(Sumber: google.com) |
A. Pendahuluan
Sjamsuddin (2005) mengutip ATEEC (Advanced Technology Environmental Education
Committee) mengatakan bahwa para peserta didik akan belajar dengan baik dan
menguasai apa yang mereka telah pelajari ketika: (1) mereka tertarik dengan
mata pelajaran yang diajarkan, dan (2) pembelajaran mengandung konsep-konsep
yang dapat diterapkan pada kehidupan sehari-hari. Pengalaman penulis secara
empiris membenarkan apa yang dikatakan Sjamsuddin, bahwa peserta didik belajar
dengan antusias ketika mereka mengalami ketertarikan pada penampilan pendidik
yang menarik (ganteng, cantik, lucu, ramah), materi, media, dan metode
pembelajaran yang menarik. Selain itu, peserta didik juga mengalami
kebermaknaan dengan wacana-wacana, isu-isu, atau konsep-konsep yang dekat
dengan diri mereka seperti kebudayaan populer, permasalahan remaja, sejarah
lokal, dan permasalahan lingkungan di sekitar mereka.
Pendidikan sejarah juga dihadapkan dengan
permasalahan yang sama yaitu terkait dengan ketertarikan dan kebermaknaan
pembelajaran sejarah bagi diri mereka, baik secara individual dan sosial. Dalam
artikel ini penulis tidak membahas persoalan ketertarikan yang identik dengan
kemasan atau bagian luar. Namun, artikel ini ingin membahas salah satu narasi
yang terkait kebermaknaan materi pembelajaran sejarah yaitu sejarah lokal.
Provinsi Kalimantan Barat sampai saat ini hanya
memiliki satu orang pahlawan nasional yaitu Abdul Kadir Gelar Raden Temenggung
Setia Pahlawan (1771-1875) melalui Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia
Nomor 114 tahun 1999. Abdul Kadir adalah seorang birokrat kelahiran Sintang
yang memimpin daerah Melawi dengan gelar Raden Temenggung. Dia dengan demikian
berdasarkan identitas politik berada pada kelompok melayu dan Islam. Tentu saja
penggolongan seseorang berdasarkan identitas politik tidak baik terjadi di
Indonesia, tetapi secara empiris masyarakat Indonesia masih terbagi-bagi
berdasarkan identitas politik yaitu berdasarkan suku (kelompok etnis), agama,
ras, dan antar golongan politik (SARA). Permasalahan identitas politik yang
berkaitan dengan SARA masih harus dipertimbangkan selama proses pertumbuhan
kedewasaan berpolitik dan berdemokrasi di Indonesia.
Tiga kelompok etnis mayoritas di Kalimantan Barat
yaitu Dayak, Melayu, dan Tionghoa dalam pergumulan mereka sepanjang sejarah
Indonesia hanya menghasilkan satu pahlawan nasional. Tokoh sejarah paling
terkenal di Kalimantan Barat yaitu Sultan Hamid II, seorang melayu dan Islam, dalam
sejarah nasional Indonesia memperoleh predikat sebagai “pengkhianat”. Tokoh
sejarah paling terkenal bagi kelompok etnis Dayak yaitu Oevaang Oeray, seorang
Katolik, sepanjang masa Orde Baru diidentikkan dengan kedekatannya pada
Soekarno dan Komunisme. Sementara itu kelompok etnis Tionghoa masih
mencari-cari peran bersejarah mereka dalam sejarah Kalimantan Barat.
Sejarah memiliki sifat unik yang artinya
peristiwa-peristiwa sejarah terjadi dalam waktu dan ruang yang khas, peristiwa
sejarah itu sekali terjadi dan tidak mungkin dapat terulang. Seharusnya
pernyataan tersebut membuat pembaca memahami bahwa perbedaan dalam sejarah
adalah keniscayaan, dan sangat sulit sekali membuat generalisasi dalam sejarah.
Sejarah juga berpijak pada fakta-fakta sejarah yang seperti kita ketahui
bersama tidak semuanya bertahan sampai masa sekarang ini. Hal itu menyebabkan
secara apa adanya narasi sejarah juga unik dan perbedaan menjadi keniscayaan
pula.
Artikel ini akan melihat perkembangan dan perubahan
masyarakat-masyarakat pedalaman di Kalimantan Barat yang karena posisi
geografis, struktur sosial, dan kepentingan politik kolonialis akan
menghasilkan narasi yang unik. “Masyarakat-masyarakat” yang ditulis dua kali
bertujuan supaya pembaca memahami bahwa disebabkan oleh keadaan geografis, maka
masyarakat-masyarakat di pedalaman Kalimantan Barat dapat sangat berbeda dan
tidak berhubungan satu dengan lainnya. Dalam artikel ini penulis akan memberikan
interpretasi terhadap pandangan hidup masyarakat pada zaman tersebut (abad
ke-19) dan dikaitkan dengan pandangan hidup sekarang ini (2017). Seperti yang
dikatakan oleh Bruner, seorang tokoh pendidikan konstruktivisme,
“(pembelajaran) … is the context in which
individual members make sense of and appraise incidents and phenomena”.
B. Gelapnya Hutan Tropis Kalimantan
Penjelajahan samudera yang dilakukan pelaut-pelaut
Eropa merupakan sebuah perjudian. Bangsa Eropa melakukan penjelajahan samudera
dengan biaya yang sangat besar dengan harapan terhadap keberuntungan yang
sepanjang jauh dan lama perjalanan mereka semakin menipis. Perkembangan ilmu
pengetahuan, teknologi, mitos, dan perhitungan ekonomi mengharuskan para pelaut
memperoleh keuntungan yang sangat besar dari penjelajahannya, karena jika
tidak, maka terancam bangkrut.
Afrika mendapat gelar benua hitam bukan saja karena
penduduknya berkulit relatif gelap dibandingkan ras Eropa (Kaukasoid,
Indo-German), tetapi juga karena hamparan padang pasir di sepanjang pantai
Afrika yang membuat para penjelajah merasa tidak tertarik untuk memasuki daerah
tersebut. Seperti itu jugalah yang terjadi dengan Pulau Kalimantan, seperti
yang ditulis P.J. Veth, seorang ilmuwan terkemuka abak ke-19 berdasarkan
pengalaman seorang musafir:
“Pulau Borneo …
yang dari kejauhan tampak berwarna hijau yang indah … tetapi begitu anda
mendekatinya melihat dan menjumpai gugusan-gugusan pohon akasia, palma, pandan,
dan pohon-pohon lain yang tidak dikenal, yang lebat, yang tidak bisa ditembus
oleh siapapun, baik penduduk asli (mungkin Melayu) maupun orang Eropa, kesan
itu hilang … saya belum pernah mengunjungi pantai-pantai yang semula saya
anggap memberi banyak harapan, tetapi begitu mengecewakan …” (Veth, 2012.a).
Pandangan seorang musafir tersebut yang besar
kemungkinannya juga menjadi pendapat umum di kalangan penjelajah Eropa dapat
dibuktikan dengan melihat titik-titik persinggahan orang-orang Eropa di
Kalimantan. Para pelaut Eropa hanya merasa tertarik dengan beberapa daerah di
pesisir pulau Kalimantan yang pada abad ke-16 dan ke-17 sudah terdapat
kekuasaan kerajaan atau kesultanan Melayu-Islam. Menurut Veth (2012.a) dan King
(2013) daerah-daerah pesisir tersebut adalah Kesultanan Brunei (menjadi asal
kata untuk Borneo [Sjamsuddin, 2013]) dan Kesultanan Sulu di Utara; Kesultanan
Kutai dan Kesultanan Berau di Timur; Kesultanan Banjarmasin di Selatan; serta
Kesultanan Sukadana dan Kesultanan Sambas di Barat. Kalimantan bagian pedalaman
sepertinya bukan menjadi tujuan yang menarik bagi para pedagang Eropa yang
menginginkan keuntungan besar dari perdagangan.
Komoditas ekonomi dari daerah pedalaman Kalimantan
sebenarnya menjanjikan keuntungan yang relatif besar. Barang-barang dari
pedalaman yang laris di pasaran adalah kamper, madu, lilin, kayu manis, jahe,
mirabolan, tebu, rotan, kayu, damar, getah, kapur, cula badak, gading gajah,
emas, intan, dan juga batu bara (batu bara sedikit di Kalimantan bagian Barat)
(Veth, 2012. a & b; King, 2013; Sjamsuddin, 2013). Pedagang Eropa pada
umumnya membeli barang-barang tersebut dari penguasa-penguasa Melayu yang
berada di pesisir pulau Kalimantan. Pada abad ke-19 dan 20 mulai para pedagang
Eropa masuk ke pedalaman melalui sungai-sungai untuk memperoleh barang-barang
tersebut, tetapi sebagian besar masih membeli dari penguasa-penguasa Melayu
yang berada di pedalaman, di pesisir sungai utama.
Informasi-informasi perdana tentang keadaan di
pedalaman Kalimantan memang diperoleh dari para ilmuwan etnologi dan botanikus
asal Eropa, yang menjelajahi pedalaman Kalimantan dengan tim-tim yang relatif
kecil. Hasil-hasil laporan tersebut justru semakin memperkuat dugaan penulis
bahwa pedalaman Kalimantan merupakan daerah yang sulit untuk dijelajahi karena
kondisi medan, tersebar dan kecilnya jumlah peradaban manusia, dan kurangnya
potensi perdagangan.
Patrick M Synge, seorang anggota ekspedisi
Universitas Oxford, dalam penjelajahannya sebagai pakar botani di pedalaman
Sarawak 1932 melaporkan demikian:
“Bukannya
bersiap dengan vaskulum dan pisau, kami bersiap dengan para kuli pengangkut
barang, keranjang besar, dan kapak … jika hutannya amat rimbun … mereka akan
selalu memotong dan membengkokkan ranting-ranting kecil … memang sangat mudah
tersesat meski berjalan hanya beberapa yard dari jalur utama” (King, 2013).
Padahal dalam perjalanan tersebut, Synge dipandu
oleh masyarakat pedalaman yaitu kelompok etnis Dayak dan Melayu, tetapi masih
saja lebatnya dan gelapnya hutan tropis di Kalimantan tidak mudah untuk
dipahami. Kondisi lingkungan di pedalaman Kalimantan tidak hanya menyajikan
tantangan berupa lebatnya hutan, tetapi juga sungai-sungai yang besar maupun
kecil yang arusnya deras. Seperti yang diceritakan Synge, “Kami pikir batang
pohon (besar) itu akan cukup kuat karena terletak beberapa kaki dari air
sungai. Namun, pohon tersebut hilang beberapa hari kemudian dan kamipun sadar
pohon ini telah tersapu oleh aliran sungai” (King, 2013).
Istilah “gelapnya” hutan tropis di pedalaman
Kalimantan merupakan istilah yang menandakan sulitnya daerah ini untuk dijelajahi
secara medan maupun motif ekonomi. Hal ini merupakan keunikan dalam
peristiwa-peristiwa sejarah di daerah pedalaman yang menyebabkan penulisan
sejarah tentang daerah ini relatif kurang dibandingkan daerah-daerah lain yang
lebih muda dijelajahi dan memiliki potensi ekonomi yang lebih besar. Sedikitnya
sisa-sisa (sumber-sumber) dari peristiwa masa lalu menjadi semakin sedikit
ketika masyarakat yang tertua dan terbesar jumlah di pedalaman belum menemukan
atau mengenal sistem tulisan.
C. Kelompok yang Dianggap Tertua
Penelitian sejarah, arkeologi, antropologi, dan
bahkan ilmu-ilmu yang relatif pasti seperti kimia dan fisika belum dapat
memastikan siapakah kelompok tertua di dunia ini sampai detik ini.
Perdebatan-perdebatan masih akan terus terjadi, tetapi justru perdebatan dan
permusuhan secara teori, yang berdasarkan pengalaman kita, justru mampu membawa
manusia ke arah kemajuan peradaban. Demikian pula di Pedalaman Kalimantan,
sangat sulit untuk memastikan apakah masyarakat-masyarakat pedalaman di
Kalimantan Barat berasal dari tanah kalimantan sendiri, ataukah berasal dari
daerah lain di luar.
Penulis dan pembaca harus bijaksana untuk mengatakan
bahwa apapun teori yang diajukan, kenyataan menunjukkan kelompok yang dianggap
tertua di Kalimantan sekarang ini sudah mengalami percampuran kebudayaan yang
sangat kompleks. Pendapat-pendapat tentang kelompok tertua berasal dari tanah
Kalimantan Barat sendiri berasal dari cerita rakyat (folklore), mitos-mitos,
dan kepercayaan setempat (Veth.a, 2012; Sjamsuddin, 2013). Penemuan fosil Homo
Erectus dan atau Homo Sapiens terjadi di Kalimantan bagian Utara, di daerah
kekuasaan Kesultanan Brunei dan Inggris (Veth, 2012.a; Poesponegoro &
Notosusanto, 1992). Penemuan fosil ini menandakan dua hal: pertama, kelompok
tertua di Kalimantan berasal dari Kalimantan sendiri dan atau Indonesia; kedua,
kelompok tertua itu berasal dari Afrika. Pendapat terakhir mengatakan kelompok
tertua di Kalimantan berasal dari Yunan, Tiongkok bagian Selatan, yaitu
kelompok proto melayu dan deutro melayu (Poesponegoro & Notosusanto, 1992).
Penulis menerima bahwa kelompok yang tertua di
Kalimantan sudah sulit sekali ditelusuri asal-muasalnya terutama sejak abad
ke-19. Veth (2012.a) mengemukakan sebagai berikut:
“… di
tengah-tengah bermacam hubungan dan persatupaduan dan percampuran, atau dari
permusuhan dan penolakan, dan di bawah keadaan alamiah dari udara dan tanah,
produk-produk tanah dan karena itu satu cara hidup, berangsur-angsur, membentuk
masyarakat itu, yang dianggap sebagai yang tertua dan asli, yang pada umumnya
dikenal dengan nama Dayak, …”
Kelompok
yang dikenal dengan nama Dayak atau kelompok etnis Dayak pada dasarnya bukanlah
identitas yang dibentuk oleh kelompok-kelompok tertua tersebut, melainkan label
yang diberikan para kolonialis dari Eropa untuk membedakan kelompok tersebut
dengan kelompok etnis Melayu dan Tionghoa (Vinco, 2015).
Kelompok etnis Dayak berdasarkan penelitian terkini memiliki 450
sub etnis (Riwut, 2003) dan 151 sub etnis terdapat di Kal-Bar (Bamba, 2008).
Pengklasifikasian tersebut dilakukan berdasarkan keberagaman bahasa dan dialek
yang juga menggambarkan keberagaman detail kebudayaan di dalam kelompok etnis
dayak. Hal ini menunjukkan pemahaman terhadap kelompok etnis
Dayak memang tidak bisa dilakukan secara sederhana. Veth sebagai sumber yang cukup
tua, masih saja menyatakan bahwa pembahasan identitas Dayak menjadi hal yang
tidak mudah dilakukan, “… sebagai yang tertua dan asli … tetapi memuat satu
perbedaan besar suku-suku yang masih sekarang ini … dalam rupa, bahasa, cara
hidup, konsepsi-konsepsi agama, dan tingkat kebudayaan” (Veth, 2012.a).
Kelompok etnis Dayak dengan berbagai keragaman
kebudayaan pada titik tertentu masih dapat digeneralisir, terutama dengan
membandingkan mereka dengan kebudayaan-kebudayaan Melayu, Tionghoa, dan
kolonalis Eropa. Beberapa kesamaan antara berbagai kelompok etnis Dayak adalah
sebagai berikut:
1. Hidup di bantaran anak sungai
Kelompok etnis Dayak yang dianggap sebagai yang
tertua diyakini pada awalnya hidup juga di pesisir-pesisir pantai dan di
pesisir-pesisir sungai utama. Dayak Iban dalam berbagai literatur dari para
kolonialis Eropa disebut sebagai Dayak Laut dan bajak laut (Veth, 2012.a; King,
2013). Namun, dengan kedatangan berbagai bangsa yang diduga sebagai bangsa
Melayu (Sumatera, Jawa, Sulawesi, Indo-China) yang membawa kebudayaan dengan
tingkat yang lebih kompleks seperti kebudayaan logam (perundagian), kebudayaan
perdagangan uang, dan kemampuan bersosialisasi yang multikultural, membuat
kelompok etnis Dayak menggeser pemukimannya menuju ke pedalaman, ke anak-anak
sungai (Veth, 2012.a; King, 2013; Sjamsuddin, 2013).
Hal ini bukan berarti kelompok etnis Dayak kalah
dalam berperang atau ditaklukkan secara militer, tetapi mereka terdesak dalam
pergaulan ekonomi, teknologi, dan politik. Pola pikir seperti itu dapat juga
digunakan ketika melihat kehidupan orang-orang miskin di perkotaan yang menggeser
diri ke tepian sungai, ke bawah kolong jembatan, atau ke rumah susun. Pola
demikian juga dapat digunakan untuk melihat pemukiman kelompok etnis Dayak saat
ini (2017) yang semakin mengecil, terpusat, dan tidak lagi menguasai hutan yang
luas. Semua itu bukan kekalahan di bidang militer, melainkan kekalahan secara
ekonomi, teknologi, dan politik.
2. Rumah Panjang
Kelompok etnis dayak dengan berbagai keragaman
bahasa, dialek, dan kebudayaan, hidup dalam kelompok-kelompok kecil yang
terisolasi dan relatif berjauhan dengan kelompok etnis Dayak yang lain. Satu
sub kelompok etnis Dayak bisa berjumlah 1.000 jiwa hingga 10.000 jiwa (Veth,
2012.a). Salah satu sub kelompok etnis Dayak yang memiliki anggota besar adalah
Dayak Iban atau Dayak Laut atau Dayak Batang Lupar (Veth, 2012.a; Sjamsuddin;
2013). Kelompok-kelompok yang terisolasi dan seringkali saling bermusuhan
diantara mereka membuat masing-masing kelompok mendirikan pertahanan
masing-masing.
Pertahanan utama kelompok-kelompok etnis Dayak
adalah sebuah rumah yang tinggi (rumah panggung) dan memanjang. Rumah tersebut
menurut Malcolm MacDonald, “… tidak seperti rumah dalam pemikiran kita, tetapi
lebih seperti perkampungan. Setiap penghuni komunitas tersebut tinggal dalam
satu atap bersama yang menyambung” (King, 2013). Rumah panjang pada umumnya
dihuni oleh 20-30 keluarga yang memiliki bilik (kamar) masing-masing sekitar
4x4 meter dan di luar bilik-bilik tersebut terdapat ruang besar (aula) sebagai
tempat bersosialisasi, bahkan seperti jalan perkampungan. Pada bagian luar yang
tidak beratap di sepanjang rumah itu berfungsi sebagai teras atau tempat
menjemur padi.
Rumah panjang memiliki tinggi sekitar 4-5 meter yang
berfungsi sebagai pertahanan bagi serangan musuh yang tiba-tiba, pada beberapa
rumah selain milik Dayak Iban memiliki tinggi yang lebih lagi (King, 2013).
Rumah ini memiliki sebuah tangga yang ditarik ke atas pada waktu malam,
sedangkan pada bagian bawah rumah kelompok etnis Dayak memelihara hewan ternak.
Setiap rumah dipimpin oleh kepala suku karena pada dasarnya satu rumah adalah
satu perkampungan.
Pada banyak laporan para kolonialis Eropa seringkali
kelompok etnis Dayak digambarkan sebagai manusia-manusia brutal, agresif, dan
garang. Namun, melihat konstruksi bangunan tempat tinggal mereka yaitu rumah
panjang, yang tampak sebenarnya adalah manusia-manusia yang pasif, pencari
kedamaian, yang menjalani kehidupannya untuk mempertahankan diri dari dan
kelompoknya. Bahkan dalam cerita rakyat Dayak Tamambaloh, rumah panjang mereka
pernah didirikan di tengah danau untuk menghindari dari pengayauan.
3. Perburuan kepala (mengayau)
Tradisi mengayau merupakan tradisi yang sangat sulit
dicari sebab-sebab awal terjadinya. Pada abab ke-19 di Kalimantan, khususnya di
Kalimantan bagian Barat tradisi ini sudah terjadi sejak waktu yang sangat
lampau (Veth, 2012.a; King, 2013). Satu sub kelompok etnis Dayak pada umumnya
memiliki beberapa musuh dari sub kelompok – sub kelompok yang berbeda, tetapi
tidak semua di antara berbagai macam sub kelompok itu bermusuhan.
Asal-muasalnya tidak begitu jelas, tetapi menurut berbagai catatan kolonial
Eropa pendorongnya adalah dendam nyawa akibat pembunuhan yang dilakukan pihak
lawan, yang terkadang sejarahnya sangat lampau dan bercampur dengan
mitos-mitos.
Kepala yang berharga adalah kepala dari pihak musuh,
sehingga kepala-kepala orang Melayu, Tionghoa, dan kolonial Eropa pada umumnya
tidak diminati kecuali dianggap musuh oleh salah satu dari sub kelompok etnis
Dayak (Veth, 2012.a). Kepala musuh yang dipenggal memiliki nilai spiritual yang
dianggap mampu melindungi pemiliknya, keluarga, dan komunitasnya, sehingga
kepala tersebut diperlakukan dengan sangat hormat. Kepala hasil mengayau juga
menaikkan status sosial pemiliknya, dan orang yang tidak memiliki satupun
kepala dianggap tidak mampu melindungi keluarganya, sehingga harus ditolak
dalam perkawinan.
Tradisi mengayau yang didasarkan pada permusuhan
antara sub-sub kelompok etnis Dayak, pada perjalanannya sering dimanfaatkan
oleh pihak-pihak penguasa Melayu dan kolonialis Eropa untuk memperoleh pasukan
yang digunakan untuk menyerang sub kelompok etnis Dayak lain yang juga didukung
oleh penguasa Melayu dan kolonialis Eropa yang berbeda (Veth, 2012.a; King,
2013; Sjamsuddin, 2013). Pengelompokkan-pengelompokkan yang terjadi antara
sub-sub kelompok etnis Dayak membuat peran kelompok etnis ini sangat minor
dalam konstelasi perekonomian dan perpolitikan di Kalimantan abad ke-19.
Kelompok-kelompok yang kecil secara perlahan berada di bawah pengaruh penguasa
Melayu dan atau kolonialis Eropa, sedangkan kelompok-kelompok yang bebas
(merdeka) letakkan relatif jauh di pedalaman di anak-anak sungai yang
terpencil.
4. Kebutuhan terhadap garam
Salah satu komoditi yang membuat kelompok etnis
Dayak bergantung pada kelompok di luar (Melayu, Tionghoa, dan kolonialis Eropa)
adalah garam, selain besi, kawat, tembaga, tembakau, dan kain katun (Veth,
2012.b). Garam sebagai produk yang sangat diperlukan oleh kelompok etnis Dayak,
bahkan legenda-legenda kelompok etnis Melayu menggambarkan orang-orang Dayak
yang tidak dapat berbicara di awal perjumpaan mereka, sampai orang Melayu
memberi mereka garam (Sjamsuddin, 2013). Berawal dari kebutuhan (atau
ketergantungan) orang-orang dari kelompok etnis Dayak terhadap garam, maka
muncullah perdagangan barter antara orang-orang Dayak dengan para pedagang
Melayu, yang mana nantinya akan berkembang menjadi struktur sosial “Dayak Serah”.
Dayak Serah menurut Sjamsuddin (2013) adalah kewajiban orang-orang Dayak dari
kelompok tertentu untuk membeli barang-barang hanya dari penguasa (kerajaan)
Melayu tertentu saja.
Dalam pandangan penulis sebelum-sebelumnya sudah
disampaikan pentingnya meletakkan pandangan hidup sesuai zamannya (zeitgeist)
dan juga disaat sekarang ini mempertimbangkan politik identitas suku, agama,
ras, dan antara golongan (SARA). Adanya status “Dayak Serah” dapat menimbulkan
persepsi negatif bahwa kerajaan-kerajaan Melayu “menjajah” orang-orang Dayak.
Namun, sebenarnya kondisi saat itulah (abad 18-19) yang memposisikan
orang-orang dari kelompok etnis Dayak untuk memerlukan barang-barang yang tidak
dapat mereka produksi sendiri seperti garam dan logam. Sementara itu penguasa-penguasa
Melayu dihadapkan pada kesempatan untuk memonopoli perdagangan, yang pada
dasarnya mendapat pengaruh tarik menarik yang kompleks dalam dunia perdagangan
dengan para kolonialis Eropa.
Hasil dari ketergantungan tersebut memang menjadikan
harga-harga barang naik 20 kali lipat dan seringkali orang-orang Dayak
dihadapkan dengan hutang yang tidak mampu dibayar bertahun-tahun (Veth, 2012.
b). Kondisi seperti demikian sebenarnya tidak asing dengan pengetahuan kita
dewasa ini. Ketergantungan sebuah negara terhadap komoditas tertentu membuat
negara itu tidak memiliki daya tawar dan menerima saja harga pasar. Tidak semua
kelompok etnis Dayak menjadi Dayak Serah, banyak pula sub-sub kelompok etnis
Dayak yang berstatus merdeka (Sjamsuddin, 2013). Salah satu contoh sub kelompok
etnis Dayak yang merdeka adalah Dayak Kayan, salah satu sebabnya karena mereka
mampu mendulang logam (Veth, 2012. a). Selain itu Dayak Punan yang
mempertahankan tradisi hidup secara nomaden dan subsistem juga dapat dikatakan
kelompok yang merdeka.
D. Kesultanan-kesultanan Pesisir dan
Kolonialis Eropa
Kelompok etnis Melayu dan kelompok kolonialis Eropa
di pedalaman bersama-sama dengan kelompok etnis Dayak membentuk struktur
masyarakat pedalaman di Kalimantan. Kerajaan-kerajaan (atau
kesultanan-kesultanan) Melayu di Kalimantan Barat yang terletak di pesisir
pantai atau muara sungai dan mengarah ke laut yaitu Sukadana, Sambas, Mempawah,
Kubu, Pontianak, Simpang, dan Matan. Kesultanan-kesultanan Melayu di pedalaman
juga terletak di pesisir sungai utama (Sungai Kapuas) atau di muara-muara
sungai yang mengarah ke Sungai Kapuas yaitu Landak, Tayan, Sanggau, Sekadau,
Sintang, Silat, Suhaid, Selimbau, Piasa, Jongkong, dan Bunut. Kerajaan-kerajaan
tersebut ada yang besar dan kuat, tapi ada juga yang kecil dan lemah (Veth,
2012 a dan b). Sedangkan untuk kelompok etnis Dayak sudah disebutkan
sebelumnya, memiliki pemukiman di bantaran anak-anak sungai, sehingga
penggolongan kelompok pesisir untuk kelompok etnis Melayu dan kelompok
pedalaman untuk kelompok etnis Dayak ada benarnya.
Kelompok etnis Melayu datang ke pedalaman Kalimantan
sebagai penjelajah dan pedagang yang membawa harapan untuk mengubah status
ekonomi, sosial, dan politik di negeri asal mereka. Menurut Ozinga dalam
Sjamsuddin (2013),
“Dalam pelayaran
mereka temukan tempat-tempat berlabuh yang baik, tanah yang subur, dan tidak
ada penduduk yang menentang pemukiman-pemukiman mereka … mereka memberikan
kekuasaan kepada raja mereka. Tetapi kemudian ketika merasa sudah cukup matang
… melepaskan diri dari ‘tanah ibu’”
Dalam Veth (2012) wilayah asal dari para penjelajah
tersebut adalah kerajaan Johor dan kerajaan Brunei. Para penjelajah tersebut
dalam kasus di Kalimantan Barat dapat pula diduga berasal dari Sukadana,
Sambas, atau Banjarmasin.
Pendapat Ozinga dibantah oleh Sjamsuddin (2013)
karena terlalu menyederhanakan kompleksitas keadaan di Kalimantan, khususnya di
Kalimantan Barat pada masa itu. Menurut dia, dalam legenda-legenda asal-muasal
berdirinya kerajaan di Kalimantan Barat, hampir seluruhnya mengandung cerita
adanya hubungan pernikahan antara penjelajah dari Melayu dengan orang-orang
setempat yaitu orang Dayak. Hal ini tentunya tidak dapat digeneralisir untuk
seluruh kerajaan-kerajaan Melayu di Kalimantan Barat, tetapi sangat kecil
kemungkinan kerajaan-kerajaan Melayu dapat mempertahankan kemurnian rasnya
selama ratusan 200-300 tahun, sehingga sangat besar kemungkinannya ada
percampuran genetik antara berbagai kelompok etnis di kerajaan tersebut.
Para kolonialis Eropa datang kemudian pada abad
ke-17 ke pesisir Kalimantan, dan pada abad ke-19 ke bagian pedalaman Kalimantan
Barat (Veth, 2012). Kedatangan mereka pada dasarnya adalah meneruskan kebijakan
yang telah berlaku di pusat pemerintahan kolonial, dalam hal ini di Batavia
(Belanda) atau Sarawak (Inggris). Kebijakan pemerintah kolonial tentu saja
untuk memperoleh keuntungan besar dalam perdagangan di berbagai daerah.
Kebijakan khasnya adalah dengan bekerja sama dan mempengaruhi kebijakan penguasa-penguasa
setempat (raja-raja setempat), dalam hal ini adalah kerajaan-kerajaan Melayu.
Hubungan para kolonialis dengan kelompok etnis Dayak
dalam catatan Veth (2012), King (2013), dan Sjamsuddin (2013) tidak bersifat
langsung, melainkan bersama-sama penguasa Melayu atau menggunakan penguasa
Melayu. Hubungan yang bersifat langsung memang pernah terjadi antara kolonialis
dengan kelompok etnis Dayak di pedalaman, tetapi itu karena James Brooke dan
Charles Broke berlaku sebagai raja di Sarawak yang juga membawahi semua
kelompok etnis, termasuk kelompok etnis Melayu.
E. Penutup
Peristiwa sejarah selalu memiliki nilai keunikan
yang mengakibatkan pendidikan sejarah juga memiliki keunikan. Sejarah
Kalimantan, khususnya Kalimantan Barat pada abad ke-19 memiliki perbedaan yang
relatif besar dengan daerah lain semisalnya Pulau Jawa. Terutama daerah-daerah
pedalaman di Kalimantan Barat memiliki perbedaan geografis dan sistem
kemasyarakatan dengan daerah-daerah lain di sekitar periode imperialisme dan
kolonialisme Bangsa Eropa di Nusantara.
Masyarakat di pedalaman Kalimantan Barat relatif
terisolasi dari dunia luar karena hutan tropis Kalimantan mendirikan
benteng-benteng alami yang sulit untuk dijelajah. Selain itu kelompok etnis
Dayak juga mendirikan benteng mereka yang berupa rumah panjang untuk melindungi
anggota komunitas mereka dari serangan musuh-musuh yang berasal dari sub-sub
kelompok etnis Dayak yang berbeda. Suasana di pedalaman Kalimantan saat itu diwarnai
dengan permusuhan antara sub-sub kelompok etnis Dayak yang tampak melalui
tradisi mengayau atau perburuan kepala.
Hubungan antara pedalaman dengan pesisir terjadi
ketika masyarakat pedalam memerlukan barang-barang dari luar seperti garam dan
logam, sementara itu komoditas di pedalaman juga cukup menjanjikan. Pada masa
itulah terjadi interaksi antara masyarakat Dayak di pedalaman dengan masyarakat
Melayu di pesisir dan juga para kolonialis dari Eropa. Hubungan tersebut sangat
kompleks, sehingga menimbulkan perubahan-perubahan yang terus berkelanjutan.
DAFTAR PUSTAKA
Bamba,
John (ed). (2008). Keberagaman Subsuku
dan Bahasa Dayak. Institut Dayakologi: Pontianak.
King,
Victor. (2013). Kalimantan Tempo Doeloe.
Komunitas Bambu: Depok.
Poesponegoro,
M.J. & Notosusanto, N. (1993). Sejarah
Nasional Indonesia I. Balai Pustaka: Jakarta.
Riwut,
Tjilik. (2003). Maneser Panatau Tatu
Huang: Menyelami Kekayaan Leluhur. Pusakalima: Palangkaraya.
Sjamsuddin,
Helius. (2005). Pembelajaran Sejarah Refleksi dan Prospek. Historia Vitae, vol 19 no 2, 303.
________________.
(2013). Kerajaan Sintang 1822-1942.
Ombak: Yogyakarta.
Veth,
P.J. (2012). Borneo Bagian Barat
Geografis Statistis Historis Jilid 1.
Institut Dayakologi: Pontianak.
________.
(2012). Borneo Bagian Barat Geografis
Statistis Historis Jilid 2.
Institut Dayakologi: Pontianak.
Vinco,
Mitchel. (2015).
Identitas Dayak di Kalimantan Barat.
[Internet]. Diakses di http://kamudaponti.blogspot.co.id/2015/01/identitas-dayak-di-kalimantan-barat.html
Oleh:
M.S. Mitchel Vinco (1604736)
Jurusan Pendidikan Sejarah, Sekolah
Pascasarjana UPI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar