Kamis, 21 Februari 2008

Kejujuran di Antara Pragmatis dan Traumatis

Kejujuran merupakan komoditi dari moralitas, dimana harganya adalah

kepuasaan batin yang bersumber dari hati nurani.

Kejujuran di dunia pragmatis yang berkembang saat ini, bagaikan dongeng gadis penjual korek api, yang kesepian dan berharap akan indahnya sebuah mimpi. Mimpi tentang dunianya yang ideal, dunia yang ramah, saling menghargai dan penuh dengan cinta dalam keluarga. Sayang dunia yang terbentang bukanlah dunia ideal, yang ada hanya realitas, yang terdiri dari fakta-fakta keras yang individualis, egois dan tidak berbelas kasih. Kejujuran kinipun hampir menjadi dongeng di masyarakat.

Berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat saat ini, memang tidak diimbangi dengan berkembangnya budaya refleksi atas nilai-nilai sejarah, sastra dan filosofi. Perkembangan IPTEK dan globalisasi membuat semakin kencangnya arus konsumerisme, akibat banyaknya pilihan produk dan jasa dalam perdagangan. Sementara di sisi lain kebijaksanaan-kebijaksanaan masa lampau yang terdapat di dalam peristiwa sejarah, literatur sastra, maupun ide-ide filsafat sudah jauh ditinggalkan oleh manusia.

Manusia yang hidup pada era IPTEK ini adalah manusia-manusia mekanik, manusia yang hilang ingatan, bergerak dalam sistem yang mengejar materi-materi ekonomi yang hakikatnya musnah sama seperti manusia. Sesuatu yang bernilai atau layak dikejar pada jaman ini hanyalah sesuatu yang bernilai guna pada saat ini juga. Itulah kehidupan pragmatis, yang menilai segala sesuatu dari segi kegunaan praktis bagi dirinya sendiri..

Akibatnya, kejujuran kini menjadi sebuah mitos belaka. Kejujuran dalam budaya pragmatis tidak mempunyai harga, tidak punya daya beli dan daya jual. Kejujuran tidak memiliki kegunaan praktis bagi pelakunya. Moralitas dan hati nurani sudah menjadi sesuatu yang abstrak. Jadilah kejujuran hanya “seonggok” nilai yang terlantar di tengah lalu lalangnya manusia-manusia pragmatis yang individualis, egois dan “terlalu” ekonomis. Suatu ketika seorang olahragawan badminton berkata “buat apa nasionalis, emang nasionalis bisa saya makan, bisa memberi saya uang?”. Mungkin hal serupa terjadi pada kejujuran, “buat apa kejujuran, emang kejujuran bisa dimakan?”.

Di tengah-tengah badai pragmatisme yang melanda manusia Indonesia, berhembuslah “angin dingin” dari masa lalu, yang membawa masyarakat pada kenangan kelam tentang kekerasan, penindasan dan pengucilan bagi mereka yang menentang penguasa. Kenangan tersebut seakan mengalir dalam setiap darah masyarakat dan membuat masyarakat menjadi trauma. Trauma yang menyebabkan ide-ide kebijaksanaan seperti kejujuran, rela berkorban, keadilan, demokratis menjadi terlupakan. Trauma yang menjadikan safety first adalah pilihan mutlak, bahkan bila bertentangan dengan hati nurani.

Apa yang terjadi pada pembantaian besar-besaran di Jawa dan Bali pada akhir 1965 hingga awal 1966, yang ditujukan bagi orang-orang yang dianggap partisipan PKI (Baskara:2006), telah membawa dampak psikis bagi masyarakat. Cara-cara penanganan yang tidak manusiawi dan tidak melalui proses hukum telah menyebar dari mulut ke mulut, mengalahkan peran media massa, menyebarkan hawa traumatis yang menakutkan. Tidak hanya bagi sanak saudara korban, tetapi juga bagi mereka yang tidak tahu apa-apa, yang menjadi satu kesatuan dalam sistem interaksi sosial. Rasa takut itu telah mengunci kesadaran masyarakat, dan menjadi patuh pada penguasa adalah pilihan utama, meskipun jika harus mengorbankan kejujuran.

Keadaan-keadaan lainnya turut mendukung meningkatnya kadar traumatis masyarakat, seperti peristiwa malari 1974, kudatuli 1996, maraknya penembak misterius, kematian para pejabat negara secara misterius dan penyelesaian masalah yang sebagian besar menggunakan kekerasan, hingga hal-hal yang dianggap sepele misalnya diskrikinasi etnis dan agama, penyulitan dalam mengurus administrasi, pemilu yang diarahkan, korupsi, kolusi dan nepotisme. Kondisi demikian membuat masyarakat terikat dan membentuk mentalitas “penjilat” atau cari selamat (safety first), entah itu karena rasa takut atau hanya demi mencari ”kemudahan” saja dalam urusan administrasi. Menuruti kemauan penguasa menjadi pilihan utama yang tersedia.

Demikianlah sosialisasi budaya terjadi dan menemukan bentuknya pada dewasa ini. Budaya masyarakat pragmatis yang muncul akibat globalisasi dan berkembangnya IPTEK melebur dengan traumatisme akibat kelamnya sejarahnya Indonesia, membentuk karakter-karakter manusia Indonesia yang kurang menghayati nilai-nilai kebijaksanaan. Kejujuran semakin ditinggalkan, tidak hanya karena kejujuran tidak pragmatis, tetapi juga karena rasa takut yang berlebihan, mencari selamat sendiri dan bermuka dua.

Kejujuran menjadi komoditi yang langka, yang menjadi mahal, namun ironisnya tidak ada yang mengejarnya. Bahkan kejujuran cenderung terlupakan. Hal tersebut disebabkan karena kejujuran merupakan komoditi dari moralitas, dimana harganya adalah kepuasaan batin yang bersumber dari hati nurani. Hanya mereka yang masih menyisakan kesadarannya untuk merefleksi dan belajar dari kebijaksanaan masa lampau yang masih mengejar kejujuran dan membaginya secara sukarela. Masih adakah mereka?

3 komentar:

pakgub mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
pakgub mengatakan...

kejujuran seyogyanya berada di dlm hati nurani setiap manusia,tp knp hal tsb menjadi langka?bahkan ad yg berpandangan bahwa org jujur susah untuk kaya.ini lah kondisi nyatanya..manusia2 haus akn keinginannya,segala cara digunakan,walaupun harus "menjilat"(posisi aman)padahal tingkat kepuasan manusia tdk akn pernah habis.apakah peran agama sdh tdk digunakan lg?ini kah negara yg berpancasila?yg mana sila pertama bebunyi "keTuhanan Yang Maha Esa".

pakgub mengatakan...

Orang tidak akan dapat memperbaiki kekacauan tanpa adanya tokoh, sedangkan tokoh tidak mungkin muncul jika pemimpin-pemimpinya adalah orang-orang yang tidak "berakal"