Kamis, 19 Oktober 2017

MULTIKULTURALISME: BAHASA TUHAN YANG MEMBUMI (SEJARAH PERKEMBANGAN AGAMA KATOLIK)


Sumber: google.com
Tahun 2007 dan 2008 dunia maya dihebohkan dengan film berjudul Zeitgeist, karena film tersebut mengatakan bahwa Agama Kristen adalah peniruan dari agama-agama kuno di Mesir, India, Persia, Yunani, dan Romawi. Argumen Zeitgeist bermula dari kejanggalan tanggal 25 Desember sebagai hari kelahiran Yesus. Bagaimana mungkin, para gembala yang menyaksikan kelahiran Yesus, menggembalakan ternaknya di padang rumput ketika musim dingin? Ya, tanggal 25 Desember belahan Bumi Utara memang sudah masuk ke musim dingin, di mana tumbuhan berhenti berkembang, hewan-hewan berhibernasi atau bermigrasi ke daerah Selatan yang lebih hangat.
Orang-orang Kristen sangat marah dengan film Zeitgeist, bahkan banyak menyatakan film ini terlarang. Bagi pemeluk agama yang merasa agamanya satu-satunya kebenaran, merasa terhina dengan penistaan film Zeitgeist.

 
Desember 2014 Mahkamah Agung Malaysia menolak upaya banding Gereja Katolik, terkait penggunaan kata ‘Allah’ di koran Katolik The Herald. Kasus bermula dari Kementerian Dalam Negeri Malaysia yang melarang penggunaan kata ‘Allah’ bagi media non Islam pada 2007. Pemerintah berpendapat, penggunaan kata ‘Allah’ bisa membingungkan mayoritas umat Muslim dan membahayakan keamanan nasional. Di Malaysia untuk penulisan di media massa, kata ‘Allah’ hanya ditujukan bagi Agama Islam.
Sekali lagi umat Kristen kecewa, hal mendasar yang mereka percaya, yang selama ini menjadi pedoman hidup mereka diguncang. Logika-logika jalanan semakin membuyarkan keyakinan, karena di jalanan masih berlaku prinsip “yang kuat yang akan menang”. Maka perdebatan di warung kopi, di lorong-lorong gedung, hanya akan memenangkan mereka yang memiliki pita suara kuat menggelegar.
Menurut penulis, dasar masalah dari semua ini adalah karena keinginan pemeluk Agama untuk menjadi yang paling benar. Apakah hal itu salah? Tentu saja tidak, karena setiap pemeluk agama pasti meyakini agamanya yang paling benar. Namun, jika pemeluk agama melupakan realitas sosialnya, maka kebenaran yang diyakininya hanya akan menjadi kebenaran bagi dirinya saja, tidak memberikan manfaat bagi lingkungan sekitarnya.
Tunggu dulu! Pemeluk Agama?! Agama berasal dari bahasa Sansekerta yang sangat identik dengan kebudayaan Hindu, yaitu “A” berarti “tidak” dan “Gama” yang berarti “kacau”, atau bila diartikan secara keseluruhan, Agama berarti “tradisi”. Apakah penulis boleh menggunakan istilah “Agama” padahal penulis bukanlah seorang Hindu? Mari berlogika!

Multikulturalisme: Perkembangan Kristen Awal
 Secara sederhana, menurut wikipedia, multikulturalisme berarti kebijakan yang menekankan pada penerimaan terhadap adanya keberagaman budaya dalam kehidupan masyarakat. Budaya sendiri menurut Koentjaraningrat adalah keseluruhan sistem cipta, karsa, dan karya manusia, sehingga melibatkan tujuh unsur kebudayaan umum yaitu: 1) religi/agama; 2) sistem kemasyarakatan; 3) bahasa; 4) mata pencaharian; 5) ilmu pengetahuan; 6) teknologi; 7) kesenian.
Sehebat apapun pesan yang diberikan Tuhan bagi manusia, jika tidak menggunakan bahasa yang dimengerti manusia, maka pesan tersebut tidak akan sampai kepada manusia. Yesus dalam pengajarannya selalu menggunakan istilah-istilah setempat misalnya pohon ara (Ficus Carica), pohon zaitun (Olea Europaea), dan buah anggur, yang banyak terdapat di Asia Barat, termasuk di Provinsi Yudea tempat-Nya bersaksi. Yesus juga kerap kali mengutip ayat-ayat dari Kitab Taurat Yahudi. Tentu saja karena kepercayaan masyarakat mayoritas di Yudea adalah Yahudi, sehingga pesan yang Yesus sampaikan lebih cepat dicerna oleh logika masyarakat setempat. Akibat dari pengajarannya yang sederhana tanpa mengenal bahasa tingkat tinggi atau rendah, pengikut Yesus bertambah dengan pesat dari berbagai golongan dan status sosial.
Setelah Yesus wafat, pengajaran kabar gembira dari Yesus Kristus berada dipundak para muridnya. Jika para murid hanya menyebarkan Injil di Provinsi Yudea atau Samaria, maka Agama Kristen tidak akan sebesar sekarang. Namun, pada hari ke lima puluh setelah Yesus bangkit, Roh Kudus turun ke dalam para murid, seketika mereka mampu berbicara bahasa-bahasa asing seperti: Mesopotamia, Mesir, Libya, Asia Kecil, Yunani, Romawi, bahkan Arab (Kisah Para Rasul, 2:1-13). Pesan ini menandakan bahwa Tuhan ingin menyebarkan kabar gembira (Injil) dalam semua bahasa, dalam semua budaya, bukan saja untuk orang-orang Israel.
Masa-masa awal perkembangan Gereja tidak mudah, para rasul mendapat tantangan dari kekuasaan politik-agama Yahudi, dan penolakan secara kasar dan brutal dari kekuasaan Romawi yang berkuasa hampir di seluruh Eropa dan pesisir Laut Mediterania. Cara paling cepat tetapi paling berbahaya untuk menyebarkan kabar gembira dari Yesus adalah dengan menusuk langsung pusat pemerintahan Romawi. Petrus menyebarkan Injil di pusat Romawi (sekarang Italia), Paulus menjelajah di banyak tempat di wilayah satelit Romawi yaitu Yunani dan Asia Kecil (kelak menjadi Byzantium/Romawi Timur).
Wilayah Romawi (Sumber: google.com)
Lawan para rasul pada saat itu sangat kuat, yaitu kekuasaan terbesar di dunia pada masanya, Imperium Romawi, yang merasa pesatnya peningkatan jumlah umat Kristen sebagai ancaman, karena menolak menyembah dewa-dewi Romawi, yang berarti juga menentang Kaisar. Di tengah ancaman pembunuhan dan pengucilan, pengajaran tentang kabar gembira (Injil) harus terus dilakukan, dan dengan pertolongan Roh Kudus, para rasul menyampaikan Injil lewat bahasa dan kebudayaan setempat yang beragam. Pada titik inilah terjadi inkulturasi yang sangat menekankan pada multikulturalisme.
Inkulturasi adalah istilah dalam Gereja Katolik Roma/Latin, yang merujuk pada adaptasi ajaran-ajaran Gereja terhadap kebudayaan-kebudayaan setempat, agar ajaran-ajaran Gereja dapat lebih mudah diterima. Inkulturasi berbeda dengan sinkretisme dan akulturasi, karena sinkretisme itu mencampur-adukkan budaya sehingga tidak jelas budaya mana yang diutamakan, dan akulturasi adalah pembentukan budaya baru dari pencampuran dua budaya atau lebih. Sedangkan inkulturasi tubuhnya tetaplah ajaran-ajaran Gereja tetapi menggunakan baju yang berbeda-beda. Tujuannya untuk menyampaikan kabar gembira dari Yesus Kristus dengan cara yang mudah dimengerti.
Salah satu contoh inkulturasi adalah munculnya peringatan Kelahiran Yesus (Natal) setiap 25 Desember. Natal secara tradisi Gereja awal tidak pernah diperingati hingga 200-an tahun setelah Yesus wafat. Ketika itu para rasul dihadapkan pada kebiasaan umat Kristen di Romawi (yang berinduk dari budaya Yunani) yang sudah sangat mengakar. Salah satunya adalah penyembahan terhadap Dewa Matahari (Solar Invicti) pada perayaan Saturnalia, yang menandai titik balik dari musim dingin ke musim semi, di sekitar tanggal 25 Desember. Dihadapkan para permasalahan tersebut para rasul mengadaptasi hari tersebut menjadi hari kelahiran Yesus, karena Yesus dalam Alkitab juga diumpamakan sebagai Sang Surya Agung (Maleakhi 4:2; Kidung Agung 6:10; Lukas 1:78). Pada poin ini yang ingin penulis sampaikan adalah penyampaian kabar gembira dari Yesus, dapat disampaikan dengan berbagai kebudayaan, selama yang disampaikan adalah keutamaan kabar gembira tersebut (Injil).
Proses penyampaian Injil dalam berbagai budaya pernah terjadi dalam bentuk yang ekstrim, ketika Agama Kristen masuk ke kebudayaan kaum Barbar Eropa seperti Jerman, Frank, Celt, Anglo-Saxon, dan Goth sekitar abad ke 6-8. Pada masa ini orang-orang Eropa yang barbar hidup dalam kondisi alamiah yang jauh dari sentuhan teknologi Romawi (Byzantium), sehingga pengobatan masih dilakukan menggunakan sihir dan jampi-jampi. Ketika Agama Kristen masuk, jampi-jampi masih digunakan, tetapi nama-nama roh dalam mantra seperti Balder dan Woden digantikan oleh nama-nama orang kudus seperti Matius, Markus, Lukas, dan Yohanes (lihat Henry Lucas,1993:96).
Di dunia Arab sebelum maupun sesudah Islam muncul, multikulturalisme (inkulturasi istilah Gereja Katolik) dalam penyebaran kabar gembira Yesus juga diterapkan. Salah satu Tuhan yang paling banyak disembah di Arab pra Islam, dikenal dengan sebutan atau kata ‘Allah’ (periksa artikel Ulil Abshar Abdalla di ulil.net). Ketika para rasul mengajarkan Injil di Arab, maka sebutan Tuhan yang sebelumnya dengan kebudayaan Yahudi disebut Yahwe (YHWH), berganti dengan sebutan Allah, sebagai bentuk penyamaan konsep tentang kekuatan Yang Maha Kuasa bagi mereka yang berbeda kebudayaan dengan para rasul. Hingga saat ini semua Alkitab (Bible) dalam bahasa Arab memakai istilah Allah untuk menyebutkan Tuhan.
Bagaimana dengan istilah ‘Tuhan’? Istilah Tuhan sendiri berasal dari bahasa Melayu, yaitu Tuan, yang berarti atasan atau penguasa atau pemilik. Tuhan dapat diartikan sebagai penguasa seluruh dunia ini. Bagaimana dengan ‘God’? Istilah God (bahasa Latin) digunakan untuk menerjemahkan bahasa Yunani ‘Theos’ atau ‘Deus’ yang artinya adalah Tuhan. Deus atau Zeus juga digunakan pada zaman Yunani Kuno untuk sebagai nama Dewa tertinggi Yunani, Dewa Petir.

Multikulturalisme: Menyampaikan Pesan Bahagia
Kabar gembira dari Tuhan Yesus Kristus (ataupun dari kita) harus dapat membuat orang lain yang mendengarnya bahagia pula. Hal yang paling penting dari menyampaikan pesan adalah makna dari pesan tersebut diterima dengan baik dan sesuai konteksnya. Pastor bisa saja disebut Pater, atau di Jawa disebut Romo, maknanya tetap sama orang yang mengayomi kita, yang kita anggap sebagai orang tua yang terhormat. Kata ‘Santo’ pada SMA Santo Paulus memiliki makna yang sama dengan kata ‘Santu’ pada SMA Santu Petrus, karena berasal dari kata ‘Sanctus’ yang artinya suci atau kudus. Demikian pula dalam pewartaan ajaran-ajaran Gereja di Kalimantan Barat, Tuhan bisa saja disebut Jubata, Penompa, Allatala, atau Shang di. Tritunggal Maha Kudus: Bapa, Putera, dan Roh Kudus dapat juga disebut dengan istilah Yin Fu, ji Zi, dan  ji Shengshen Zhiming. Selama pesan Injil yang disampaikan diterima dengan baik, maka manusia dapat hidup dalam ajaran Kristus.
Bagaimana dengan istilah ‘Bruder’? Bruder sama artinya dengan Brother atau saudara laki-laki, karena mereka memang memposisikan sebagai saudara yang melayani. Namun, jangan memanggil Bruder dengan istilah abang atau abang-abang! Karena istilah abang dalam bahasa Indonesia berkonotasi netral, dengan nada tertentu bahkan bisa berkonotasi negatif, padahal Bruder adalah biarawan yang harus kita hormati.
Begitu banyak istilah-istilah dan pengadaptasian yang kita lihat dalam tulisan ini, mengajarkan kita bahwa tidak ada yang benar-benar murni turun dari Allah, karena bahasa dan budaya Allah adalah bahasa dan kebudayaan alam semesta yang tak terhingga. Betapa sayangnya Allah kepada kita, karena Dia memberikan Puteranya untuk kita sebagai manusia, agar pesan cinta kasihNya sampai kepada kita. Yesus yang berbahasa manusia, yang berbahasa sehari-hari Aram, mengajarkan para muridnya dan menjanjikan Roh Kudus turun pada murid-muridnya. Murid-muridnya kemudian mampu berbahasa beraneka ragam.
Agama sebagai pedoman moral yang tertinggi dilahirkan lewat berbagai budaya, namun bukan perbedaan yang menjadi tujuannya, melainkan kesamaan pesan bahagia. Dengan bahasa dan cara yang beragam, kabar gembira dapat diterima dengan cepat pada berbagai budaya. Bukankah kita yang sekarang juga harus demikian? Kita tidak harus memaksakan kehendak, bahwa kita paling benar. Kita tidak harus marah, karena ada yang menghina diri kita. Sebagai pengikut Kristus, kita harus belajar untuk menyampaikan ajaran-ajarannya dengan berbagai cara yang bersahabat, cara yang menghargai, supaya kabar gembira Injil Tuhan kita Yesus Kristus dapat dipahami oleh semakin banyak orang. Amin.


Mitchel Vinco
Guru Sejarah SMA Santo Paulus –
Ditulis untuk majalah siswa/i VARIA 2015

Tidak ada komentar: