"Etnis Dayak sebagai sebuah konsep
bukanlah kelompok yang mudah diidentifikasikan"
(doc. penulis) |
Etnis Dayak sepanjang perjalanan sejarah telah
diyakini sebagai penduduk asli Kalimantan Barat. Setidaknya catatan sejarah
yang dikeluarkan ilmuwan Belanda P.J. Veth “Borneo’s Westerafdeeling
Geographisch, Statistisch, Historisch” tahun 1856, yang dialihbahasakan
oleh Pastor Yeri OFM, Cap., dengan judul “Borneo Bagian Barat Geografis,
Statistis, Historis” tahun 2012,
mengatakan demikian,
“... di tengah-tengah bermacam hubungan
dan persatupaduan dan percampuran, atau dari permusuhan dan penolakan, dan di
bawah keadaan alamiah dari udara dan tanah, produk-produk tanah dan karena itu
satu cara hidup, berangsur-angsur, membentuk masyarakat itu, yang dianggap
sebagai yang tertua dan asli, yang pada umumnya dikenal dengan nama Dayak, …”
(Yeri [pent], 2012: 154)
Meskipun
P. J. Veth menjadi sumber yang cukup tua, masih saja pembahasan identitas Dayak
menjadi hal yang tidak mudah dilakukan. Hal ini ditunjukkan dengan pernyataan
P. J. veth sendiri, “…sebagai yang tertua dan asli, yang pada umumnya dikenal
dengan nama Dayak, tetapi memuat satu perbedaan besar suku-suku yang masih
sekarang ini berbeda satu sama lain dalam rupa, bahasa, cara hidup,
konsepsi-konsepsi agama, dan tingkat kebudayaan.”(Yeri pent., 2012: 154).
Dayak Embaloh, Kapuas Hulu, Kalimantan Barat (doc.penulis) |
Little Girl from Heart of Borneo (doc.penulis) |
Dengan demikian apa yang dimaksud dengan Dayak? Atau
siapa itu Orang Dayak? Dayak sebenarnya merupakan identitas yang dikontruksikan
(dibangun) oleh orang-orang diluar komunitas yang dianggap Dayak tersebut.
Penduduk asli Kalimantan yang disebut Dayak, sebenarnya tidak pernah menjadikan
istilah “Dayak’ sebagai identitasnya, hingga hasil konstruksi sosial itu
melekat demikian dalam dan menjadi nyata dengan terbentuknya Partai Persatuan
Daya (Dayak) (1946) oleh J.C. Oevaang Oeray. Bahkan penulisan kata “Dayak”
sebenarnya merupakan kesepakatan baru yang dilakukan pada tahun 1992 dalam
acara Ekspo Budaya Dayak yang dilakukan Institute Dayakologi Research and
Development (IDRD), yang sekarang dikenal dengan nama Institut Dayakologi
(John Bamba ed., 2008:10). Siapakah yang memberi identitas “Dayak” pada
penduduk asli Kalimantan?
Pembahasan mengenai identitas Etnis Dayak, sudah
pernah dilakukan dengan sangat baik oleh Dr. Yekti Maunati, dalam bukunya
“Identitas Dayak” (2004). Dalam bukunya tersebut Yekti menelusuri bagaimana
penduduk asli Kalimantan bisa memperoleh identitasnya sebagai “Dayak”. Dalam
melihat bagaimana sebuah terbentuknya identitas bisa terbentuk Yekti berpendapat
demikian,
“… kebudayaan sebaiknya dipandang
sebagai produk dari proses-proses budaya sebelumnya dan sebagai sesuatu yang
terbuka bagi segala reinterpretasi dan gagasan-gagasan baru serta ausnya
komponen-komponen lama… konsep-konsep tentang identitas dan bahkan identitas
itu sendiri semakin dipandang sebagai akibat dari adanya sebuah interaksi yang
dinamis antara konteks (dan sejarah) dengan construct” (Yekti Maunati,
2004: 25) (konstruksi sosial, tambahan penulis)
Dengan dasar pernyataan teoritis seperti demikian,
seharusnya identitas Dayak juga merupakan interaksi dari konteks sejarahnya dan
konstruksi sosial yang dibangun oleh masyarakat. Konteks sejarah merupakan
fakta-fakta tentang keberadaan Dayak yang berhasil ditulis atau diingat. Sementara
konstruksi sosial merupakan refleksi atas dasar historis yang disesuaikan
dengan kebutuhan-kebutuhan zaman.
Istilah Dayak pada awalnya memiliki banyak
penyebutan dan penulisan, antara lain, Daya’, Daya, Dyak, Dadjak, Dayaker,
dan Daya. Bila hal ini ditelusuri dari bahasa-bahasa setempat, maka
ditemukan beberapa kata yang hampir sama seperti Daya’, Doya’, Dayo’,
dan Dayuh yang berarti hulu dan manusia (John Bamba ed., 2008: 9). Dalam
bahasa Dayak Jangkang, Kabupaten Sanggau, di mana Ibu penulis berasal, terdapat
kata Doya yang artinya darah. Hal demikian bisa saja muncul, hasil
pemberian komunitas di luar Dayak, yang mengidentikkan komunitas asli
Kalimantan tersebut dengan daerah dominannya yaitu di dalam hutan-hutan dan di
hulu-hulu sungai.
Penutup kepala itu disebut "Salaben" (doc. penulis) |
Penggunaan istilah Dayak dengan berbagai variannya
terhadap penduduk asli Kalimantan,
terlihat jelas dari tidak digunakannya istilah Dayak tersebut oleh orang-orang
Dayak sendiri. Dalam buku “Keberagaman Subsuku dan Bahasa Dayak di Kalimantan
Barat” disebutkan, “ Dulunya, mereka tidak mengenal istilah Daya’, Dyak, Daya,
atau Dayak untuk menyebut identitas mereka.” (John Bamba ed., 2008: 10).
Kemudian disebutkan juga,
“Sementara kelompok masyarakat yang
dimaksud dengan berbagai istilah tersebut di atas, cenderung menyebut dirinya
orang hulu, orang darat, orang pedalaman, bahkan ada yang menjawab dengan polos
menyebut dirinya orang kampung, hanya karena alasan sederhana mereka kebanyakan
hidup di kampung… Di Malaysia dan Brunei Darussalam hingga dekade 1940-an tidak
mengenal sama sekali tiga atau lebih istilah ini. Pada kedua negara ini ada
terminologi yang kerapkali digunakan untuk merujuk pada kelompok masyarakat
yang mempunyai ciri-ciri sama, yaitu puak.” (John Bamba ed., 2008:10)
Lalu apa sebenarnya arti dari Dayak tersebut?
Sebenarnya sampai saat ini tidak pernah ada kesepakatan tentang hal tersebut.
John Bamba (ed) (2012), Maunati (2004), bahkan P.J. Veth (1856/2004), tidak
berhasil sepakat soal arti istilah Dayak ini. Bagaimana dari berbagai jenis
arti kemudian bisa memunculkan identitas Dayak? Sebelum melanjutkan lebih jauh,
tahun 1992, Institut Dayakologi mengundang berbagai intelektual Dayak termasuk
Malaysia dan Brunei Darussalam, untuk mengikuti Ekspo Budaya Dayak di
Pontianak. Dari pertemuan tersebut, salah satunya menyepakati soal penggunaan
istilah “Dayak” yang disebut dan ditulis demikian. Hingga sekarang kata “Dayak”
inilah yang resmi digunakan.
Istilah Dayak dengan berbagai varian yang mirip
penyebutannya, pertama kali diberikan oleh pemerintah kolonial barat, yaitu
Belanda, untuk memudahkan menyusun administrasi dan sensus. (John Bamba, 2008:
11). Bagaimanapun juga perlu upaya untuk mengelompokkan manusia-manusia yang
ada di Kalimantan demi pengaturan kebijakan kolonial. Dengan demikian, istilah
Dayak sendiri memang mengandung muatan negatif, karena dari terbentuknya memang
diberi label lawan dari kelompok-kelompok yang sudah teridentifikasi terlebih
dahulu.
Label Dayak sebagai “manusia pedalaman” diberikan
untuk membedakan dengan komunitas yang hidup di tepian laut atau pesisir,
seperti Orang Eropa, Melayu, dan Cina. Istilah “non muslim” diberikan untuk
membedakan dengan Etnis Melayu, demikian pula label “primitif”, “tidak
beradab”, yang diberikan dengan sudut pandang budaya Eropa. Melihat sumber
Maunati (2004: 6), Bamba (2008: 11), peneliti menganalisis bahwa pada masa
kolonial, Dayak benar-benar diidentikkan dengan “pemburu kepala”/heads
hunters, sebuah tradisi yang memiliki banyak nama bagi komunitas-komunitas
pendukungnya, tetapi yang jelas bukan pemburuan kepala, seperti yang diberikan
ilmuwan kolonial. Mengenai stigma Dayak sebagai pemburu kepala, banyak dibahas
oleh Yekti Maunati (2004).
Di tengah hutan bekas kampung lama (doc. penulis) |
Pemberian label Dayak dengan berbagai
karakteristiknya, murni menjadi pandangan kolonialis yang berpusat pada
identifikasi diri mereka sebagai orang Eropa. Dengan demikian alat ukur yang
digunakan juga nilai-nilai Eropa. Identitas Dayak selama masa kolonial ini
menjadi identitas yang pasif karena seluruhnya merupakan pemberian komunitas di
luar komunitas Dayak tersebut. Menurut Tjilik Riwut dalam buku “Maneser Panatau
Tatu Huang: Menyelami Kekayaan Leluhur” (2003: 63 & 117), penduduk asli
Kalimantan jumlahnya 450 sub etnis. Sedangkan
di Kalimantan Barat terdapat 151 sub etnis berdasarkan dialek bahasanya
(John Bamba, 2008). Pada akhirnya di masa kolonial digeneralisir menjadi satu
bagian, yaitu Dayak. Di sinilah, identitas Dayak pertama kali terbentuk.
Bila identitas Dayak yang terbentuk pada masa
kolonial ini ingin dikonfrontir, sebenarnya citra-citra negatif yang diberikan
para kolonialis terhadap Dayak sangat tidak adil karena bagi komunitas Dayak
sendiri, kehidupan mereka sangat beradab, seperti yang dikemukakan Maunati
(2004: 6), “Tetapi, jelas bahwa di dalam sebagian besar representasi Barat yang
ada, Dayak dipandang primitif, sangat berbeda dengan pandangan orang-orang ini
yang menganggap diri mereka sendiri sebagai bagian dari sebuah masyarakat
beradab.” Seperti misalnya praktek pemburuan kepala yang dianggap Barat,
sebenarnya adalah praktek adat yang terhormat dan bukan karena naluri kekerasan
yang egosentris.
Bersambung ke bagian 2 ...
3 komentar:
waw halaman yang bagus dan artikel yang menarik . Saya senang bisa menemukan artikel ini , karena artikelnya sangat membantu dan bermanfaat untuk saya . ditunggu postingan berikutnya yaaa ...terimakasih
selalu suka cerita mengenai masyarakat suku dayak. trims telah sharing
Harrah's Casino & Hotel - Mapyro
Get directions, reviews and information for Harrah's Casino 인천광역 출장샵 & Hotel in Hammond, OK. In-person 원주 출장안마 betting; A 군산 출장마사지 live casino; Live 밀양 출장샵 table 안동 출장마사지 games
Posting Komentar