Minggu, 01 Maret 2015

IDENTITAS DAYAK DI KALIMANTAN BARAT (Bag. 2)

(Sambungan dari bagian 1)

Terbentuknya identitas Dayak pasca kemerdekaan Indonesia, mendapat babak baru di sekitar tahun 1940-an bermula dari dibentuknya Kantor Urusan Dayak pada awal 1946. Mengenai hal ini, Taufiq Tanasaldy dalam penelitiannya “Politik Identitas di Kalimantan Barat”, yang terdapat dalam buku “Politik Lokal di Indonesia” (2007), mengungkapkan demikian, “Kantor tersebut melancarkan beberapa inisiatif untuk mengemansipasi orang Dayak dan berhasil mendapatkan jaminan dari pihak kesultanan untuk menghapus segala praktik diskriminasi terhadap orang-orang Dayak.” (Henk Schulte ed., 2007: 464). Kenyataan demikian, meskipun merupakan hal yang lebih baik, tetapi dalam pembentukan identitas, tetap saja meletakkan identitas Dayak dalam bentuk yang pasif. Dayak bagaimanapun juga tetap menjadi obyek sebagaimana yang terjadi pada pembentukan identitas Dayak pada masa kolonial.
Danau yang duluanya adalah Sungai Embaloh (doc. penulis)

 
Dayak mendapat identitas baru ketika terbentuk Partai Persatuan Daya di tahun 1946. Saat itulah identitas Dayak benar-benar ditentukan oleh orang Dayak sendiri, meskipun masih ada Dayak yang belum menjadi pedukung Partai Persatuan Daya, akibat ketidakterjangkauan. Klimaks kesadaran politik tersebut adalah terpilihnya J.C. Oevaang Oeray sebagai Gubernur Kalimantan Barat yang pertama.

Identitas Dayak kemudian mendapat stigma baru ketika meletus peristiwa “Demonstrasi 1967” yang terkenal juga dengan nama peristiwa “Mangkok Merah”. Di tahun 1967, berdasarkan fakta sejarah, terjadi pengusiran Etnis Tionghoa oleh Etnis Dayak dari pedalaman Kalimantan Barat menuju perkotaan. Pengusiran itu tidak berlangsung damai, karena diwarnai dengan pembunuhan dengan korban yang banyak (tidak teridentifikasi). Sejak saat itulah jumlah penduduk Tionghoa di Kabupaten Pontianak (yang dahulu) sangat kecil. Sementara penduduk Tionghoa di daerah Sanggau ke Kapuas Hulu cukup banyak karena tidak terkena pengusiran berdarah tersebut.

Peristiwa 1967 menciptakan identitas baru bagi Dayak. Dayak mulai dikenal dengan kegarangannya dan kesaktiannya. Bila dikaitkan dengan kemenangan Partai Persatuan Dayak dalam pemilu 1955 dan naiknya Oevaang Oeray sebagai Gubernur Kalimantan Barat, maka tahun 1967 merupakan klimaks sekaligus antiklimaks bagi identitas Dayak yang sempat unggul.

Pasca peristiwa 1967, sekaligus juga dimulainya masa Orde Baru, identitas Dayak mulai tenggelam kembali. Tekanan represif pemerintah Orde Baru terhadap segala golongan juga menimpa eksistensi Dayak yang tenggelam dan melemah. Hingga nanti di tahun 1990-an identitas Dayak mulai terbentuk kembali.

Masa 1997-2001 identitas Dayak banyak dipengaruhi konlik antar etnis, yaitu Dayak melawan Madura 1997, dan Melayu melawan Madura 2001. Dalam kedua konflik ini peran Dayak sangat besar dan membentuk citranya yang baru, yaitu pemenang perang antar etnis di Kalimantan Barat. Beberapa simbol melekat pada orang-orang Dayak, seperti pemberani, garang, dan sakti. Bagi anak muda Dayak, perasaan ini sangat membanggakan, hingga suatu ketika mulai terjadi pencegatan, pungutan liar di jalanan antar kota mengatasnamakan Dayak. Beberapa perkelahian kecilpun membawa nama Dayak. Sepertinya Dayak mendapat identitas baru sekarang ini.

Perjalanan di Sungai Embaloh (doc. penulis)
Kemenangan Cornelis, seorang Dayak, sebagai Gubernur Kalimantan Barat seakan-akan mengulang sejarah tahun 1960-an ketika Oevaang Oeray dan Partai Persatuan Daya berada di titik puncak. Euforia kebanggaan atas Identitas Dayak memuncak di tahun 2006-2012. Pada saat puncak itulah, terjadi bentrokan antara pemuda Dayak melawan FPI. Walau tidak berujung korban jiwa, tetapi konflik tersebut menjadi konflik terbaru hingga sekarang ini 2013.

Etnis Dayak sebagai sebuah konsep bukanlah kelompok yang mudah diidentifikasikan. Terbentuknya, dibentuknya, atau membentuknya identitas Dayak sangatlah dipengaruhi konstruksi sosial dan konteks sosial yang berkembang di masyarakat. Kita perlu menghargai identitas di masa lalu sebagai dasar pijakan untuk membangun identitas di masa depan yang lebih kuat dan berarti bagi kita dan masyarakat luas. 

Sekali lagi, identitas bukanlah sebuah yang statis, bahkan menurut saya identitas kelompok adalah sebuah pilihan politis yang tidak dapat dipaksakan. Namun, saya menginginkan sebuah identitas yang hadir pada individu sebagai sesuatu yang dipilihnya secara sadar, setelah individu tersebut belajar dan melihat masa lalu.

Mitchel Vinco
Guru Sejarah SMA Santo Paulus Pontianak

Tidak ada komentar: