leo Suryadinata, dan M.D. La.Ode, diketahui
bahwa dalam sabda Nabi Muhammad SAW disebutlah "Uthlubul ‘ilma walaw
bishshiin", dalam Bahasa Indonesia "Tuntutlah ilmu sampai ke
negeri Shin." Negeri Shin adalah negeri yang berhasil disatukan Kekaisaran
Chin (225 SM) dalam hal politik, bahasa, alat ukur, dan tulisan. Inilah untuk
pertama kali daerah liar dengan berbagai suku tersebut bersatu dalam satu
kebiasaan. Wilayah ini kemudian dikenal dengan Chin. Pedagang Arab menyebutnya
Shin, orang-orang Eropa menyebutnya China (disebut Caina/Cayna), orang Amerika
Serikat menyebutnya Chinese.
Sampai
di sini sepertinya tidak ada masalah dengan istilah Cina. Namun, ketika
kolonialisme Bangsa Barat merebak di Cina (abad 19), dan semakin merendahkan
martabat Bangsa Cina, mulai muncul pemikiran baru.
Kesimpulan ini penulis analisis dari http://id.wikipedia.org/wiki/Penggunaan_istilah_Cina,_China,_dan_Tiongkok (diakses 15/1/2014, pukul 15:43), http://hurek.blogspot.com/2009/10/tiongkok-tionghoa-china-cina.html (diakses 15/1/2014, pukul 16:28). Pertama, mengingat Kekaisaran Chin tidaklah benar-benar dikagumi rakyat Cina saat itu karena kebrutalannya di masa lalu, membantai 500 sarjana Konfusianisme, melarang ajaran Kong Hu Cu, yang justru menjadi terbesar di Cina saat itu (abad 19). Kedua, dengan masuknya Jepang menjajah Cina (akhir abad 19 sampai tengah abad 20), muncullah istilah rasis terhadap orang Cina yaitu "Shina" yang artinya "orang pinggiran" atau "orang terbelakang". Besar kemungkinan ini adalah pelesetan dari sebutan Cina yang berlaku umum saat itu. Faktor kedua inilah yang menyakitkan sebegitu dalamnya bagi orang Cina. Ketiga, bangkitnya nasionalisme Cina abad 20, seperti halnya Nasionalisme Indonesia, memunculkan keinginan untuk menciptakan identitas baru. Merekapun mulai menelusuri sejarah kembali, dan menemukan identitas baru pada Kerajaan Shang. Seperti yang dikutip dari hurek.blogspot.com,
Kesimpulan ini penulis analisis dari http://id.wikipedia.org/wiki/Penggunaan_istilah_Cina,_China,_dan_Tiongkok (diakses 15/1/2014, pukul 15:43), http://hurek.blogspot.com/2009/10/tiongkok-tionghoa-china-cina.html (diakses 15/1/2014, pukul 16:28). Pertama, mengingat Kekaisaran Chin tidaklah benar-benar dikagumi rakyat Cina saat itu karena kebrutalannya di masa lalu, membantai 500 sarjana Konfusianisme, melarang ajaran Kong Hu Cu, yang justru menjadi terbesar di Cina saat itu (abad 19). Kedua, dengan masuknya Jepang menjajah Cina (akhir abad 19 sampai tengah abad 20), muncullah istilah rasis terhadap orang Cina yaitu "Shina" yang artinya "orang pinggiran" atau "orang terbelakang". Besar kemungkinan ini adalah pelesetan dari sebutan Cina yang berlaku umum saat itu. Faktor kedua inilah yang menyakitkan sebegitu dalamnya bagi orang Cina. Ketiga, bangkitnya nasionalisme Cina abad 20, seperti halnya Nasionalisme Indonesia, memunculkan keinginan untuk menciptakan identitas baru. Merekapun mulai menelusuri sejarah kembali, dan menemukan identitas baru pada Kerajaan Shang. Seperti yang dikutip dari hurek.blogspot.com,
"Istilah Tiongkok dari Dinasti Shang, ...
banyak negara-negara atau kerajaan kecil, sebentar tunduk, sebentar
mengkhianati Kerajaan Shang. Ketika Dinasti Shang menguasai wilayah di
tengah-tengah kerajaan yang berada di sebelah Timur, Barat, Utara dan Selatan,
maka negara kerajaan ini disebut Tiongkok (Zhong Guo dalam lafal bahasa daerah
Hokian, yang juga berarti Negara-Tengah)"
Kerajaan
Tengah ini sangat menginspirasi karena merupakan pusat kebudayaan dan
bangkitnya Konfusianisme, yang dalam sejarahnya pernah dihancurkan Kekaisaran
Chin. Dari Kerajaan Zhong Guo/ Chung Kuo inilah istilah Tiongkok muncul.
Bangkitnya identitas baru, semakin tampak ketika Sun Yat Sen meruntuhkan
Dinasti Ching dan menggantikannya menjadi "Chung Hwa Ming Kuo"
atau "Republik Tiongkok". Maka sejak inilah, isitlah Cina dengan
berbagai dialeknya China, Chinese, Shina, tidak dipergunakan lagi. Tiongkok
digunakan untuk menunjukkan daerahnya, sedangkan Tionghoa untuk menunjukkan
kebangsaannya. Tentu saja pelafalannya mendapatkan tekanan berbeda-beda dari
berbagai dialek bahasa, seperti halnya Indonesia dilafalkan "Indonesa"
bagi orang Klaten. Namun, arti Tiongkok atau Tionghoa tetaplah "negara
tengah" atau "orangnya negara tengah" merujuk kebangkitan budaya
pada Dinasti Shang.
Bagaimana
dengan sejarah penggunaan di Indonesia? Melihat apa yang tertulis di
wikipedia.com, penggunaan istilah Tionghoa dan Tiongkok di Nusantara (saat itu
Indonesia juga belum ada!) ternyata adalah bentuk kesetiakawanan pada
orang-orang Tionghoa di sekitar tahun 1928, saat Sumpah Pemuda dikumandangkan.
Koran-koran Tionghoa, terutama Koran Sin Po mengganti sebutan "Hindia
Belanda" menjadi "Indonesia". Dengan demikian, para pejuang
Indonesia juga menggunakan istilah Tionghoa dan Tiongkok untuk mengganti sebutan
Cina.
Sumber: google |
Atas
dasar apa Indonesia kembali ke istilah Cina? Berdasarlan Leo Suryadinata
(2010), perubahan tersebut bermula dari Seminar Angkatan Darat Agustus 1966,
"Seminar tersebut memutuskan mengganti istilah
Tionghoa dan Tiongkok menjadi Cina untuk menunjukkan amarah rakyat Indonesia
(terutama kaum militer?) terhadap RRC (yang mendukung PKI) ... "alasan
utama" penggunaan istilah tersebut adalah ingin "menghilangkan rasa
inferior pada bangsa kita sendiri, sebaliknya menghilangkan rasa superior pada
golongan yang bersangkutan di dalam negara kita.""
Catatan Leo Suryadinata tersebut
dapat diartikan bahwa Pemerintah Orde Baru menginginkan stigma Cina zaman
dahulu dibangkitkan lagi. Stigma yang terkait dengan keberingasan Dinasti Chin,
dan stigma yang diberikan Jepang yaitu "orang pinggiran".
Dengan
berkuasanya Orde Baru secara otoriter selama 32 tahun, yang juga mewarnai
penulisan sejarah pada masanya, maka istilah Cina pun menjadi semakin membiasa.
Banyak di antara kaum muda Tionghoa yang tidak mengerti soal istilah Cina,
Tionghoa, dan Tiongkok. Cina semakin digunakan dalam bentuknya yang netral, bahkan
tanpa arti, selain menunjukkan arti geografis sebuah negeri di seberang lautan
utara Indonesia. Dalam bidang diplomatik, menurut Leo Suryadimata, di tahun
1989 perwakilan diplomatik dari Tiongkok menolak istilah Cina. Indonesia pun
menolak kembali ke Tiongkok. Maka digunakan istilah netral menurut bahasa
diplomatik Amerika Serikat, yaitu China (disebut Caina). Padahal di dalam
negeri tetap saja tulisan China itu dibaca Cina. Dalam hubungan diplomatik masa
Reformasi, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sudah menggunakan istilah Tiongkok
dalam laporan diplomatiknya untuk menyebut negeri Cina.
Seperti
halnya masalah istilah "Cina" dan "Tionghoa" yang pasang
surut, identitas sosial-politik Etnis Tionghoa di Indonesia juga mengalami
pasang surut. Sebagai pengantar, baiklah kiranya menyimak pendapat Leo
Suryadinata untuk kesekian kalinya.
"Dari sudut budaya, orang Tionghoa terbagi atas
peranakan dan totok. Peranakan ... sudah lama tinggal di Indonesia dan umumnya
sudah terbaur. Mereka berbahasa Indonesia sebagai bahasa sehari-hari... Totok
adalah pendatang baru, umumnya baru tinggal di negeri ini selama satu sampai
dua generasi ...
Dalam hal agama, sebagaian besar ... Budhisme,
Tridharma, dan Khonghucu. Namun, banyak pula yang memeluk agama Katolik dan
Kristen. Belakangan, yang memeluk Islam pun bertambah.
Dalam hal orientasi politik, ada yang pro Beijing
atau pro Taipei, tetapi yang terbesar adalah pro Jakarta. Ada yang
berwarganegara RRT atau Taiwan, namun yang terbanyak adalah warga negara
Indonesia (WNI).
Dalam bidang ekonomi, banyak yang kaya, tetapi lebih
banyak lagi yang miskin. Namun, sebagai minoritas perkotaan di Indonesia, orang
Tionghoa dapat digolongkan ke dalam kelas menengah."
Pendapat Leo Suryadinata,
sebenarnya menggambarkan bahwa identitas Tionghoa bukanlah sebuah identitas
tunggal yang kaku. Sama seperti halnya identitas Dayak, identitas Tionghoa juga
berkembang sesuai konteks sejarah dan konstruksi sosial dimana identitas tumbuh
di masyarakat. Berikut ini akan ditelusuri bagaimana identitas Tionghoa bisa
terbentuk di Indonesia.
Catatan
sejarah yang dikeluarkan ilmuwan Belanda P.J. Veth “Borneo’s Westerafdeeling
Geographisch, Statistisch, Historisch” tahun 1856, yang dialihbahasakan oleh
Pastor Yeri OFM, Cap., dengan judul “Borneo Bagian Barat Geografis, Statistis,
Historis” (2012: 254), mengatakan demikian:
"Dari segala bangsa asing, saya maksudkan dari
luar Nusantara sendiri, rupanya tidak ada yang kunjungi Borneo lebih dulu
daripada orang-orang Cina. Pengetahuan ini hampir pasti sama umur daripada
pengetahuan mereka tentang Nusantara pada umumnya, dan ini mulai terjadi
diwaktu peziarah-peziarah Cina, kunjungi India dari Abad ke-4 sampai ke-5
dengan tujuan mempelajari agama Budha."
Keyakinan P.J. Veth lebih merupakan
sebuah hipotesis nalarnya dengan merujuk bukti-bukti adanya jalur perdagangan
kuno yang memang harus melintasi Nusantara dari Tiongkok menuju India. Bukti
tertulis sendiri tentang keberadaan bangsa Tionghoa di Borneo adalah laporan
seorang yang bernama Klaproth, yang berhasil mengutip catatan Dinasti Ming pada
abad ke-7. P.J. Veth (2012: 255) mencatat dari Klaporth adanya lokasi-lokasi
yang ada di Borneo, seperti Pulau Palawan atau Paragoa, Ki-li-wen atau
Kinibalu, Wen-lai atau Brunei, Cu-ga-tiao-la atau Sukadana, dan Maschin atau
Banjarmasin.
Sumber: google |
Identitas Tionghoa berubah ketika Bangsa Barat
masuk ke Nusantara, terutama ketika Belanda berkuasa untuk waktu yang sangat
lama. Kekalahan teknologi perang membuat masyarakat Tionghoa harus melakukan
tawar-menawar supaya bisa mempertahankan eksistensinya di Nusantara. M.D. La
Ode dalam Etnis Cina Indonesia Dalam Politik (2012: 121), mengutip Twang Peck
Yang, melihat ada dua gelombang besar imigrasi masyarakat Tionghoa pada masa
Kolonial Belanda, yaitu 1860-1890 dan 1900-1930.
Pemerintah
Kolonial Belanda pada 1860-1890 menganut politik pintu terbuka. Menurut A.K.
Wiharyanto (2004), dalam Indonesia Dalam Abad XIX, "berarti pemerintah
kolonial memberi kesempatan kepada kaum modal asing (Belanda, Inggris, Amerika
Serikat) untuk menanamkan modal sebanyak-banyaknya di Indonesia." Dengan
diberlakukan Undang-undang Agraria (Agrarische Wet), bermunculan
kepemilikan-kepemilikan tanah oleh swasta, termasuk orang Tionghoa yang
beramai-ramai datang dari Tiongkok. Inilah imigrasi besar-besaran orang
Tionghoa yang pertama. Bagaimana nasib identitas Tionghoa saat itu? Mengutip
A.K. Wiharyanto (2004), "Sistem baru ini membuat Belanda tidak langsung
memeras rakyat tetapi lewat kaum kapitalis itulah rakyat Indonesia
diperas."
Bersambung ke bagian 2 ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar