Minggu, 01 Maret 2015

IDENTITAS TIONGHOA DI KALIMANTAN BARAT (Bag.2)

(Sambungan dari bagian 1)


Sumber: google
Dengan datangnya berbagai imigran asing ke Indonesia periode 1860-1890 dan 1900-1930, Belanda melakukan kebijakan pembagian kelas. Kelas satu adalah orang Belanda dan bangsa Eropa, kelas kedua adalah golongan yang disebut Timur Asing, meliputi Tionghoa dan Arab, sedangkan kelas ketiga adalah penduduk asli setempat yang disebut pribumi. Pembagian kelas ini demi kepentingan politik dan ekonomi Belanda. Pertama, dengan meletakkan orang Eropa di startifikasi tertinggi, maka akan menjaga kekuasaannya. Kedua, meletakkan golongan Timur Asing di tempat kedua akan menjaga jaringan perekonomiannya, mengingat golongan Timur Asing adalah urat perdagangan saat itu. Ketiga, menempatkan kelompok pribumi di bawah berarti terus menjaga otoritas Belanda terhadap Nusantara pada saat itu. Bagi golongan pribumi yang ada di bawah, kedua kelas di atas tentu saja akan sulit dibedakan. Kesamaan kelas satu dan kelas dua adalah keduanya sama-sama menindas kelas ketiga. Sedangkan tentu, saja dalam logika sederhana kelas kedua pun pasti tertindas oleh kelas pertama.

   
   Berkembangnya politik etis di awal  abad ke-20 mengubah banyak identitas sosial, politik, dan budaya di Nusantara. Tentu saja harus berani diakui orang Indonesia, bahwa identitas Indonesia pun lahir di saat ini lewat Perhimpunan Indonesia, Partai Komunis Indonesia, dan Sumpah Pemuda 1928. Bagi identitas Tionghoa, seperti sudah dibahas di persoalah istilah Tionghoa dan Cina di atas, masa ini memberikan identitas Tionghoa yang baru. Leo Suryadinata (2010: 185), seperti juga M.D. La Ode (2012: 7-8), memperlihatkan setidaknya ada tiga identitas Tionghoa saat itu. 


Pertama, kelompok Sin Po yang berorientasi ke Tiongkok, dan percaya bagaimanapun orang Tionghoa di manapun adalah anggota Tiongkok. Kedua, kelompok Chung Hwa Hui yang berorientasi ke Hindia Belanda, mereka percaya mereka adalah anggota dari Hindia Belanda, dan harus menjamin stabilitas Hindia Belanda. Ketiga adalah kelompok Partai Tionghoa Indonesia, yang percaya mereka akan menjadi bagian dari Bangsa Indonesia di akan datang. Menurut Leo Suryadinata (2010: 186), kelompok pertama didominasi orang Tionghoa yang imigran baru atau baru datang ke Nusantara. Kelompok kedua dan ketiga didominasi oleh Tionghoa peranakan yang lahir dan besar di Nusantara. Menurut M.D. La Ode (2012: 127) di Kalimantan Barat, pada zaman Jepang sebuah organisasi Tionghoa muncul yaitu Penjaga Keamanan Umum (PKU) dengan anggotanya pendukung Kou Min Tang. Kelompok ini menurut penulis masuk ke kelompok pertama yang berorientasi pada Tiongkok.
      Ada perbedaan antara munculnya identitas Tionghoa di Jawa, seperti di atas dengan di Kalimantan Barat. Tionghoa di Kalimantan Barat sendiri, menurut catatan-catatan P.J. Veth (2012: 261-262) sudah dipastikan berdagang dengan Borneo (Kalimantan) sejak abad ke-16, terutama dengan Banjarmasin. Pada pertengahan abad 18, terjadi kolonisasi orang Tionghoa yang cukup besar di Kalimantan Barat. Hal itu terjadi karena tersebarnya kabar tentang kekayaan emas di Kalimantan Barat. Kedatangan orang Tionghoa pun didukung dengan undangan Panembahan Mempawah dan Kesultanan Sambas sekitar tahun 1760, yang memang mengharapkan para pekerja kasar dari Tiongkok untuk menambang emas di wilayahnya. Berikut kutipan P.J. Veth (2012: 263):

"Raja-raja Melayu sendiri mengundang orang-orang Cina, yang terkenal sebagai rajin, untuk datang ke wilayah mereka, pertama-tama untuk menambang emas dan dengan ini memperbesar keuntungannya... Usaha ini berhasil luar biasa, dan ini mengakibatkan bukan hanya Penembahan terus mengizinkan orang Cina masuk ke wilayahnya ... tetapi juga mendorong Sultan Sambas, Omar Akama'd-din untuk mengikuti contohnya."

      Bila di Jawa, di pusat kekuasaan Belanda, identitas Tionghoa terbangun sebagai pedagang dan kapitalis, dan kemudian pecah ke dalam berbagai identitas, di Kalimantan Barat identitas Tionghoa adalah pekerja kasar, penambang emas. A.B. Tangdililing, seperti yang tertulis di M.D. La Ode (2012: 126) mengatakan :

"kedatangan orang Cina di Kalimantan Barat dilatarbelakangi oleh kondisi yang ada di daratan Cina yang tidak lagi menguntungkan, khususnya di Provinsi Kwangtung yang dilanda masa panceklik berkepanjangan waktu itu... Pada waktu yang sama pemerintah Hindia Belanda ... menghimpun tenaga kerja di negeri itu (Tiongkok) untuk dipekerjakan sebagai buruh di Pantai Timur Sumatera. Di antara mereka itu ada yang pindah ke Kalimantan Barat."

Sumber: google
Identitas kelas dua yang diperoleh di Jawa, sepertinya tidak diperoleh orang-orang Tionghoa di Kalimantan Barat. Di sana mereka menjadi kelas yang terendah, setidaknya untuk sementara, hingga nantinya muncul pergerakan-pergerakan politik yang berusaha menyaingi Kesultanan Sambas dan Pontianak, bahkan Pemerintah Hindia Belanda di Kalimantan Barat. Gerakan politik tersebut kemudian dikenal dengan nama Kongsi. Catatan dari paragraf ini adalah terbentuknya identitas Tionghoa awal di Kalimantan Barat, besar dipengaruhi asal-usul orang Tionghoa yang memang terdesak memenuhi kebutuhan hidupnya di daerah asalnya.
      Menelusuri P.J. Veth (2012) dapat diketahui, bahwa kongsi terbentuk dari gabungan beberapa kelompok orang Tionghoa penambang emas. Tujuannya untuk bekerja sama dalam hal mengeruk keuntungan dari emas dan keamanan bersama, karena kongsi tersebut ingin melepaskan diri dari membayar pajak dan menyetor hasil tambang pada Kesultanan Sambas dan Hindia Belanda. Kongsi-kongsi terbentuk di daerah Monterado dan Mandor, dan Kongsi paling terkenal adalah Kongsi Lanfong (Republik Lanfong). Sementara itu Kesultanan Sambas mempekerjakan orang-orang Dayak untuk mengawasi keberadaan kongsi-kongsi ini. Pada suatu ketika, menurut catatan P.J. Veth (2012: 265:266), orang-orang Dayak dibunuh di dalam benteng Kongsi Tionghoa, dalam sebuah pesta yang dibuat oleh pejabat-pejabat Kongsi tersebut.
      Perjalanan orang-orang Tionghoa sepanjang masa kolonial Belanda hingga Indonesia merdeka memang dipengaruhi konteks sejarah seperti dibahas di atas. Demikian pula ketika Indonesia merdeka, atas dasar dukungan dan solidaritas kelompok Tionghoa pro Indonesia, banyak orang-orang Tionghoa terlibat dalam pemerintahan Orde Lama. M.D. La Ode (2012: 12) menelusuri ada 12 menteri beretnis Tionghoa selama 1946-1966. Isu identitas Etnis Tionghoa pada masa Orde Lama berkisar pada pemilihan warga negara (legal) dan pembauran sosial. Pada awal kemerdekaan berkembang dengan pesat nasionalisme Indonesia dan juga nasionalisme Tiongkok. Masyarakat Etnis Tionghoa didesak untuk menyatakan keberpihakannya.
      Muncullah dua kelompok identitas Tionghoa pada masa ini, berdasarkan Leo Suryadinata (2010: 186)  identitas Tionghoa pertama dipelopori oleh gagasan Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki), sedangkan identitas kedua adalah gagasan Lembaga Pembinaan Kesatuan Bangsa (LPKB). Kelompok pertama dikenal dengan ide "pro integrasi" yang berpandangan bahwa identitas Tionghoa dan Tiongkok harus dipertahankan dalam lingkup Negara Indonesia. Menurut La Ode (2012: 10), "Orang Indonesia (Indonesian), bagi banyak tokoh Baperki, merupakan suatu konsep politik. Seorang Tionghoa dapat menjadi orang Indonesia karena ia tinggal di Indonesia dan jadi warga negara Indonesia." Kelompok ini tidak mempermasalahkan identitas budaya Tionghoa dalam hubungannya dengan budaya lain di Indonesia.
     
Sumber: google
Kelompok kedua, yaitu LPKB, dikenal dengan ide "pro asimilasi" yang berpandangan budaya Tionghoa harus melebur ke budaya masyarakat pribumi (Leo Suryadinata, 2010: 186). Kelompok ini berpendapat bahwa penyelesaian dari konflik identitas antara Tionghoa dengan etnis lain  di Indonesia, adalah dengan cara Etnis Tionghoa meninggalkan identitas Tiongkoknya dan memilih budaya Indonesia. Pendukung kelompok ini kemudian beramai-ramai meninggalkan nama Tiongkoknya dan berganti menjadi nama Indonesia. Nama Indonesia yang paling banyak digunakan tentu saja nama Jawa. Selain itu juga, bahasa dan tradisi leluhurTionghoa ditinggalkan.
      Dengan berakhirnya masa Orde Baru, kelompok Baperki yang dinilai dekat dengan kepentingan Tiongkok dan Partai Komunis Indonesia, menjadi pihak yang kalah. Sedangkan LPKB yang pro Angkatan Darat, bertahan dan menang. Maka di masa orde baru, dilarang lagi menggunakan nama dengan identitas Tionghoa, sekaligus juga melarang segala aktivitas budayanya.
      Identitas Tionghoa bangkit kembali setelah orde baru tumbang. Masa reformasi yang mengedepankan demokrasi dan keterbukaan memberi kesempatan pada Etnis Tionghoa untuk mengembangkan identitas etnisnya kembali. Puncaknya adalah ketika Presiden Abdurahaman Wahid mengakui keberadaan identitas budaya Tionghoa dengan memperbolehkan perayaan Imlek dan pengakuan atas Agama Konghucu. Di masa Reformasi nama-nama Tionghoa kembali digunakan, perayaan budaya pun semakin berkembang.
      Di Kalimantan Barat sendiri perkembangan identitas Tionghoa semakin "mengental" dan semarak. Bisa dilihat dengan meningkatnya jumlah wisatawan domestik maupun internasional yang menghadiri perayaan Imlek dan Cap Go Meh di Pontianak maupun Singkawang. Dalam bidang politik, semakin banyak keterlibatan masyarakat Tionghoa di dewan legislatif. Sementara itu, Christiandy Sanjaya berhasil menjadi wakil gubernur pertama berdarah Tionghoa di Kalimantan Barat dan di Indonesia.
      Perkembangan yang demikian pesat tersebut, tidak berarti masalah identitas etnis sudah selesai. Masih ada benturan-benturan horizontal yang melibatkan Etnis Tionghoa. Sepanjang masa Reformasi, bentrokan di Gang  .... di Gajah Mada bisa menjadi tolak ukurnya. Selain itu pernah terjadi juga bentrokan kecil antara Front Pembela Islam dengan rombongan pawai naga ketika Cap Go Meh ... Kondisi demikian menunjukkan bahwa masalah identitas etnis di Kalimantan Barat dan juga Indonesia masih menjadi masalah utama.

Tidak ada komentar: