Sumber: google.com |
Orang-orang
Kristen sangat marah dengan film Zeitgeist, bahkan banyak menyatakan film ini
terlarang. Bagi pemeluk agama yang merasa agamanya satu-satunya kebenaran,
merasa terhina dengan penistaan film Zeitgeist.
Desember
2014 Mahkamah Agung Malaysia menolak upaya banding Gereja Katolik, terkait
penggunaan kata ‘Allah’ di koran Katolik The
Herald. Kasus bermula dari Kementerian Dalam Negeri Malaysia yang melarang
penggunaan kata ‘Allah’ bagi media non Islam pada 2007. Pemerintah berpendapat,
penggunaan kata ‘Allah’ bisa membingungkan mayoritas umat Muslim dan
membahayakan keamanan nasional. Di Malaysia untuk penulisan di media massa,
kata ‘Allah’ hanya ditujukan bagi Agama Islam.
Sekali
lagi umat Kristen kecewa, hal mendasar yang mereka percaya, yang selama ini
menjadi pedoman hidup mereka diguncang. Logika-logika jalanan semakin
membuyarkan keyakinan, karena di jalanan masih berlaku prinsip “yang kuat yang
akan menang”. Maka perdebatan di warung kopi, di lorong-lorong gedung, hanya
akan memenangkan mereka yang memiliki pita suara kuat menggelegar.
Menurut
penulis, dasar masalah dari semua ini adalah karena keinginan pemeluk Agama
untuk menjadi yang paling benar. Apakah hal itu salah? Tentu saja tidak, karena
setiap pemeluk agama pasti meyakini agamanya yang paling benar. Namun, jika
pemeluk agama melupakan realitas sosialnya, maka kebenaran yang diyakininya
hanya akan menjadi kebenaran bagi dirinya saja, tidak memberikan manfaat bagi
lingkungan sekitarnya.
Tunggu
dulu! Pemeluk Agama?! Agama berasal dari bahasa Sansekerta yang sangat identik
dengan kebudayaan Hindu, yaitu “A” berarti “tidak” dan “Gama” yang berarti
“kacau”, atau bila diartikan secara keseluruhan, Agama berarti “tradisi”.
Apakah penulis boleh menggunakan istilah “Agama” padahal penulis bukanlah
seorang Hindu? Mari berlogika!
Multikulturalisme: Perkembangan
Kristen Awal
Secara sederhana, menurut wikipedia, multikulturalisme
berarti kebijakan yang menekankan pada penerimaan terhadap adanya keberagaman
budaya dalam kehidupan masyarakat. Budaya sendiri menurut Koentjaraningrat
adalah keseluruhan sistem cipta, karsa, dan karya manusia, sehingga melibatkan
tujuh unsur kebudayaan umum yaitu: 1) religi/agama; 2) sistem kemasyarakatan;
3) bahasa; 4) mata pencaharian; 5) ilmu pengetahuan; 6) teknologi; 7) kesenian.
Sehebat
apapun pesan yang diberikan Tuhan bagi manusia, jika tidak menggunakan bahasa
yang dimengerti manusia, maka pesan tersebut tidak akan sampai kepada manusia.
Yesus dalam pengajarannya selalu menggunakan istilah-istilah setempat misalnya
pohon ara (Ficus Carica), pohon
zaitun (Olea Europaea), dan buah
anggur, yang banyak terdapat di Asia Barat, termasuk di Provinsi Yudea tempat-Nya
bersaksi. Yesus juga kerap kali mengutip ayat-ayat dari Kitab Taurat Yahudi.
Tentu saja karena kepercayaan masyarakat mayoritas di Yudea adalah Yahudi,
sehingga pesan yang Yesus sampaikan lebih cepat dicerna oleh logika masyarakat
setempat. Akibat dari pengajarannya yang sederhana tanpa mengenal bahasa
tingkat tinggi atau rendah, pengikut Yesus bertambah dengan pesat dari berbagai
golongan dan status sosial.
Setelah
Yesus wafat, pengajaran kabar gembira dari Yesus Kristus berada dipundak para
muridnya. Jika para murid hanya menyebarkan Injil di Provinsi Yudea atau
Samaria, maka Agama Kristen tidak akan sebesar sekarang. Namun, pada hari ke
lima puluh setelah Yesus bangkit, Roh Kudus turun ke dalam para murid, seketika
mereka mampu berbicara bahasa-bahasa asing seperti: Mesopotamia, Mesir, Libya,
Asia Kecil, Yunani, Romawi, bahkan Arab (Kisah Para Rasul, 2:1-13). Pesan ini
menandakan bahwa Tuhan ingin menyebarkan kabar gembira (Injil) dalam semua
bahasa, dalam semua budaya, bukan saja untuk orang-orang Israel.
Masa-masa
awal perkembangan Gereja tidak mudah, para rasul mendapat tantangan dari
kekuasaan politik-agama Yahudi, dan penolakan secara kasar dan brutal dari
kekuasaan Romawi yang berkuasa hampir di seluruh Eropa dan pesisir Laut
Mediterania. Cara paling cepat tetapi paling berbahaya untuk menyebarkan kabar
gembira dari Yesus adalah dengan menusuk langsung pusat pemerintahan Romawi.
Petrus menyebarkan Injil di pusat Romawi (sekarang Italia), Paulus menjelajah
di banyak tempat di wilayah satelit Romawi yaitu Yunani dan Asia Kecil (kelak
menjadi Byzantium/Romawi Timur).
Wilayah Romawi (Sumber: google.com) |
Inkulturasi
adalah istilah dalam Gereja Katolik Roma/Latin, yang merujuk pada adaptasi
ajaran-ajaran Gereja terhadap kebudayaan-kebudayaan setempat, agar
ajaran-ajaran Gereja dapat lebih mudah diterima. Inkulturasi berbeda dengan
sinkretisme dan akulturasi, karena sinkretisme itu mencampur-adukkan budaya
sehingga tidak jelas budaya mana yang diutamakan, dan akulturasi adalah
pembentukan budaya baru dari pencampuran dua budaya atau lebih. Sedangkan
inkulturasi tubuhnya tetaplah ajaran-ajaran Gereja tetapi menggunakan baju yang
berbeda-beda. Tujuannya untuk menyampaikan kabar gembira dari Yesus Kristus
dengan cara yang mudah dimengerti.
Salah
satu contoh inkulturasi adalah munculnya peringatan Kelahiran Yesus (Natal)
setiap 25 Desember. Natal secara tradisi Gereja awal tidak pernah diperingati
hingga 200-an tahun setelah Yesus wafat. Ketika itu para rasul dihadapkan pada
kebiasaan umat Kristen di Romawi (yang berinduk dari budaya Yunani) yang sudah
sangat mengakar. Salah satunya adalah penyembahan terhadap Dewa Matahari (Solar Invicti) pada perayaan Saturnalia, yang menandai titik balik dari
musim dingin ke musim semi, di sekitar tanggal 25 Desember. Dihadapkan para
permasalahan tersebut para rasul mengadaptasi hari tersebut menjadi hari
kelahiran Yesus, karena Yesus dalam Alkitab juga diumpamakan sebagai Sang Surya
Agung (Maleakhi 4:2; Kidung Agung 6:10; Lukas 1:78). Pada poin ini yang ingin
penulis sampaikan adalah penyampaian kabar gembira dari Yesus, dapat
disampaikan dengan berbagai kebudayaan, selama yang disampaikan adalah keutamaan
kabar gembira tersebut (Injil).
Proses
penyampaian Injil dalam berbagai budaya pernah terjadi dalam bentuk yang ekstrim,
ketika Agama Kristen masuk ke kebudayaan kaum Barbar Eropa seperti Jerman,
Frank, Celt, Anglo-Saxon, dan Goth sekitar abad ke 6-8. Pada masa ini
orang-orang Eropa yang barbar hidup dalam kondisi alamiah yang jauh dari
sentuhan teknologi Romawi (Byzantium), sehingga pengobatan masih dilakukan
menggunakan sihir dan jampi-jampi. Ketika Agama Kristen masuk, jampi-jampi masih
digunakan, tetapi nama-nama roh dalam mantra seperti Balder dan Woden
digantikan oleh nama-nama orang kudus seperti Matius, Markus, Lukas, dan
Yohanes (lihat Henry Lucas,1993:96).
Di
dunia Arab sebelum maupun sesudah Islam muncul, multikulturalisme (inkulturasi
istilah Gereja Katolik) dalam penyebaran kabar gembira Yesus juga diterapkan.
Salah satu Tuhan yang paling banyak disembah di Arab pra Islam, dikenal dengan
sebutan atau kata ‘Allah’ (periksa artikel Ulil Abshar Abdalla di ulil.net).
Ketika para rasul mengajarkan Injil di Arab, maka sebutan Tuhan yang sebelumnya
dengan kebudayaan Yahudi disebut Yahwe (YHWH), berganti dengan sebutan Allah,
sebagai bentuk penyamaan konsep tentang kekuatan Yang Maha Kuasa bagi mereka
yang berbeda kebudayaan dengan para rasul. Hingga saat ini semua Alkitab
(Bible) dalam bahasa Arab memakai istilah Allah untuk menyebutkan Tuhan.
Bagaimana
dengan istilah ‘Tuhan’? Istilah Tuhan sendiri berasal dari bahasa Melayu, yaitu
Tuan, yang berarti atasan atau penguasa atau pemilik. Tuhan dapat diartikan
sebagai penguasa seluruh dunia ini. Bagaimana dengan ‘God’? Istilah God (bahasa
Latin) digunakan untuk menerjemahkan bahasa Yunani ‘Theos’ atau ‘Deus’ yang
artinya adalah Tuhan. Deus atau Zeus juga digunakan pada zaman Yunani Kuno
untuk sebagai nama Dewa tertinggi Yunani, Dewa Petir.
Multikulturalisme: Menyampaikan
Pesan Bahagia
Kabar
gembira dari Tuhan Yesus Kristus (ataupun dari kita) harus dapat membuat orang
lain yang mendengarnya bahagia pula. Hal yang paling penting dari menyampaikan
pesan adalah makna dari pesan tersebut diterima dengan baik dan sesuai
konteksnya. Pastor bisa saja disebut Pater, atau di Jawa disebut Romo, maknanya
tetap sama orang yang mengayomi kita, yang kita anggap sebagai orang tua yang
terhormat. Kata ‘Santo’ pada SMA Santo Paulus memiliki makna yang sama dengan
kata ‘Santu’ pada SMA Santu Petrus, karena berasal dari kata ‘Sanctus’ yang artinya suci atau kudus.
Demikian pula dalam pewartaan ajaran-ajaran Gereja di Kalimantan Barat, Tuhan
bisa saja disebut Jubata, Penompa, Allatala, atau Shang di.
Tritunggal Maha Kudus: Bapa, Putera, dan Roh Kudus dapat juga disebut dengan
istilah Yin Fu, ji Zi, dan ji Shengshen Zhiming. Selama pesan Injil
yang disampaikan diterima dengan baik, maka manusia dapat hidup dalam ajaran
Kristus.
Bagaimana
dengan istilah ‘Bruder’? Bruder sama artinya dengan Brother atau saudara laki-laki, karena mereka memang memposisikan
sebagai saudara yang melayani. Namun, jangan memanggil Bruder dengan istilah
abang atau abang-abang! Karena istilah abang dalam bahasa Indonesia berkonotasi
netral, dengan nada tertentu bahkan bisa berkonotasi negatif, padahal Bruder
adalah biarawan yang harus kita hormati.
Begitu
banyak istilah-istilah dan pengadaptasian yang kita lihat dalam tulisan ini,
mengajarkan kita bahwa tidak ada yang benar-benar murni turun dari Allah,
karena bahasa dan budaya Allah adalah bahasa dan kebudayaan alam semesta yang
tak terhingga. Betapa sayangnya Allah kepada kita, karena Dia memberikan
Puteranya untuk kita sebagai manusia, agar pesan cinta kasihNya sampai kepada
kita. Yesus yang berbahasa manusia, yang berbahasa sehari-hari Aram, mengajarkan para muridnya dan
menjanjikan Roh Kudus turun pada murid-muridnya. Murid-muridnya kemudian mampu
berbahasa beraneka ragam.
Agama
sebagai pedoman moral yang tertinggi dilahirkan lewat berbagai budaya, namun
bukan perbedaan yang menjadi tujuannya, melainkan kesamaan pesan bahagia.
Dengan bahasa dan cara yang beragam, kabar gembira dapat diterima dengan cepat
pada berbagai budaya. Bukankah kita yang sekarang juga harus demikian? Kita
tidak harus memaksakan kehendak, bahwa kita paling benar. Kita tidak harus
marah, karena ada yang menghina diri kita. Sebagai pengikut Kristus, kita harus
belajar untuk menyampaikan ajaran-ajarannya dengan berbagai cara yang
bersahabat, cara yang menghargai, supaya kabar gembira Injil Tuhan kita Yesus
Kristus dapat dipahami oleh semakin banyak orang. Amin.
Mitchel Vinco
Guru Sejarah SMA Santo Paulus –
Ditulis untuk majalah siswa/i
VARIA 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar