Rabu, 25 Oktober 2017

HUBUNGAN KERAJAAN SINTANG DENGAN BELANDA (PEMBELAJARAN SEJARAH LOKAL DIPANDANG MELALUI TEORI KONSTRUKTIVISME JEROME BRUNER)

      A.    Sejarah Lokal
Penggunaan istilah “lokal” pada umumnya berkaitan dengan istilah “nasional” dan “global”. Lokal menunjukkan wilayah yang paling kecil dan sempit bagi interaksi sosial masyarakat, sedangkan nasional dibatasi oleh kedaulatan politik, dan global menandakan wilayah keseluruhan dunia. Hal ini berakibat pada konsekuensi logis yaitu jika ada sejarah lokal, maka ada sejarah nasional dan sejarah global (internasional).
Sejarah lokal menurut Kuntowijoyo (2003) adalah peristiwa sejarah yang terjadi di lingkup lokal, yang berisi tentang permasalahan sosial, ekonomi, kebudayaan, dan politik di kawasan perdesaan. Menurut Abdullah (1985), sejarah lokal merujuk pada satu komunitas atau unit adminstrasi tertentu seperti perdesaan atau perkotaan maupun suatu ikatan sosio-kultural dalam sebuah masyarakat. Dengan demikian sejarah lokal merupakan sejarah yang berpengaruh pada suatu kawasan tertentu saja, sebuah kota atau sebuah desa (kampung) . Hal ini membawa pada konsekuensi logis kembali yaitu sejarah nasional adalah sejarah yang berpengaruh pada sebuah negara, dan sejarah internasional adalah sejarah yang berpengaruh pada lebih dari satu negara.

Beberapa contoh sejarah lokal di Kalimantan Barat adalah sejarah kelompok etnis Dayak, Melayu, dan Tionghoa. Selain itu bisa juga sejarah kesultanan Pontianak, Sambas, Kubu, Sintang, dan lain-lain. Bisa juga sejarah pembentukan kabupaten atau kota. Sejarah lokal tidak memiliki peristiwa sejarah yang secara signifikan berpengaruh langsung terhadap sejarah nasional.
Pemikiran tentang pembagian jenis sejarah berdasarkan wilayah yang bersifat administratif mendapat kritikan dari Margana (2010), “jika prinsip sejarah sebagai sesuatu yang unik diterapkan, maka dapat dikatakan bahwa semua sejarah sebenarnya adalah sejarah lokal.” Pendapat Margana sangat menarik mengingat bahwa salah satu sifat sejarah adalah unik, dalam artian peristiwanya hanya sekali terjadi pada suatu waktu, suatu lokasi, yang tidak mungkin dapat diulang kembali. Setiap peristiwa sejarah, baik itu sejarah nasional ataupun internasional selalu terjadi di tingkatan lokal berdasarkan lokasi dan keterlibatan masyarakat. Jika peristiwa tersebut berpengaruh pada kepentingan nasional, maka dapat menjadi sejarah nasional. Jika peristiwa tersebut berpengaruh pada kepentingan internasional, maka dapat menjadi sejarah internasional. Namun, sedari awal setiap peristiwa sejarah adalah peristiwa lokal dan atau sejarah lokal. Seringkali penggolongan sejarah lokal ke dalam sejarah nasional atau sejarah internasional adalah keputusan politis untuk menghasilkan sejarah resmi (official history).
Sejarah lokal karena ruang lingkup peristiwanya yang tidak meluas membuat kurang mendapat tempat dalam kajian akademik para sejarawan, khususnya di Indonesia. Perkembangan sejarah nasional Indonesia secara sadar atau tidak sadar meminggirkan sejarah lokal. Menurut Abdullah (1985), “sejarah lokal… seakan-akan tak mendapat tempat dalam panggung sejarah nasional.” Menurut Margana (2010), “sejarah nasional… mengerdilkan arti sejarah lokal.” Keadaan tersebut bukanlah sebuah kesalahan yang disengaja dan menjadi keterpurukan bagi historiografi di Indonesia. Tenggelamnya sejarah lokal adalah pengaruh yang harus dipilih ketika negara Indonesia masih berumur muda, untuk mempertahankan integrasi nasional di tengah berbagai ancaman perpecahan di dalam negeri, dan ancaman dari luar negeri. Menurut Kartodirdjo (1992), “skala kehidupan nasional tidak memungkinkan pengungkapan fakta-fakta mikro pada sejarah lokal, kecuali apabila mempunyai dampak nasional atau representatif bagi perkembangan sejarah nasional.”
Sejarah lokal menyimpan potensi baik untuk dikembangkan mengingat tema-tema kajian sejarah lokal adalah peristiwa-peristiwa kecil yang langsung mengena dan melibatkan masyarakat setempat. Kuntowijoyo (2003) mengatakan demikian, “sejarah lokal di Indonesia harus terus dikembangkan agar menjadi sebuah historiografi yang dapat melengkapi keberadaan historiografi nasional.” Abdullah (1985) bahkan menekankan “sejarah lokal harus mempunyai otonomi dalam sejarah nasional.”
Sejarah sejak zaman klasik sudah dipahami bukan sebagai ilmu untuk masa lalu, melainkan ilmu pengetahuan untuk masa depan. Fungsi pendidikan sejarah adalah memupuk akar kesadaran di masa lalu, supaya kuat untuk menopang pohon kehidupan yang terus menjulang tinggi ke masa depan. Sejarah lokal merupakan akar-akar yang tampak kecil di antara akar-akar utama, tetapi juga berfungsi mendukung pohon yang sama, bahkan membawakan nutrisi pada bagian pohon yang terdekat. Anggaplah pohon itu adalah negara Indonesia, akar-akar utamanya adalah kesadaran kolektif nasional (sejarah nasional), akar-akar serabut yang kecil adalah berbagai kisah sejarah lokal di 34 provinsi, pada ribuan dialek bahasa dan sub etnis. Akar-akar tersebut harus terus tumbuh, karena jika mereka mati, maka akar-akar utama akan mengalami gangguan dan pohon akan sulit berkembang.

B.     Hubungan Sintang – Belanda (berdasarkan buku “Kerajaan Sintang” oleh Sjamsuddin, 2013)
1.      Interaksi Kalimantan – Belanda
Pengaruh bangsa Eropa terhadap Kalimantan sudah ada sejak tahun 1520-an ketika pedagang-pedagang Portugis dan Spanyol datang dan menanamkan pengaruh mereka di daerah tersebut. Orang Spanyol berhubungan dengan Brunei di pantai utara Kalimantan, sedangkan Portugis di Banjarmasin dan Sukadana. Pada tahun 1600 seorang Belanda, Oliver van Noord, tiba di Brunei. Kedatangannya berarti munculnya persaingan baru bagi Spanyol dan Portugis di Kalimantan. Periode pengaruh Belanda di Kalimantan dibagi menjadi dua periode, yaitu: 1600-1818; dan 1818-1900.
a.       Periode pertama (1600-1818)
VOC menemukan bahwa di pantai barat Kalimantan terdapat tiga kerajaan yaitu Sukadana, Sambas, dan Landak. Sukadana merupakan “vasal” di bawah supremasi Surabaya. Kerajaan itu memiliki wilayah yang luas dan ibu kotanya adalah kota dagang yang besar. Komoditas yang paling laku adalah intan, yang diperoleh dari kerajaan Landak. Sambas berada di bawah kekuasaan kerajaan Johor. Pada masa tersebut, pengaruh kerajaan Sambas belum terlalu menonjol.
Pada tahun 1622 hubungan dagang VOC dengan Sukadana terputus, karena kerajaan tersebut diserang oleh kerajaan Mataram (Jawa). Sebelumnya pada tahun 1610, hubungan VOC dengan Sambas juga berakhir karena adanya kerusuhan di antara mereka. Meskipun demikian, tanah Kalimantan tetap dianggap potensial karena kekayaan alamnya berupa kamfer (kapus barus), lilim, dan batu bezoar.
Dengan hilangnya pengaruh Belanda di pantai Barat Kalimantan, Inggris mengisi kekosongan tersebut, terutama di Sukadana. Pada tahun 1699, VOC berusaha menegakkan pengaruhnya kembali di Kalimantan bagian Barat. Ekspedisi gabungan Belanda-Banten-Landak berhasil menghancurkan Sukadana. Nanti Sultan Sukadana yang kalah akan kembali menegakkan kekuasaannya di Sukadana dengan bantuan orang-orang Bugis pimpinan Ompu Daeng Manambon, yang akan mendirikan Kerajaan Mempawah.
Belanda untuk kesekian kalinya meninggalkan bagian Barat Kalimantan. Kali ini sebabnya adalah pembubaran VOC pada tahun 1799. Nanti Belanda akan kembali lagi, sekaligus menandai periode kedua hubungan Belanda-Kalimantan.
b.      Periode kedua (1818-1900)
Belanda memiliki kepentingan yang lebih luas pada periode kedua ini. Mereka mempunyai kepentingan kolonial yaitu menghadapi bajak laut dari utara dan melawan Tiongkok sebagai musuh Belanda. Di Pontianak, seperti yang dilaporkan Kapten Elout, Belanda mendengar nama-nama kerajaan yang semakin banyak yaitu Sanggau, Sukadana, Simpang, Belitang, Sintang, dan Silat. Daerah-daerah tersebut menghasilkan emas, intan, rotan, lilin, beras, dan berbagai hasil hutan lainnya.
Kebijakan politik pemerintah Hindia Belanda pada periode ini dapat dijelaskan dengan beberapa poin yang dimuat dalam memorie H.W. Muntinghe, seperti yang dikutip Ozinga dalam Sjamsuddin:
1)      memancangkan bendera Belanda di negeri-negeri dari raja-raja, yang telah atau lebih lanjut akan meminta perlindungan Gubernemen Hindia-Belanda;
2)      melawan dan memusnahkan bajak-bajak laut;
3)      memajukan perdagangan;
4)      mengembalikan ketenangan dan ketertiban di mana-mana;
5)      perlindungan yang lemah terhadap perampasan dan pembunuhan oleh pihak yang kuat;
6)      meletakkan kepada penduduk yang bersahabat hanya semacam beban, yang sama sekali tidak dapat disebut menindas, dan itu, menurut kesadaran mereka [penduduk] sendiri, untuk keamanan, [dan] Belanda akan memberikan perlindungan kepada orang-orang dan harta benda [mereka].

Tindakan-tindakan yang dilakukan Belanda pada periode kedua ini pada dasarnya berkaitan dengan enam poin yang telah disebutkan tadi. Bendera Belanda telah berkibar di Sambas, Mempawah, Pontianak, Landak, Tayan, Mandor, dan Monterado. Dalam usaha memberantas bajak laut dari Mangindanao, Ilano, dan Dayak Laut (Seribas/Iban), Belanda mempersenjatai angkatan laut Kesultanan Pontianak. Demikian pula poin-poin lain dilakukan Belanda dengan mempergunakan kekuasaan kerajaan Melayu, menekan melalui perjanjian, bahkan mengklaim bahwa mereka membawa misi peradaban untuk membela orang-orang Dayak sebagai pihak yang lemah. Tindakan-tindakan lebih lanjut oleh Belanda terhadap Kalimantan dapat dibaca di buku Sjamsuddin (2013).
2.      Sintang Penting Bagi Belanda
Pada tahun 1858, Dewan Hindia-Belanda membagi tiga tipe hubungan antara pemerintah Hindia Belanda dengan raja-raja di Nusantara. Pertama, hubungan bersahabat antara dua pihak yang mempunyai kedudukan yang sama. Kedua, hubungan persekutuan, yang mana raja-raja lokal mengakui kekuasaan tertinggi Belanda, tetapi raja-raja tersebut dibiarkan memerintah sendiri. Ketiga, raja-raja lokal meminjam kekuasaan dari Belanda dan terikat pada raja Belanda.
Kerajaan Sintang mengalami dua tipe terakhir, terutama dalam kurun waktu 1822-1942. Dari perjanjian-perjanjian yang tidak setara dengan Sintang, Belanda memperlakukan raja-raja Sintang sebagai raja pribumi yang mengakui kekuasaan tertinggi Belanda, meskipun terkadang bisa memerintah kerajaannya sendiri, tetapi dalam kenyataannya campur tangan Belanda sangat besar. Inilah yang kemudian hari membuat beberapa petinggi kerajaan merasa tidak puas dan melakukan perlawanan terhadap Belanda. Perjanjian-perjanjian yang semakin mengikat Sintang kepada Belanda dapat dilihat dalam buku Sjamsuddin (2013).
Pemerintah kolonial Belanda melihat posisi strategis Sintang dari tiga hal, yaitu: a) dalam rangka persaingan dengan Inggris di Kalimantan; b) titik pusat antara kerajaan-kerajaan di Kapuas Hulu, Kapuas Tengah, dan Kapuas Hilir; c) kedekatan wilayah dengan Kalimantan Selatan dan Tengah. Pendudukan militer dan administrasi Belanda di Sintang menjadi keharusan mengingat ketiga hal tersebut.
3.      Dualisme Pemerintahan: Kerajaan Tradisional vs. Administrasi Kolonial
Dualisme pemerintahan antara kerajaan tradisional dan pemerintahan kolonial Hindia Belanda menunjukkan kerumitan struktur politik dan pemerintah, sekaligus cairnya struktur-struktur tersebut. Jurnal Letnan Kolonel A.J. Andersen, komandan militer meangkap pejabat residen Kalimantan bagian Barat, memperjelas kompleksitas tersebut. Dalam perjalanannya dia melewati kerajaan-kerajaan di Sungai Kapuas, berturut-turut adalah Tayan, Meliau, Sanggau, Sintang, Silat, Suhaid, dan Bunut.
Dalam perjalanannya tersebut dia mendapat kabar tentang adanya konflik, bahkan menjurus ke usaha peperangan antara Kerajaan Sintang dengan Selimbau. Selimbau bahkan telah meminta bantuan dari orang-orang Dayak Batang Lupar (Iban) yang terkenal dengan keganasannya. Berdasarkan pembagian kekuasaan politik dan administrasi yang dibuat Belanda, Selimbau adalah bawahan Sintang, selain Sanggau, Sekadau, Silat, Suhaid, Selimbau, Piasa, Jongkong, dan Bunut. Melalui penelusuran Andersen, yang berlayar di sepanjang Sungai Kapuas, dia mendapati adanya ketidakpuasan kerajaan-kerajaan di bawah Sintang terhadap Kerajaan Sintang yang dinilai semena-mena menerapkan monopoli perdagangan. Beberapa kerajaan tersebut bahkan mendesak campur tangan Belanda dengan segera, untuk mengontrol Sintang. Hal itulah yang kemudian dilakukan Belanda dengan menempatkan seorang pejabat Belanda di Sintang beserta sekelompok pasukan.
 Penempatan pejabat Belanda yang mengatur Sintang membuat gusar petinggi-petinggi Kerajaan Sintang yang sedang berkuasa seperti Pangeran Adipati Surya Negara dan Pangeran Ratu Idris. Posisi mereka memang sebelumnya berada di bawah Belanda, tetapi dengan penempatan pejabat Belanda secara langsung membuat mereka merasa rustasi dan deprivasi relatif atas keadaan yang mereka hadapi. Inilah yang kemudian akan menimbulkan perlawanan terhadap Belanda.
C.    Penerapan Pembelajaran Konstruktivisme
Peserta didik berdasarkan pendekatan konstruktivisme Bruner bukanlah manusia-manusia pasif yang hanya menunggu dan menangkap informasi dari para guru mereka. Penggunaan konsep kebudayaan, kurikulum spiral, dan discovery learning dalam pendekatan konstruktivisme Bruner justru mengedepankan pribadi-pribadi yang bebas, kreatif, dan bertanggung-jawab. Pribadi yang bebas didasarkan pada pengakuan bahwa peserta didik sudah memiliki konstruksi pengetahuan yang khas, yang dipegaruhi oleh kebudayaan setempat dan akan selalu berkembang. Pribadi yang kreatif muncul akibat usaha untuk mencari hubungan-hubungan kausalitas dengan memanfaatkan berbagai sumber belajar, materi, konsep, teori, dan metode. Sedangkan pribadi yang bertanggung-jawab berkembang akibat cara kerja yang kompleks, yang menuntut kedisiplinan dan motivasi yang tinggi.
Bagi peserta didik yang berada di daerah Kabupaten Sintang, Provinsi Kalimantan Barat, pendekatan konstruktivisme Bruner membuka peluang untuk mengenal diri mereka masing-masing, lingkungan di sekitar mereka, dan alasan keberadaan masyarakat dan negara dengan berbagai keunikan dan kekhasan masing-masing sampai saat ini. Peserta didik dapat mengenal daerahnya melalui sejarah lokal. Peserta didik dapat menelusuri sejarah lokal secara “discovery learning” dengan menggunakan berbagai sumber, tetapi harus sesuai kaidah keilmuan ilmiah.
Sejarah lokal sendiri tentu saja memberikan pengaruh yang berbeda bagi peserta didik dibandingkan sejarah nasional atau sejarah dunia. Struktur-struktur kebudayaan, sosial, ekonomi, politik, psikis yang terdapat di dalam sejarah lokal merupakan kondisi nyata terdekat bagi peserta didik. Sejarah lokal adalah peristiwa masa lalu yang berpengaruh langsung, setidaknya secara geografis, terhadap peserta didik. Hal ini sesuai dengan semangat konstruktivisme Bruner yaitu konsep kebudayaan. Peserta didik harus diakui memiliki pandangan khas yang didasarkan dari lingkungan kebudayaan yang membesarkannya, dan kebudayaan tersebut masih akan terus berkembang.
Sumber sejarah Sintang yang ditulis oleh Profesor Helius Sjamsuddin yaitu buku Kerajaan Sintang (2013) merupakan salah satu alternatif sumber yang jika ditelusuri, maka di dalamnya mengandung semangat konstruktivisme. Ada beberapa hal yang menurut penulis memperkuat padangan tersebut. Pertama, buku Kerajaan Sintang menjadi “sang pemula” atau inovator dalam penulisan sejarah lokal tentang daerah Sintang. Penulisan tentang Sintang belum pernah terjadi secara profesional dan berkualitas sebelum buku itu terbit. Profesor Sjamsuddin dengan kemampuan Heuristiknya mengumpulkan sumber-sumber dari negeri Belanda yang memperkaya pandangan pembaca tentang Kerajaan Sintang.
Kedua, buku Kerajaan Sintang ditulis dengan pendekatan ilmu sosial yang sekali lagi menurut penulis makalah ini, mengandung unsur konstruktivisme Bruner. Penggunaan ilmu-ilmu sosial dan psikologi oleh Sjamsuddin menandakan usahanya untuk menjelaskan secara gamblang alasan-alasan suatu peristiwa bisa terjadi. Dia tidak hanya menggunakan pendekatan Leopold von Ranke yang melukiskan sejarah sebagaimana peristiwa itu terjadi di masa lalu, tetapi memberikan analisis yang subyektif di satu sisi secara pemilihan teori, tetapi di sisi lain jujur dan obyektif dalam pemaparannya. Inilah menurut istilah Bruner disebut kurikulum spiral, sebuah usaha untuk mencari hubungan-hubungan pada sebuah permasalahan.
Ketiga, Sjamsuddin dalam Kerajaan Sintang (2013) memberikan perspektif baru dalam memandang sejarah lokal di Indonesia. Buku tersebut berbeda dengan buku teks pelajaran pada umumnya yang sangat Indonesiasentris. Historiogafi yang dia tulis memberikan kesempatan peserta didik yang membaca untuk berpikir, berargumen, berefleksi tentang hubungan Belanda, Sintang, dan Indonesia. Pada akhirnya Belanda bukanlah sosok yang selalu jahat dan hitam. Demikian pula Kerajaan Sintang bukanlah protagonis yang selalu putih dan bersih. Peserta didik akhirnya dikondisikan untuk meletakkan semua pada porsinya masing-masing dan memandang Indonesia lebih bijaksana.

D.     Penutup
Pendekatan konstruktivisme Bruner, sejarah lokal, dan buku Kerajaan Sintang (2013) saling menyatu-padu membawa peserta didik di daerah Sintang untuk memahami diri mereka, lingkungan mereka, keberadaan masyarakat mereka di dalam negera dan bangsa Indonesia. Masa depan masih terbuka lebar untuk menjadi apapun bentuknya, tetapi pendekatan konstruktivisme dalam dunia pendidikan akan mendorong munculnya peluang yang lebih beragam. Bukankah semakin banyak perbuatan maka peluang untuk yang terbaik juga lebih mungkin muncul.



DAFTAR  PUSTAKA

Abdullah, Taufik. (1996). Sejarah Lokal di Indonesia. Gadjah Mada University Press: Yogyakarta.

Bruner, Jerome S. (1999). The Process of Education. Harvard University Press: Massachusetts.

Kartodirdjo, Sartono. (1992). Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta.

Kuntowijoyo. (2003). Metodologi Sejarah. IKAPI: Yogyakarta.

Margana, Sri. (2010). Sejarah Indonesia: Perspektif Lokal dan Global. Ombak: Yogyakarta.

Sjamsuddin, Helius. (2005). Pembelajaran Sejarah Refleksi dan Prospek. Historia Vitae, vol 19 no 2, 303.

________________. (2013). Kerajaan Sintang 1822-1942. Ombak: Yogyakarta.

Smith, M.K. (2002). Jerome Bruner and the Process of Education. The Encyclopedia of Informal Education. [Online] Diakses dari http://www.infed.org/thinkers /bruner.htm, pada 10 Desember 2015

Takaya, Keiichi. (2008). Jerome Bruner’s Theory of Education: From Early Bruner to Later Bruner. Interchange. Vol.39/1, 1-19.

Widja, I Gde. (1989). Sejarah Lokal Suatu Perspektif Dalam Pengajaran Sejarah. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan: Jakarta.

 

Oleh: M.S. Mitchel Vinco (1604736)

2 komentar:

WSLOT99 mengatakan...

WSLOT99 merupakan Situs Slot Online Terpercaya dan Resmi di Indonesia yang menyediakan berbagai permainan game Judi Online Terbaik.
Promo yang berlaku di WSLOT99 :
✅ BONUS NEW MEMBER 50%
✅ BONUS DEPOSIT HARIAN 5%
✅ BONUS ROLLINGAN 0.5%
✅ BONUS CASHBACK 5%
✅ BONUS REFFERAL UP TO 1%
Terima Deposit Via E-Wallet dan Pulsa Telkomsel XL !#!!!!!!!!!!!!!!!
agen slot online terpercaya
slot deposit dana
slot gacor
slot deposit pulsa
situs slot online

SLOT165 mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.