Penggunaan istilah “lokal” pada umumnya berkaitan
dengan istilah “nasional” dan “global”. Lokal menunjukkan wilayah yang paling
kecil dan sempit bagi interaksi sosial masyarakat, sedangkan nasional dibatasi
oleh kedaulatan politik, dan global menandakan wilayah keseluruhan dunia. Hal
ini berakibat pada konsekuensi logis yaitu jika ada sejarah lokal, maka ada
sejarah nasional dan sejarah global (internasional).
Sejarah lokal menurut Kuntowijoyo (2003) adalah
peristiwa sejarah yang terjadi di lingkup lokal, yang berisi tentang
permasalahan sosial, ekonomi, kebudayaan, dan politik di kawasan perdesaan.
Menurut Abdullah (1985), sejarah lokal merujuk pada satu komunitas atau unit
adminstrasi tertentu seperti perdesaan atau perkotaan maupun suatu ikatan
sosio-kultural dalam sebuah masyarakat. Dengan demikian sejarah lokal merupakan
sejarah yang berpengaruh pada suatu kawasan tertentu saja, sebuah kota atau
sebuah desa (kampung) . Hal ini membawa pada konsekuensi logis kembali yaitu
sejarah nasional adalah sejarah yang berpengaruh pada sebuah negara, dan
sejarah internasional adalah sejarah yang berpengaruh pada lebih dari satu
negara.
Beberapa contoh sejarah lokal di Kalimantan Barat
adalah sejarah kelompok etnis Dayak, Melayu, dan Tionghoa. Selain itu bisa juga
sejarah kesultanan Pontianak, Sambas, Kubu, Sintang, dan lain-lain. Bisa juga
sejarah pembentukan kabupaten atau kota. Sejarah lokal tidak memiliki peristiwa
sejarah yang secara signifikan berpengaruh langsung terhadap sejarah nasional.
Pemikiran tentang pembagian jenis sejarah
berdasarkan wilayah yang bersifat administratif mendapat kritikan dari Margana
(2010), “jika prinsip sejarah sebagai sesuatu yang unik diterapkan, maka dapat
dikatakan bahwa semua sejarah sebenarnya adalah sejarah lokal.” Pendapat
Margana sangat menarik mengingat bahwa salah satu sifat sejarah adalah unik,
dalam artian peristiwanya hanya sekali terjadi pada suatu waktu, suatu lokasi,
yang tidak mungkin dapat diulang kembali. Setiap peristiwa sejarah, baik itu
sejarah nasional ataupun internasional selalu terjadi di tingkatan lokal
berdasarkan lokasi dan keterlibatan masyarakat. Jika peristiwa tersebut
berpengaruh pada kepentingan nasional, maka dapat menjadi sejarah nasional.
Jika peristiwa tersebut berpengaruh pada kepentingan internasional, maka dapat
menjadi sejarah internasional. Namun, sedari awal setiap peristiwa sejarah
adalah peristiwa lokal dan atau sejarah lokal. Seringkali penggolongan sejarah
lokal ke dalam sejarah nasional atau sejarah internasional adalah keputusan
politis untuk menghasilkan sejarah resmi (official
history).
Sejarah lokal karena ruang lingkup peristiwanya yang
tidak meluas membuat kurang mendapat tempat dalam kajian akademik para
sejarawan, khususnya di Indonesia. Perkembangan sejarah nasional Indonesia
secara sadar atau tidak sadar meminggirkan sejarah lokal. Menurut Abdullah
(1985), “sejarah lokal… seakan-akan tak mendapat tempat dalam panggung sejarah
nasional.” Menurut Margana (2010), “sejarah nasional… mengerdilkan arti sejarah
lokal.” Keadaan tersebut bukanlah sebuah kesalahan yang disengaja dan menjadi
keterpurukan bagi historiografi di Indonesia. Tenggelamnya sejarah lokal adalah
pengaruh yang harus dipilih ketika negara Indonesia masih berumur muda, untuk
mempertahankan integrasi nasional di tengah berbagai ancaman perpecahan di
dalam negeri, dan ancaman dari luar negeri.
Menurut Kartodirdjo (1992), “skala kehidupan nasional tidak memungkinkan
pengungkapan fakta-fakta mikro pada sejarah lokal, kecuali apabila mempunyai
dampak nasional atau representatif bagi perkembangan sejarah nasional.”
Sejarah lokal menyimpan potensi baik untuk
dikembangkan mengingat tema-tema kajian sejarah lokal adalah peristiwa-peristiwa
kecil yang langsung mengena dan melibatkan masyarakat setempat. Kuntowijoyo
(2003) mengatakan demikian, “sejarah lokal di Indonesia harus terus
dikembangkan agar menjadi sebuah historiografi yang dapat melengkapi keberadaan
historiografi nasional.” Abdullah (1985) bahkan menekankan “sejarah lokal harus
mempunyai otonomi dalam sejarah nasional.”
Sejarah sejak zaman klasik sudah dipahami bukan
sebagai ilmu untuk masa lalu, melainkan ilmu pengetahuan untuk masa depan.
Fungsi pendidikan sejarah adalah memupuk akar kesadaran di masa lalu, supaya
kuat untuk menopang pohon kehidupan yang terus menjulang tinggi ke masa depan.
Sejarah lokal merupakan akar-akar yang tampak kecil di antara akar-akar utama,
tetapi juga berfungsi mendukung pohon yang sama, bahkan membawakan nutrisi pada
bagian pohon yang terdekat. Anggaplah pohon itu adalah negara Indonesia,
akar-akar utamanya adalah kesadaran kolektif nasional (sejarah nasional),
akar-akar serabut yang kecil adalah berbagai kisah sejarah lokal di 34
provinsi, pada ribuan dialek bahasa dan sub etnis. Akar-akar tersebut harus
terus tumbuh, karena jika mereka mati, maka akar-akar utama akan mengalami
gangguan dan pohon akan sulit berkembang.
B. Hubungan Sintang – Belanda (berdasarkan
buku “Kerajaan Sintang” oleh Sjamsuddin, 2013)
1.
Interaksi Kalimantan – Belanda
Pengaruh bangsa Eropa terhadap Kalimantan sudah ada
sejak tahun 1520-an ketika pedagang-pedagang Portugis dan Spanyol datang dan
menanamkan pengaruh mereka di daerah tersebut. Orang Spanyol berhubungan dengan
Brunei di pantai utara Kalimantan, sedangkan Portugis di Banjarmasin dan
Sukadana. Pada tahun 1600 seorang Belanda, Oliver van Noord, tiba di Brunei.
Kedatangannya berarti munculnya persaingan baru bagi Spanyol dan Portugis di
Kalimantan. Periode pengaruh Belanda di Kalimantan dibagi menjadi dua periode,
yaitu: 1600-1818; dan 1818-1900.
a.
Periode pertama (1600-1818)
VOC menemukan bahwa di pantai barat Kalimantan terdapat
tiga kerajaan yaitu Sukadana, Sambas, dan Landak. Sukadana merupakan “vasal” di
bawah supremasi Surabaya. Kerajaan itu memiliki wilayah yang luas dan ibu
kotanya adalah kota dagang yang besar. Komoditas yang paling laku adalah intan,
yang diperoleh dari kerajaan Landak. Sambas berada di bawah kekuasaan kerajaan
Johor. Pada masa tersebut, pengaruh kerajaan Sambas belum terlalu menonjol.
Pada tahun 1622 hubungan dagang VOC dengan Sukadana
terputus, karena kerajaan tersebut diserang oleh kerajaan Mataram (Jawa).
Sebelumnya pada tahun 1610, hubungan VOC dengan Sambas juga berakhir karena
adanya kerusuhan di antara mereka. Meskipun demikian, tanah Kalimantan tetap
dianggap potensial karena kekayaan alamnya berupa kamfer (kapus barus), lilim,
dan batu bezoar.
Dengan hilangnya pengaruh Belanda di pantai Barat
Kalimantan, Inggris mengisi kekosongan tersebut, terutama di Sukadana. Pada
tahun 1699, VOC berusaha menegakkan pengaruhnya kembali di Kalimantan bagian
Barat. Ekspedisi gabungan Belanda-Banten-Landak berhasil menghancurkan
Sukadana. Nanti Sultan Sukadana yang kalah akan kembali menegakkan kekuasaannya
di Sukadana dengan bantuan orang-orang Bugis pimpinan Ompu Daeng Manambon, yang
akan mendirikan Kerajaan Mempawah.
Belanda untuk kesekian kalinya meninggalkan bagian
Barat Kalimantan. Kali ini sebabnya adalah pembubaran VOC pada tahun 1799.
Nanti Belanda akan kembali lagi, sekaligus menandai periode kedua hubungan
Belanda-Kalimantan.
b.
Periode kedua (1818-1900)
Belanda memiliki kepentingan yang lebih luas pada
periode kedua ini. Mereka mempunyai kepentingan kolonial yaitu menghadapi bajak
laut dari utara dan melawan Tiongkok sebagai musuh Belanda. Di Pontianak,
seperti yang dilaporkan Kapten Elout, Belanda mendengar nama-nama kerajaan yang
semakin banyak yaitu Sanggau, Sukadana, Simpang, Belitang, Sintang, dan Silat.
Daerah-daerah tersebut menghasilkan emas, intan, rotan, lilin, beras, dan
berbagai hasil hutan lainnya.
Kebijakan politik pemerintah Hindia Belanda pada
periode ini dapat dijelaskan dengan beberapa poin yang dimuat dalam memorie H.W. Muntinghe, seperti yang
dikutip Ozinga dalam Sjamsuddin:
1)
memancangkan bendera Belanda di
negeri-negeri dari raja-raja, yang telah atau lebih lanjut akan meminta
perlindungan Gubernemen Hindia-Belanda;
2)
melawan dan memusnahkan bajak-bajak
laut;
3)
memajukan perdagangan;
4)
mengembalikan ketenangan dan ketertiban
di mana-mana;
5)
perlindungan yang lemah terhadap
perampasan dan pembunuhan oleh pihak yang kuat;
6)
meletakkan kepada penduduk yang
bersahabat hanya semacam beban, yang sama sekali tidak dapat disebut menindas,
dan itu, menurut kesadaran mereka [penduduk] sendiri, untuk keamanan, [dan] Belanda
akan memberikan perlindungan kepada orang-orang dan harta benda [mereka].
Tindakan-tindakan yang dilakukan Belanda pada
periode kedua ini pada dasarnya berkaitan dengan enam poin yang telah
disebutkan tadi. Bendera Belanda telah berkibar di Sambas, Mempawah, Pontianak,
Landak, Tayan, Mandor, dan Monterado. Dalam usaha memberantas bajak laut dari
Mangindanao, Ilano, dan Dayak Laut (Seribas/Iban), Belanda mempersenjatai
angkatan laut Kesultanan Pontianak. Demikian pula poin-poin lain dilakukan
Belanda dengan mempergunakan kekuasaan kerajaan Melayu, menekan melalui
perjanjian, bahkan mengklaim bahwa mereka membawa misi peradaban untuk membela
orang-orang Dayak sebagai pihak yang lemah. Tindakan-tindakan lebih lanjut oleh
Belanda terhadap Kalimantan dapat dibaca di buku Sjamsuddin (2013).
2.
Sintang Penting Bagi Belanda
Pada tahun 1858, Dewan Hindia-Belanda membagi tiga
tipe hubungan antara pemerintah Hindia Belanda dengan raja-raja di Nusantara.
Pertama, hubungan bersahabat antara dua pihak yang mempunyai kedudukan yang
sama. Kedua, hubungan persekutuan, yang mana raja-raja lokal mengakui kekuasaan
tertinggi Belanda, tetapi raja-raja tersebut dibiarkan memerintah sendiri.
Ketiga, raja-raja lokal meminjam kekuasaan dari Belanda dan terikat pada raja
Belanda.
Kerajaan Sintang mengalami dua tipe terakhir,
terutama dalam kurun waktu 1822-1942. Dari perjanjian-perjanjian yang tidak
setara dengan Sintang, Belanda memperlakukan raja-raja Sintang sebagai raja
pribumi yang mengakui kekuasaan tertinggi Belanda, meskipun terkadang bisa
memerintah kerajaannya sendiri, tetapi dalam kenyataannya campur tangan Belanda
sangat besar. Inilah yang kemudian hari membuat beberapa petinggi kerajaan
merasa tidak puas dan melakukan perlawanan terhadap Belanda.
Perjanjian-perjanjian yang semakin mengikat Sintang kepada Belanda dapat
dilihat dalam buku Sjamsuddin (2013).
Pemerintah kolonial Belanda melihat posisi strategis
Sintang dari tiga hal, yaitu: a) dalam rangka persaingan dengan Inggris di
Kalimantan; b) titik pusat antara kerajaan-kerajaan di Kapuas Hulu, Kapuas
Tengah, dan Kapuas Hilir; c) kedekatan wilayah dengan Kalimantan Selatan dan
Tengah. Pendudukan militer dan administrasi Belanda di Sintang menjadi
keharusan mengingat ketiga hal tersebut.
3.
Dualisme Pemerintahan: Kerajaan
Tradisional vs. Administrasi Kolonial
Dualisme pemerintahan antara kerajaan tradisional
dan pemerintahan kolonial Hindia Belanda menunjukkan kerumitan struktur politik
dan pemerintah, sekaligus cairnya struktur-struktur tersebut. Jurnal Letnan
Kolonel A.J. Andersen, komandan militer meangkap pejabat residen Kalimantan
bagian Barat, memperjelas kompleksitas tersebut. Dalam perjalanannya dia
melewati kerajaan-kerajaan di Sungai Kapuas, berturut-turut adalah Tayan,
Meliau, Sanggau, Sintang, Silat, Suhaid, dan Bunut.
Dalam perjalanannya tersebut dia mendapat kabar
tentang adanya konflik, bahkan menjurus ke usaha peperangan antara Kerajaan
Sintang dengan Selimbau. Selimbau bahkan telah meminta bantuan dari orang-orang
Dayak Batang Lupar (Iban) yang terkenal dengan keganasannya. Berdasarkan
pembagian kekuasaan politik dan administrasi yang dibuat Belanda, Selimbau
adalah bawahan Sintang, selain Sanggau, Sekadau, Silat, Suhaid, Selimbau,
Piasa, Jongkong, dan Bunut. Melalui penelusuran Andersen, yang berlayar di
sepanjang Sungai Kapuas, dia mendapati adanya ketidakpuasan kerajaan-kerajaan
di bawah Sintang terhadap Kerajaan Sintang yang dinilai semena-mena menerapkan
monopoli perdagangan. Beberapa kerajaan tersebut bahkan mendesak campur tangan
Belanda dengan segera, untuk mengontrol Sintang. Hal itulah yang kemudian dilakukan
Belanda dengan menempatkan seorang pejabat Belanda di Sintang beserta
sekelompok pasukan.
Penempatan
pejabat Belanda yang mengatur Sintang membuat gusar petinggi-petinggi Kerajaan
Sintang yang sedang berkuasa seperti Pangeran Adipati Surya Negara dan Pangeran
Ratu Idris. Posisi mereka memang sebelumnya berada di bawah Belanda, tetapi dengan
penempatan pejabat Belanda secara langsung membuat mereka merasa rustasi dan
deprivasi relatif atas keadaan yang mereka hadapi. Inilah yang kemudian akan
menimbulkan perlawanan terhadap Belanda.
C. Penerapan Pembelajaran
Konstruktivisme
Peserta didik berdasarkan pendekatan konstruktivisme
Bruner bukanlah manusia-manusia pasif yang hanya menunggu dan menangkap
informasi dari para guru mereka. Penggunaan konsep kebudayaan, kurikulum
spiral, dan discovery learning dalam
pendekatan konstruktivisme Bruner justru mengedepankan pribadi-pribadi yang
bebas, kreatif, dan bertanggung-jawab. Pribadi yang bebas didasarkan pada
pengakuan bahwa peserta didik sudah memiliki konstruksi pengetahuan yang khas,
yang dipegaruhi oleh kebudayaan setempat dan akan selalu berkembang. Pribadi
yang kreatif muncul akibat usaha untuk mencari hubungan-hubungan kausalitas
dengan memanfaatkan berbagai sumber belajar, materi, konsep, teori, dan metode.
Sedangkan pribadi yang bertanggung-jawab berkembang akibat cara kerja yang
kompleks, yang menuntut kedisiplinan dan motivasi yang tinggi.
Bagi peserta didik yang berada di daerah Kabupaten
Sintang, Provinsi Kalimantan Barat, pendekatan konstruktivisme Bruner membuka
peluang untuk mengenal diri mereka masing-masing, lingkungan di sekitar mereka,
dan alasan keberadaan masyarakat dan negara dengan berbagai keunikan dan kekhasan
masing-masing sampai saat ini. Peserta didik dapat mengenal daerahnya melalui
sejarah lokal. Peserta didik dapat menelusuri sejarah lokal secara “discovery learning” dengan menggunakan
berbagai sumber, tetapi harus sesuai kaidah keilmuan ilmiah.
Sejarah lokal sendiri tentu saja memberikan pengaruh
yang berbeda bagi peserta didik dibandingkan sejarah nasional atau sejarah
dunia. Struktur-struktur kebudayaan, sosial, ekonomi, politik, psikis yang
terdapat di dalam sejarah lokal merupakan kondisi nyata terdekat bagi peserta
didik. Sejarah lokal adalah peristiwa masa lalu yang berpengaruh langsung,
setidaknya secara geografis, terhadap peserta didik. Hal ini sesuai dengan
semangat konstruktivisme Bruner yaitu konsep kebudayaan. Peserta didik harus
diakui memiliki pandangan khas yang didasarkan dari lingkungan kebudayaan yang
membesarkannya, dan kebudayaan tersebut masih akan terus berkembang.
Sumber sejarah Sintang yang ditulis oleh Profesor
Helius Sjamsuddin yaitu buku Kerajaan Sintang (2013) merupakan salah satu
alternatif sumber yang jika ditelusuri, maka di dalamnya mengandung semangat
konstruktivisme. Ada beberapa hal yang menurut penulis memperkuat padangan
tersebut. Pertama, buku Kerajaan Sintang menjadi “sang pemula” atau inovator
dalam penulisan sejarah lokal tentang daerah Sintang. Penulisan tentang Sintang
belum pernah terjadi secara profesional dan berkualitas sebelum buku itu
terbit. Profesor Sjamsuddin dengan kemampuan Heuristiknya mengumpulkan
sumber-sumber dari negeri Belanda yang memperkaya pandangan pembaca tentang
Kerajaan Sintang.
Kedua, buku Kerajaan Sintang ditulis dengan
pendekatan ilmu sosial yang sekali lagi menurut penulis makalah ini, mengandung
unsur konstruktivisme Bruner. Penggunaan ilmu-ilmu sosial dan psikologi oleh
Sjamsuddin menandakan usahanya untuk menjelaskan secara gamblang alasan-alasan
suatu peristiwa bisa terjadi. Dia tidak hanya menggunakan pendekatan Leopold
von Ranke yang melukiskan sejarah sebagaimana peristiwa itu terjadi di masa
lalu, tetapi memberikan analisis yang subyektif di satu sisi secara pemilihan
teori, tetapi di sisi lain jujur dan obyektif dalam pemaparannya. Inilah
menurut istilah Bruner disebut kurikulum spiral, sebuah usaha untuk mencari
hubungan-hubungan pada sebuah permasalahan.
Ketiga, Sjamsuddin dalam Kerajaan Sintang (2013)
memberikan perspektif baru dalam memandang sejarah lokal di Indonesia. Buku
tersebut berbeda dengan buku teks pelajaran pada umumnya yang sangat
Indonesiasentris. Historiogafi yang dia tulis memberikan kesempatan peserta didik
yang membaca untuk berpikir, berargumen, berefleksi tentang hubungan Belanda,
Sintang, dan Indonesia. Pada akhirnya Belanda bukanlah sosok yang selalu jahat
dan hitam. Demikian pula Kerajaan Sintang bukanlah protagonis yang selalu putih
dan bersih. Peserta didik akhirnya dikondisikan untuk meletakkan semua pada
porsinya masing-masing dan memandang Indonesia lebih bijaksana.
D. Penutup
Pendekatan konstruktivisme Bruner, sejarah lokal,
dan buku Kerajaan Sintang (2013) saling menyatu-padu membawa peserta didik di
daerah Sintang untuk memahami diri mereka, lingkungan mereka, keberadaan
masyarakat mereka di dalam negera dan bangsa Indonesia. Masa depan masih
terbuka lebar untuk menjadi apapun bentuknya, tetapi pendekatan konstruktivisme
dalam dunia pendidikan akan mendorong munculnya peluang yang lebih beragam.
Bukankah semakin banyak perbuatan maka peluang untuk yang terbaik juga lebih
mungkin muncul.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Taufik. (1996). Sejarah Lokal di Indonesia. Gadjah Mada University Press:
Yogyakarta.
Bruner, Jerome S. (1999). The Process of Education. Harvard University Press: Massachusetts.
Kartodirdjo, Sartono. (1992). Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah. Gramedia Pustaka
Utama: Jakarta.
Kuntowijoyo. (2003). Metodologi Sejarah. IKAPI: Yogyakarta.
Margana, Sri. (2010). Sejarah Indonesia: Perspektif Lokal dan Global. Ombak: Yogyakarta.
Sjamsuddin, Helius. (2005). Pembelajaran Sejarah
Refleksi dan Prospek. Historia Vitae,
vol 19 no 2, 303.
________________. (2013). Kerajaan Sintang 1822-1942. Ombak: Yogyakarta.
Smith, M.K. (2002). Jerome Bruner and the Process of
Education. The Encyclopedia of Informal
Education. [Online] Diakses dari http://www.infed.org/thinkers
/bruner.htm, pada 10 Desember 2015
Takaya, Keiichi. (2008). Jerome Bruner’s Theory of
Education: From Early Bruner to Later Bruner. Interchange. Vol.39/1, 1-19.
Widja, I Gde. (1989). Sejarah Lokal Suatu Perspektif Dalam Pengajaran Sejarah. Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan: Jakarta.
Oleh:
M.S. Mitchel Vinco (1604736)
2 komentar:
WSLOT99 merupakan Situs Slot Online Terpercaya dan Resmi di Indonesia yang menyediakan berbagai permainan game Judi Online Terbaik.
Promo yang berlaku di WSLOT99 :
✅ BONUS NEW MEMBER 50%
✅ BONUS DEPOSIT HARIAN 5%
✅ BONUS ROLLINGAN 0.5%
✅ BONUS CASHBACK 5%
✅ BONUS REFFERAL UP TO 1%
Terima Deposit Via E-Wallet dan Pulsa Telkomsel XL !#!!!!!!!!!!!!!!!
agen slot online terpercaya
slot deposit dana
slot gacor
slot deposit pulsa
situs slot online
Posting Komentar