Sabtu, 16 Februari 2008

Soeharto: Pahlawan Abu-Abu

Pahlawan sebagai manusia, hidup dalam ruang dan waktu yang unik, seperti tiap orang memiliki jalan pribadi. Tiap jengkal dari perjalanan manusia mempunyai kisah yang tersendiri. Dengan demikian, manusia sebagai pahlawan atau pahlawan sebagai manusia tidak dapat digeneralisasikan.

Kontroversi di seputar kehidupan Pak Harto seperti tidak pernah akan berakhir. Bahkan setelah meninggalnya beliau kontroversi tidak pernah surut. Hal demikian wajar-wajar saja mengingat sebagai manusia, Pak Harto telah mengarungi perjalan hidup selama 86 tahun. Sebuah rentang waktu yang sangat langka untuk ukuran manusia normal dewasa ini. Banyak kisah yang ditinggalkan Pak Harto selama 86 tahun hidupnya. Dengan demikian pula, banyak pula sudut pandang yang bisa diambil dari sejarah kehidupannya. Menjadi kontroversi merupakan akibat dari banyaknya sudut pandang itu.

Sudut pandang yang berbeda dan kontradiksi turut mewarnai perihal keputusan apakah H.M. Soeharto akan diangkat sebagai pahlawan atau tidak. Layaknya pembahasan Rancangan Undang-Undang, masing-masing tokoh politik yang kemudian langsung dikaitkan media dengan pernyataan partai, mengeluarkan pendapatnya. Gus Dur berpendapat bahwa pemberian gelar pahlawan harus didahulukan dengan penyelesaian kasus-kasus hukum Pak Harto. Sementara Ketua Fraksi Partai Golkar Priyo Budi Santoso terang-terangan mengatakan bahwa Partai Golkar akan memprakarsai pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Pak Harto terkait dengan jasa-jasa beliau di masa lalu. Tidak hanya politisi, rakyat pun turut serta terpecah dengan argumennya masing-masing. W.S. Rendra, seorang sastrawan, jelas-jelas mengatakan Pak Harto tidak dapat disebut pahlawan.

Kontroversi mengenai Pak Harto Pahlawan atau bukan semakin keruh ketika definisi pahlawan juga tidak jelas dan dapat bermakna ganda. Definisi pahlawan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran. Kebenaran apakah yang dibela dalam definisi tersebut? Apakah kebenaran minoritas atau kebenaran mayoritas? Apakah standar dari kebenaran tersebut? Jika hanya berkutat dimasalah kebenaran pun masih ada masalah dalam konteks waktu. Apakah keberanian dan pengorbanan dari pahlawan terjadi selama hidupnya? Bagaimana perimbangan waktu-waktu yang lain selama kehidupan sang pahlawan? Bila semua kontroversi tersebut tidak menemukan titik penyelesaian. Maka nasib Pak Harto akan sama seperti nasib Bung Karno, akan menjadi kontroversi sepanjang sejarah Indonesia. Keduanya akan menjadi Pahlawan Abu-Abu, bukan hitam tidak pula putih.

Semua ini sebenarnya tidak akan menjadi rumit bila pemerintah tidak terlalu ikut campur dalam polemik apakah Pak Harto pahlawan atau bukan. Kekuasaan pemerintah yang bersifat mutlaklah yang membuat berbagai konteroversi muncul. Masing-masing pihak dengan sudut pandang berbeda di satu sisi akan mendorong pemerintah untuk berkata Pak Harto adalah pahlawan, sedangkan pihak lain akan berusaha mencegahnya. Kontroversi dan polemik tentu akan mereda jika pemerintah lebih bersikap ilmiah. Berikanlah kesempatan kepada ilmu pengetahuan untuk berdialektika menjawab sisi ”abu-abu” Pak Harto. Termasuk juga ilmu pengetahuan dalam bidang hukum yang berusaha mengadili putih-hitamnya Pak Harto. Tugas pemerintah bukanlah mengeluarkan pernyataan resmi tentang penganugerahan Pahlawan Nasional kepada Pak Harto. Namun, tugas pemerintahan adalah memberi jaminan bagi penelitian-penelitian sejarah dan pengadilan-pengadilan terhadap kasus hukum Pak Harto.

Ilmu pengetahuan ada dan berkembang semakin kompleks saat ini memiliki tujuan yang satu yaitu menjawab segala permasalahan hidup manusia. Dengan demikian hendaknya permasalahan yang terkait dengan Pak Harto harus diselesaikan dengan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan bukanlah argumen yang keluar dari pemikiran sepihak yang singkat. Namun, ilmu pengetahuan merupakan kumpulan fakta-fakta yang telah melalui prosedur, yang disusun secara sistematis dan bersifat universal. Bila meninggalnya Pak Harto menimbulkan polemik apakah dia akan diangkat menjadi Pahlawan Nasional atau bukan, janganlah pernah diselesaikan dengan cara-cara yang berpolemik pula. Gunakan cara yang benar yaitu tata cara ilmiah yang diakui secara universal, meskipun hal tersebut memakan waktu yang tidak sebentar.

Selain itu, terlepas dari jangka waktu diperolehnya hasil-hasil penelitian dan pengadilan Pak Harto. Penting bagi pemerintah untuk mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang bijaksana, yang terkait tentang kehidupan Pak Harto. Pernyataan-pernyataan tersebut haruslah meletakkan sejarah Pak Harto dalam konteks ruang dan waktu. Jangan pernah memberi penilaian yang bersifat menggeneralisir, seakan-akan Pak Harto bukan mahluk sosial yang selalu berdinamika. Meskipun sejarah Pak Harto masih abu-abu, keluarkanlah pernyataan yang berisi tentang tempat, waktu dan keseluruhan peristiwa yang mampu direkam secara ilmiah selama ini. Sangatlah tidak bijaksana bila pernyataan yang keluar sangat didramatisir, apalagi bila ada pemotongan fakta-fakta. Katakanlah keberhasilan Pak Harto saat di militer, saat orde lama, saat orde baru, tetapi katakanlah juga pelanggaran-pelanggaran HAM dan korupsi yang terjadi pada pemerintahannya.

Pada akhirnya permasalah mengenai apakah Pak Harto layak menjadi pahlawan atau tidak, haruslah dijawab dengan pernyataan yang bijak pula. Saat ini Pak Harto belum dapat dikatakan sebagai pahlawan, biarkanlah para ilmuwan dan pengadil yang menentukan hal ini di masa depan. Tugas pemerintah hanyalah menjamin terlaksananya proses tersebut, bukan tugas pemerintah untuk menentukan. Saat ini status Pak Harto masihlah Mantan Presiden Republik Indonesia 1966-1998, yang telah berpulang ke sisi-Nya.

* tidak berhasil dimuat di kolom Academica Harian Kompas Yogyakarta (Feb 2008)























1 komentar:

sari komputer mengatakan...

kurang kerjaan