(Sumber: google.com) |
A. Pendahuluan
“Mereka yang tidak belajar dari masa tiga ribu tahun
berarti tidak memanfaatkan akalnya” (Goethe, 1749-1832). Itulah nasehat sekaligus
sindirian satir dari sastrawan dan sejarawan Prusia tersebut kepada kaum
terdidik yang tidak mau belajar dari panjangnya durasi narasi sejarah.
Sementara itu pada zaman sesudah Goethe, seorang filsuf Prusia memperingatkan
“kembali” para intelektual (sejarawan) yang melahirkan begitu banyak karya
dengan “penulisan sejarah kita yang sedemikian maju, mengandung bahaya bahwa
masa silam … terletak di muka kita sebagai suatu benda yang mati” (Nietzsche,
1889-1900).
Goethe dan Nietzsche berada pada masa yang relatif
lampau untuk masyarakat saat ini tetapi masih memberikan peringatan yang
kontekstual, terutama pada pembahasan yang akan dilakukan penulis tentang
pendidikan sejarah, kebudayaan lokal, dan pendidikan kedamaian. Pendidikan
sejarah dewasa ini terlalu “nyaman” dengan sejarah politiknya, sedangkan
kebudayaan lokal terlalu sering diidentikkan dengan kesenian dan kegiatan
seremonialnya, sementara itu pendidikan perdamaian-kedamaian selama ribuan
tahun sering kali “senyap” dengan konflik kekerasan. Sebagian besar wacana
dalam penulisan ini bukanlah hal baru, tetapi berusaha mengingatkan pembaca
untuk terus berjuang menjadikan sejarah di sekitar kita bukan sebagai benda-benda
yang mati.
Perdamaian dan kedamaian merupakan kondisi yang
sangat layak diperjuangkan mengingat realitas Indonesia dan dunia sekarang ini
semakin ramai dengan potensi dan konflik kekerasan. Pada beberapa bulan
belakangan ini saja kasus kontroversial dugaan penistaan agama oleh Basuki
Tjahaya Purnama (Ahok) telah menyebabkan munculnya konflik kekerasan yang
relatif kecil di Indonesia dan masih berpotensi menjadi konflik kekerasan yang
lebih besar. Selain di Jakarta kasus kontroversial tersebut memunculkan potensi
dan konflik kekerasan pada beberapa daerah di Indonesia, seperti di Pontianak,
Kalimantan Barat (Kal-Bar), yang juga menjadi fokus pembahasan pada tulisan
ini.
Dunia sekarang ini juga sedang “panas” dengan
potensi dan konflik kekerasan yang terjadi di Timur Tengah dan Eropa Timur.
Revolusi Musim Semi di Afrika Utara dan Asia Barat terjadi ketika demokrasi sebagai tujuan akhir
diwarnai proses berdarah melalui perang saudara. Negara Islam di Iraq dan Suriah
(ISIS) muncul justru saat sistem demokrasi ingin dibangun di kedua negara
tersebut. Uni Eropa sebagai blueprint
kerjasama dalam satu kawasan justru diwarnai dengan keluarnya Inggris (Brexit)
sebagai salah satu negara kuat di dunia. Pada kawasan Eropa Timur, Rusia sedang
mendemonstrasikan kekuatan militernya dalam konflik latennya dengan NATO.
Potensi konflik kekerasan harus disadari sedang berkembang saat ini di dunia
dan di Indonesia akibat perebutan kekuasaan politik dan ekonomi yang dibalut
dengan ideologi.
Penulisan sejarah selama ribuan tahun telah
mengajarkan bahwa latar belakang perang-perang besar hampir seluruhnya karena
permasalahan ekonomi dan politik yang menggunakan ideologi agama dan kebudayaan
untuk menggerakan massa pendukung masing-masing pihak. Menurut Huntington dalam
Clash of Civilitation (1998), “ Every civilization sees itself as the center
of the world and writes its history as the central drama of human history”.
Setiap kebudayaan cenderung memposisikan tata nilai kelompoknya sebagai pusat
kebenaran yang kemudian digunakan untuk melakukan penilaian terhadap kebudayaan
lain.
Kebudayaan yang bersifat monokultural kemudian
melahirkan paham-paham seperti etnosentrisme, religiosentrisme,
nasionalsentrisme atau chauvinisme yang mengandung karakter fanatis dan egois. Kondisi
masyarakat dengan karakter fanatis dan egois sangat mudah untuk melemparkan
sebab dari permasalahan mereka pada kelompok lain yang berbeda kebudayaan.
Berdasarkan penelitian Vinco (2009) terhadap sejarah konflik Indonesia-Malaysia
1960-an, dan sejarah konflik kelompok etnis Dayak-Tionghoa 1967 di Kalimantan
Barat, ada dugaan yang kuat bahwa masyarakat dengan karakter fanatis yang kuat
terhadap kebudayaan di dalam kelompoknya, akan mudah digerakkan oleh elite
ekonomi dan politik untuk terlibat di dalam konflik kekerasan.
Tulisan ini akan mencoba membahas usaha-usaha untuk
menciptakan kedamaian pada masyarakat melalui pendekatan pendidikan sejarah dan
kebudayaan lokal. Tulisan ini menggunakan teori interaksi simbolis yang
termasuk dalam paradigma definisi sosial pada sosiologi sebagai alat bantu
analisis. Kasus-kasus pada tulisan ini akan banyak menggunakan peristiwa dan
kebudayaan dari Kalimantan Barat.
B. Konflik: Interaksi Simbolis
Masyarakat menurut teori interaksi simbolis
merupakan sekumpulan individu-individu yang saling menginterpretasikan
simbol-simbol yang bertebaran di lingkungan mereka dan bertindak berdasarkan
simbol-simbol tersebut (Raho, 2007; Poloma, 2010). Individu di dalam masyarakat
dengan demikian selalu dalam proses mengartikan fakta-fakta sosial dan sebenarnya
memiliki berbagai pilihan berdasarkan simbol-simbol yang dia terima. Menurut
Mead simbol-simbol yang berarti itu bisa berupa gerakan fisik (gesture), bahasa, isyarat, dan
benda-benda (Raho, 2007).
Dalam pandangan teori interaksi simbolis, masyarakat
dapat teratur bila simbol-simbol yang diartikan relatif sama, tetapi dapat
terjadi kekacauan bila simbol-simbol yang dimaknai berbeda (Raho, 2007).
Menurut penulis adanya keteraturan di dalam masyarakat tercipta ketika
masing-masing individu menghayati penafsiran-penafsiran simbol yang relatif
sama akibat dari kesamaan lingkungan kebudayaan yang membesarkan mereka.
Sebaliknya, konflik terjadi ketika simbol-simbol yang dikomunikasikan dan
disosialisasikan berbeda arti.
Dari mana simbol-simbol yang sama dan berbeda bisa
muncul? Blummer menjelaskan, makna-makna tersebut muncul dari interaksi dengan
orang lain, terutama dengan orang-orang yang dianggap cukup berarti (Raho,
2007; Poloma, 2010). Orang-orang yang cukup berarti tersebut adalah mereka yang
memiliki otoritas dalam perkembangan individu yaitu: keluarga, pendidikan, dan
masyarakat dalam suatu kebudayaan. Blummer berpendapat bahwa pemaknaan yang
individu lakukan akan melahirkan batasan sesuatu bagi orang lain (Poloma,
2010).
Dalam kehidupan sekarang ini perbedaan simbol-simbol
sangat tidak mungkin untuk dipersamakan karena keadaan dunia kita adalah
pluralistis, yang memiliki berbagai kebudayaan. Menurut Kartadinata (2015),
“Kebudayaan mengandung dimensi seluruh kehidupan yang kompleks, karena itu
mendefinisikan kebudayaan harus mencerminkan kompleksitas itu”. Kedamaian dapat
terjadi justru ketika masyarakat memunculkan simbol-simbol alternatif seperti
multikulturalisme untuk memahami simbol-simbol yang berbeda. Multikulturalisme merupakan
wacana yang mengajak pengikutnya untuk menghargai dan memahami perbedaan
kebudayaan. Salah satu media yang paling efektif untuk memupuk
multikulturalisme adalah pendidikan di sekolah.
C. Pendidikan Sejarah Kebudayaan
Kebudayaan adalah seluruh gagasan, nilai, tindakan,
dan hasil kerja manusia. Koentjaraningrat (1979) memberikan kerangka dan
membagi kebudayaan menjadi tujuh unsur yaitu: bahasa, mata pencaharian,
teknologi, sistem kemasyarakatan, ilmu pengetahuan, religi, dan kesenian.
Kebudayaan dengan demikian menjadi tidak mudah digeneralisir, dan tidak mudah
untuk dipahami karena kompleksitas unsur-unsur dalam sebuah kebudayaan, apalagi
dengan banyak kebudayaan. Multikulturalisme mengajak masyarakat untuk memahami
kompleksitas tersebut dengan mempelajari berbagai kebudayaan, terutama yang
berada di lingkungan sekitar. Pada lingkup pendidikan multikulturalisme dapat
diajarkan terintegrasi pada mata pelajaran yang sudah ada maupun dapat berdiri
sendiri. Namun, dalam tulisan ini penulis menawarkan pendidikan sejarah
kebudayaan sebagai pendekatan. Kenapa bukan antropologi sebagai ilmu yang
khusus mempelajari kebudayaan?
Pada prinsipnya bukanlah suatu permasalahan dalam
mempelajari multikulturalisme menggunakan pendekatan sejarah atau antropologi.
Hal itu disebabkan tujuan akhir dari pembelajaran adalah terbentuknya
masyarakat multikultural. Namun, ada perbedaan mendasar dari kedua ilmu
tersebut. Antropologi membahas kebudayaan pada masyarakat yang tunggal, yang
berarti meneliti satu kebudayaan secara mendalam dari keadaan di masa sekarang
hingga alasan kemunculan kebudayaan tersebut di masa lampau. Sedangkan sejarah
kebudayaan bersifat diakronik yaitu bertitik tolak dari masa lampau manusia
pada suatu kebudayaan menuju ke masa sekarang dengan kompleksitas kebudayaan. Sejarah
kebudayaan menekankan pada proses perubahan dan keberlanjutan dari manusia pada
sebuah wilayah sebagai pemegang suatu atau beberapa kebudayaan.
Pendidikan sejarah kebudayaan dengan demikian dapat
saja meminjam materi-materi pendidikan antropologi sebagai dasar pemikiran dan
kemudian membawa manusia berkebudayaan tersebut dalam perjalanan lintas waktu
dengan berbagai tantangan dan jawaban atau challenges
and response dalam istilah Toynbee (1889-1975). Pendidikan sejarah
kebudayaan dapat memberikan alternatif pemikiran bahwa kebudayaan itu berubah,
tidak tunggal, saling berinteraksi, dan masih memiliki pengaruh sampai
sekarang.
Pada kenyataannya sekarang, pendidikan sejarah
kebudayaan belum mendapat tempat dalam buku teks mata pelajaran sejarah
terutama pada pendidikan menengah (SMP-SMA). Pendidikan sejarah masih
mengedepankan sejarah politik yang membingkai masyarakat dalam pemikiran
sentralistis dan hierarkis (dari penguasa ke rakyat). Pendidikan sejarah masih
berkutat dengan perjuangan pembentukan bangsa untuk lepas dari “penjajahan”
bangsa lain secara politis, masih berjuang meyakinkan ideologi negara sebagai
yang paling baik dan bukanlah yang paling sesuai, masih menganggap bangsa dan
negara sebagai yang paling makmur, kaya, dan hebat dari dahulu sampai sekarang.
Hal itu sebenarnya tidak salah karena bertujuan memperkuat nasionalisme dan integrasi
nasional. Namun, pembelajaran sejarah seperti demikian lebih bersifat
“kekanak-kanakan” dibandingkan “dewasa”, karena dewasa ini pemikiran
multidimensional lebih “benar” dibandingkan pemikiran sentralistis. Masyarakat
Ekonomi Eropa, Masyarakat Ekonomi Asean, dan beberapa aliansi lintar bangsa
lainnya mengharuskan kita memiliki pemikiran multidimensional dan
multikultural.
D. Kearifan Lokal dan Perubahan
Kebudayaan
Kebudayaan pada awalnya muncul dari hasil interaksi
mental dan tindakan manusia terhadap lingkungan yang menyediakan berbagai
tantangan khas. Pada sebuah lingkungan alam yang khas secara georafis
terbentuklah manusia-manusia yang mampu hidup selaras dengan lingkungan
tersebut. Pada perkembangan selanjutnya tantangan tidak hanya muncul dari alam,
tetapi juga berasal dari hubungan antara manusia (sosial). Kemampuan manusia
untuk menjawab tantangan sosial juga disebut sebagai kebudayaan. Lingkungan
alam dan sosial yang ada di dunia ini sangatlah beragam, sehingga kebudayaan
juga beraneka-ragam.
Kebudayaan dalam pembahasan ilmu sejarah,
antropologi, sosiologi, dan psikologi pada umumnya diidentikkan dengan tradisi.
Tradisi adalah segala sesuatu yang turun dari nenek moyang, sekaligus
menandakan suatu sistem nilai yang telah sangat lama mengalami kemapanan. Pada
tulisan ini pengidentikan kebudayaan dengan tradisi sangat penting karena pada
dasarnya kebudayaan dapat bersifat baru (modern atau bahkan post modern) yang belum menjadi tradisi
pada banyak wilayah di Indonesia.
Kenapa kebudayaan sangat layak dikaji sekarang?
Karena kebudayaan mengandung nilai-nilai kearifan dan kebijaksanaan. Hal
tersebut sangat wajar mengingat kebudayaan adalah jawaban manusia terhadap
tantangan alam dan sosial. Keberadaan kebudayaan yang khas pada suatu wilayah
menandakan setidaknya “kemenangan” manusia terhadap lingkungan alamnya,
sedangkan “kemenangan” terhadap lingkungan sosialnya mengandung pra syarat
yaitu selama tidak atau belum adanya unsur kebudayaan baru atau asing yang
masuk.
Keberadaan kebudayaan yang mampu menjawab tantangan
alam pernah penulis dokumentasikan dalam film Gaung Sang Penakluk Asap (2011)
yang bekerja sama dengan Eagle Institute Indonesia dan Metro TV. Dalam film
tersebut masyarakat Dayak Kanayatn (Dayak Ahe) di Desa Kubu Padi, Kabupaten
Kubu Raya, Kalimantan Barat menerapkan sistem perladangan padi (bahuma) dengan cara pembakaran lahan (nunu) yang sudah menjadi tradisi selama
ratusan tahun tanpa menyebabkan bencana kabut asap yang sejak 1990-an menjadi headline di media massa sampai sekarang
ini. Tradisi bahuma dan nunu tersebut dilengkapi dengan
seperangkat hukum adat yang tegas, yang melindungi hutan, kebun, dan pemukiman
dari kobaran api pada lahan yang relatif sangat jarang mencapai satu hektar.
Informasi di media massa dan buku-buku pelajaran sekolah yang mengatakan
tradisi perladangan berpindah masyarakat lokal sebagai penyebab bencana kabut
asap sudah “menyakiti” kebudayaan berumur ratusan tahun tersebut.
Kebudayaan sebagai gagasan, tindakan, dan hasil
kerja manusia bukanlah sesuatu yang statis, melainkan selalu dalam proses
perubahan. Perubahan kebudayaan secara evolusi terjadi karena lingkungan alam
juga berubah secara lambat, yang mana perubahan ini relatif tidak memberi
pengaruh langsung bagi manusia (tokoh teori evolusi: Spencer 1820-1903; Tylor
1832-1917). Perubahan kebudayaan yang relatif cepat dan berpengaruh adalah yang
bersifat difusi akibat bencana alam dan terutama migrasi manusia yang membawa
kebudayaan berbeda. Perubahan kebudayaan lokal akibat berinteraksi dengan
kebudayaan yang berbeda dapat menghasilkan perubahan positif dan negatif dalam
sistem nilai kita sekarang, dan bahkan dapat menghilangkan kebudayaan lokal
tersebut yang cenderung menggunakan tradisi lisan. Dalam sudut pandang sejarah,
hilangnya ingatan tentang kebudayaan lokal sangatlah disayangkan karena
kebudayaan tersebut mengandung kearifan lokal yang dapat digunakan pada
masanya, sekarang, dan masa depan.
Perubahan positif hasil dari interaksi antara
kebudayaan lokal dengan kebudayaan yang berbeda dapat terjadi pada berbagai
aspek. Pengobatan modern yang ilmiah, sistem pendidikan yang sistematis,
teknologi-teknologi yang membantu memudahkan kehidupan manusia, dan juga
masuknya agama-agama universal yang memperkaya kearifan dan kebijaksanaan
lokal. Dalam bidang religi berhentinya tradisi mengayau (kayau) merupakan contoh perubahan positif yang “terbaik” mengingat
tradisi tersebut sudah tidak kontekstual dengan nilai-nilai universal sekarang
ini. Tradisi mengayau adalah tradisi perang religius antara sub kelompok etnis
Dayak di Kalimantan, dengan salah satu ciri khas yaitu membawa kepala musuh
sebagai simbol penghormatan, perdamaian, dan kekuatan mistis. Tradisi tersebut
dihentikan dengan Perjanjian Tumbang Anoi 1894 di Kalimantan Tengah yang
dihadiri hampir seluruh perwakilan sub suku Dayak di Kalimantan. Kelompok etnis
Dayak terdiri dari 450 sub etnis (Riwut, 2003), dan 151 sub etnis berada di
Kal-Bar (Bamba, 2008).
Perubahan kebudayaan yang negatif relatif banyak
ditemukan pada dewasa ini. Budaya populer yang masuk melalui media televisi dan
internet mengubah anak-anak muda di pedalaman Kal-Bar dengan “cinta” ala
sinetron dan “mimpi” ala perkotaan yang
menyebabkan relatif banyak pernikahan dini, budaya konsumtif, dan menurunnnya
etika dalam pergaulan.
Kebudayaan lokal terlupakan akibat kebudayaan yang
berbeda masuk dengan gencar di berbagai media komunikasi dan sosialisasi. Pada
masyarakat Dayak Tamambaloh di Kabupaten Kapuas Hulu, Kal-Bar, anak-anak muda
menggunakan istilah bapakku’
menggantikan ama’ku’ yang berarti
bapak saya, sedangkan indu’ku’ yang
berarti ibu saya digantikan dengan mama’ku’
yang sebenarnya berarti sirih (menyirih), yang mana memang kebudayaan menyirih
sudah sangat berkurang pada masyarakat tersebut sehingga istilah aslinya mulai
terlupakan.
Ingatan tentang kebudayaan lokal yang terlupakan
atau dilupakan akan segera tergantikan oleh ingatan yang lebih baru. Pada masa
sekarang ini anak-anak muda etnis Dayak lebih mengingat atau diingatkan tentang
peristiwa konflik kekerasan Dayak-Madura di Kal-Bar 1992, 1997-1998, dan di
Kal-Teng 1999-2000 dengan tradisi Mangkok
Merah-nya. Tradisi Mangkok Merah
(istilah dari Dayak Kanayatn/Ahe) adalah tradisi kemasyarakatan dan religi yang
berupa ajakan solidaritas lintas sub suku Dayak dalam perang. Mangkok Merah dengan berbagai
perlengkapannya diedarkan dari satu kampung ke kampung lain, yang mana bagi
kampung yang menerima mangkok tersebut harus mengirimkan perwakilannya untuk
perang. Sejarah kemenangan etnis Dayak pada konflik kekerasan tersebut menurut
anak-anak muda dari yang diperoleh penulis secara empiris memiliki sifat
“heroik, jago, hebat, dan sakti”. Nilai-nilai tersebut dapat meninggikan
etnosentrisme anak-anak muda etnis Dayak dalam berinteraksi dengan kebudayaan
yang berbeda. Pada kasus yang relatif banyak, ketika terjadi konflik antara
orang Dayak dengan orang yang berkebudayaan berbeda, nilai-nilai kontroversial
pada konflik Dayak-Madura di tahun 1990-an kembali dimunculkan.
Menurut penulis pengingatan berlebihan tentang
nilai-nilai pada konflik Dayak-Madura di tahun 1990-an sangat tidak tepat dan
berbahaya. Anak-anak muda kelompok etnis Dayak mulai berjalan menuju masa depan
dengan salah satu pondasi kebudayaan yang “miskin” dan tidak berkesinambungan
dengan akar kebudayaan di masa lampau. Jika masyarakat dan pemerintah
mempelajari kebudayaan lokal, maka praktik perang antara kelompok etnis Dayak
dengan kelompok berkebudayaan berbeda tidak seharusnya dapat terjadi. Hal ini
dikarenakan perang dalam tradisi etnis Dayak (atau penggunaan mangkok merah) tidak akan terjadi tanpa
adanya pelanggaran terhadap tradisi pamabakng
(istilah dari Dayak Kanayatn/Ahe). Pamabakng
adalah tradisi kemasyarakatan dan religi berupa ajakan musyawarah untuk
menyelesaikan konflik. pamabakng
ditandai dengan berbagai perlengkapan di dalam tempayan yang dijaga oleh 2-3
orang pada jalur di luar kampung di mana pihak lawan konflik akan datang. Pihak
yang datang menyerang ketika melihat pamabakng
harus berhenti dan bermusyawarah. Jika musyawarah gagal, maka akan dilakukan
tradisi pamabakng lagi hingga tiga
kali pada wilayah yang semakin dekat dengan kampung. Dengan demikian, perang
seharusnya tidak akan pernah terjadi apalagi pemerintah sebagai pengguna hak
kekerasan legal dapat masuk dalam proses tersebut sebagai mediator.
Selain tradisi kebudayaan untuk menyelesaikan
konflik, kelompok etnis Dayak masih banyak menyediakan tradisi-tradisi yang
dapat mencegah konflik. Darah bagi masyarakat kelompok etnis Dayak merupakan
hal yang suci, oleh karena itu tidak boleh “terbuang” dengan alasan tidak
jelas. Pada Dayak Tamambaloh, seorang anak yang mendorong temannya sehingga
jatuh dan terluka dalam permainan harus dikenakan hukuman adat. Dalam
kebudayaan Dayak Jangkang juga ditemukan tradisi nokut dan probasa, yang
mana nokut adalah hukuman adat ketika
tidak sengaja membuat orang lain mengeluarkan darah, sedangkan probasa adalah hukuman adat ketika tidak
sengaja melukai diri sendiri.
Keberadaan kebudayaan lokal yang beragam atau
multikultural, bukan hanya dari kelompok etnis Dayak saja tetapi juga Melayu,
Tionghoa, Jawa, Sunda, dan lainnya, menghasilkan kekayaan intelektual dalam
gagasan yang berempati terhada kedamaian dan berbagai alternatif untuk
menyelesaikan konflik kekerasan yang selama ini cenderung direspon lambat.
Bahkan Vinco (2009) menemukan bahwa sekelompok masyarakat dengan kecenderungan
pemikiran monokultural berhasil digerakkan dalam konflik Dayak-Tionghoa 1997
demi kepentingan kelompok politik tertentu. Konflik kekerasan antara anak-anak
muda kelompok etnis Dayak di Pontianak melawan Front Pembela Islam (FPI) pada
tahun 2011 mengindikasikan berbahayanya pemikiran monokultur dan
kecenderungannya untuk dimanfaatkan kelompok politik tertentu. Hal ini masih
perlu dikaji lebih lanjut mengingat pada saat tulisan ini dibuat, kasus
kontroversial dugaan pelecehan agama oleh Ahok di Jakarta juga berimbas pada
demonstrasi FPI di Pontianak. Peristiwa tersebut berujung pada tutupnya
kompleks pertokoan di Jalan Gajah Mada yang dihuni mayoritas kelompok etnis Tionghoa
dan beredarnya pesan berantai di media sosial agar anak-anak muda Dayak
bersiap-siap mendukung Ahok melawan FPI.
Penyebaran multikulturalisme harus lebih
diperhatikan dalam dunia pendidikan, terutama lewat pendidikan sejarah
kebudayaan. Hal ini disebabkan pendidikan kebudayaan selama ini yang masih
diidentikkan dengan kesenian saja dan pengadaan acara-acara seremonial tanpa
adanya pemahaman kritis terhadap kebudayaan tersebut. Kebudayaan bukanlah
sebatas identitas, nama, dan label, karena makna di dalam kebudayaan lebih
berarti dalam kehidupan. Seperti yang diungkapkan Shakespeare (1564-1616), “
Harum mawar tetaplah harum mawar, andaikan mawar bersalin dengan nama lain”.
E. Pendidikan Sejarah Kebudayaan:
Pendidikan Kedamaian
Berdasarkan penelitian Alqadrie (2011) Kalimantan
Barat terutama pada Kawasan Pedalaman Dekat (Kabupaten Pontianak, Kubu Raya,
Landak, Sambas, dan Bengkayang) telah mengalami konflik kekerasan bernuansa
etnis yang relatif besar setiap siklus 30 tahunan sejak 1900, yang mana dia
merumuskan hipotesis bahwa akan terjadi lagi pertikaian skala besar pada tahun
2020-an. Menurut penulis angka 30 tahunan bukanlah siklus evolusi biasa
melainkan menunjukkan pada periode lahirnya generasi baru yang telah melupakan
sejarah konflik kekerasan sebelumnya. Tidak berlebihan jika Kundera (1929-…)
mengatakan bahwa, “Perjuangan manusia melawan kekuasaan adalah perjuangan
ingatan melawan lupa”.
Pendidikan kedamaian merupakan usaha untuk meredakan
“kekuasaan” konflik kekerasan dan pendidikan sejarah adalah salah satu obat
melawan lupa. Namun, berdasarkan pengalaman empiris penulis, obat ini melupakan
salah satu bahan yaitu sejarah kebudayaan. Padahal menurut Wendel (Kartadinata
dkk, 2015) pendidikan kedamaian merupakan pewarisan nilai-nilai budaya damai
sehingga terjadi pembudayaan budaya damai dalam masyarakat.
Kebudayaan damai pada dasarnya sudah dimiliki oleh
berbagai kebudayaan di Indonesia karena sifat dari kebudayaan itu sendiri yang
selalu menjawab tantangan alam dan sosial pada suatu wilayah dengan
keselarasan. Kochhar (2008) menekankan pendidikan sejarah harus mampu mendorong
persatuan bangsa melalui sistesis kebudayaan yang mana, “… tekanan perlu
dilakukan pada sumbangan berbagai lapisan masyarakat dan kebudayaan serta sintesis
yang ditempa selama berabad-abad”.
Pendidikan kedamaian telah sering dibahas dan
diperjuangkan melalui berbagai disiplin ilmu. Azis (2012) menerapkan pendidikan
kedamaian di dalam pembelajran bahasa Arab melalui strategi inkulkasi nilai,
pemodelan nilai, dan memfasilitasi nilai perdamaian. Wulandari (2010)
menyarankan alternatif pendidikan kedamaian sebagai mata pelajaran sendiri,
terintegrasi dengan berbagai mata pelajaran, dan sebagai ekstrakulikuler. Iqbal
(2014) mengedepankan pendidikan agama model monoreligius, multireligius, dan
interreligius. Sedangkan Al-Hamid (2013) menggunakan pendekatan kebudayaan
masyarakat Patipi Fakfak yaitu “satu tungku tiga batu” dalam pendidikan
kedamaian antara agama di Papua.
Berikut ini penulis akan menawarkan sebuah alternatif
yaitu pendidikan sejarah kebudayaan sebagai pendidikan perdamaian. Penulis akan
membahas dari sudut tujuan, materi, waktu, dan strategi pembelajaran.
1. Tujuan pembelajaran
Pendidikan sejarah kebudayaan
sebagai pendidikan perdamaian merupakan elaborasi dari prinsip-prinsip ilmu
sejarah, ilmu pendidikan, multikulturalisme, dan pendidikan kedamaian. Tujuan
dari pendidikan sejarah kebudayaan sebagai pendidikan perdamaian adalah:
a.
Memberikan pemahaman tentang dirinya
sendiri dan kebudayaannya. à Pendidikan sejarah kebudayaan.
b.
Memberikan pengetahuan dan pemahaman
atas berbagai kebudayaan yang menyumbangkan suatu penghargaan atas nilai-nilai
dan aspirasi bersama (APNIEVE, 1999). à Pendidikan
kedamaian.
c.
Memberikan penghargaan atas
perbedaan-perbedaan kebudayaan yang ada (APNIEVE, 1999). à
Pendidikan kedamaian.
d.
Memberikan alternatif tentang strategi
menghadapi dan menyelesaikan konflik yang mungkin terjadi (Kartadinata, 2015). à
Pendidikan kedamaian.
e.
Memberikan sumbangan dari berbagai
kebudayaan bagi kokohnya pondasi persatuan nasional (Kartadinata, 2015). à
Pendidikan sejarah kebudayaan dan pendidikan kedamaian.
f.
Memberikan pemahaman tentang perubahan
dan keberlanjutan berbagai kebudayaan melalui konsep waktu, ruang, dan
masyarakat. à
Pendidikan sejarah kebudayaan.
g.
Memberikan penilaian terhadap
nilai-nilai dan hasil berbagai kebudayaan yang telah dicapai oleh generasinya. à
Pendidikan sejarah kebudayaan.
2. Materi pembelajaran
Materi pembelajaran pada pendidikan
sejarah kebudayaan sebagai pendidikan perdamaian berasal dari materi
antropologi budaya, sejarah kebudayaan, dan tradisi lisan. Materi tersebut
disampaikan secara diakronis, sinkronis, dan kritis sesuai prinsip-prinsip
sejarah tentang perubahan dan keberlanjutan di dalam masyarakat. Hal yang harus
diperhatikan terkait kebudayaan adalah tentang keberagaman kebudayaan tersebut.
Bachtiar (Kartadinata, 2015) membagi sistem budaya di Indonesia sebagai: (1)
kebudayaan kelompok etnis; (2) kebudayaan agama-agama besar; (3) kebudayaan
nasional; (4) kebudayaan asing. Pendidikan sejarah kebudayaan harus disampaikan
dengan mengakomodasi secara ilmiah unsur-unsur tersebut sesuai kronologi dan
periodisasi.
Tabel
1:
Alternatif materi sejarah kebudayaan Kal-Bar
PERIODISASI
|
KEB.
DAYAK
|
KEB.
MELAYU
|
KEB.
TIONGHOA
|
ISU-ISU
KONTEMPORER
|
KUNO
|
-
Teori-teori kedatangan orang Dayak di
Kal-Bar
-
Kebudayaan kuno
-
Makna-makna simbolis.
|
-
Teori-teori kedatangan orang Melayu di
Kal-Bar
-
Kebudayaan kuno
-
Pengaruh agama besar.
-
Makna-makna simbolis.
|
-
Teori-teori kedatangan orang Tionghoa
di Kal-Bar.
-
Kebudayaan kuno
-
Pengaruh agama besar.
-
Makna-makna simbolis.
|
-
Apakah kebudayaan asli itu?
-
Apakah ada tambang logam?
-
Pengaruh agama-agama besar?
-
Tatto, manik-manik, dll.
|
KOLONIALISASI
BANGSA BARAT
|
-
Hubungan kebudayaan antara
Dayak-Melayu-Tionghoa.
-
Pengaruh bangsa Barat.
-
Kebudayaan agama besar.
|
-
Hubungan kebudayaan antara
Dayak-Melayu-Tionghoa.
-
Pengaruh bangsa Barat.
|
-
Hubungan kebudayaan antara
Dayak-Melayu-Tionghoa.
-
Pengaruh bangsa Barat.
|
-
Perbedaan simbol-simbol memandang
bangsa Barat.
-
Pandangan bangsa Barat terhadap lokal?
|
PENDUDUKAN
MILITER JEPANG
|
-
Pengaruh kebudayaan Jepang
|
-
Pengaruh kebudayaan Jepang
|
-
Pengaruh kebudayaan Jepang
|
-
Perbedaan simbol-simbol memandang
bangsa Jepang.
-
Pandangan bangsa Jepang terhadap
lokal?
|
KEMERDEKAAN
INDONESIA
|
-
Generalisasi kebudayaan dari kuno
- sekarang.
-
Kebudayaan nasional (?)
|
-
Generalisasi kebudayaan dari kuno
- sekarang.
-
Kebudayaan nasional (?)
|
-
Generalisasi kebudayaan dari kuno
- sekarang.
-
Kebudayaan nasional (?)
|
-
Apa itu kebudayaan nasional?
-
Posisi kebudayaan lokal terhadap
nasional.
|
KONTEMPORER
|
-
Pengaruh budaya populer.
-
Masa depan kebudayaan lokal.
-
Masa depan multikulturalisme.
|
-
Pengaruh budaya populer.
-
Masa depan kebudayaan lokal.
-
Masa depan multikulturalisme.
|
-
Pengaruh budaya populer.
-
Masa depan kebudayaan lokal.
-
Masa depan multikulturalisme.
|
-
Adakah kebudayaan yang kalah dan
punah?
-
Politik kebudayaan.
|
3. Alokasi waktu
Permasalahan alokasi waktu menjadi
isu yang tidak pernah selesai dibahas oleh para pendidik praksis dalam
pengembangan kurikulum. Idealnya pendidikan sejarah kebudayaan sebagai
pendidikan kedamaian berdiri sebagai mata pelajaran sendiri seperti di perguruan
tinggi jurusan pendidikan sejarah atau dimasukkan pada mata pelajaran
pendidikan kedamaian. Namun, kebutuhan terhadap masyararakat multikultur yang
damai lebih mendesak kita.
Pendidikan sejarah kebudayaan dapat
diintegrasikan pada mata pelajaran Sejarah Indonesia sebagai latar belakang
dari pembahasan materi yang politiksentris. Pendidikan sejarah kebudayaan lokal
harus difungsikan sebagai pendukung integrasi nasional Indonesia yang bersifat
kritis dan ilmiah. Pendidik harus mampu menemukan peristiwa-peristiwa lokal
yang satu periode dengan peristiwa nasional (Hasan, 2010). Sebagai contoh, pada
pembahasan tentang kehidupan masa pra aksara di Nusantara, pendidik dapat
memasukkan juga materi sejarah kebudayaan lokal. Demikian pula pada materi
pengaruh kebudayaan India, kolonisasi Bangsa Barat, zaman kemerdekaan sampai
sekarang ini.
4. Strategi pembelajaran
Pendidikan sejarah kebudayaan
sebagai pendidikan kedamaian tidak memiliki metode pembelajaran yang khusus
karena dapat diintegrasikan dengan pembelajaran sejarah di sekolah pada
umumnya. Hal yang harus diperhatikan dalam strategi pembelajaran adalah
usaha-usaha untuk menghindarkan indoktrinasi kebudayaan demi mencegah
perbandingan kebudayaan yang menghasilkan etnosentrisme, religiosentrisme,
chauvinisme, dan bahkan relativisme.
Oleh karena itu sangat penting
untuk dipahami bahwa perbedaan kebudayaan muncul karena perbedaan geografis,
perbedaan pengalaman, dan faktor-faktor insidental lainnya. Pada pendidikan
sejarah kebudayaan pendidik dapat mengajak peserta didik untuk berpikir secara
positif tentang kemunculan suatu budaya, mengkritisinya secara ilmiah, dan
mampu menarik nilai-nilai positif yang dapat diterapkan pada kehidupan sekarang
ini.
F. Penutup
Perdamaian dan kedamaian merupakan kondisi yang
sangat layak diperjuangkan mengingat realitas Indonesia dan dunia sekarang ini
semakin ramai dengan potensi dan konflik kekerasan. Kasus kontroversial dugaan
penistaan agama oleh Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) dapat melebar menjadi
konflik agama dan etnis, yang juga berpengaruh terhadap beberapa wilayah di
Indonesia termasuk Kalimantan Barat (Kal-Bar). Sementara itu di dunia
internasional sedang “dipanaskan” dengan konflik di Timur-Tengah, Revolusi Musim
Semi di Afrika Utara dan Asia Barat, Negara Islam di Iraq dan Suriah (ISIS),
keluarnya Inggris dari Uni Eropa, dan perang dingin antara Rusia dengan NATO.
Konflik dapat berubah menjadi konflik kekerasan atau pertikaian ketika
masyarakat digerakkan oleh elit ekonomi dan politik untuk mendukung kepentingan
elit tersebut.
Konflik sendiri menurut teori interaksi simbolis
digerakkan oleh komunikasi dan interaksi simbol-simbol yang ditafsirkan
berbeda. Simbol-simbol tercipta dari penafsiran manusia yang memiliki latar
belakang kebudayaan yang beraneka-ragam. Salah satu alternatif untuk
memperjuangkan kedamaian adalah multikulturalisme. Multikulturalisme mengajak
pengikutnya untuk menghargai perbedaan kebudayaan yang ada. Perbedaan dalam
kebudayaan adalah sebuah keniscayaan karena lahirnya kebudayaan dipengaruhi
keadaan geografis, perbedaan pengalaman, dan faktor insidental lainnya.
Kebudayaan juga mengandung kearifan dan
kebijaksanaan lokal yang bisa digunakan untuk mengatasi tantangan lingkungan
alam dan sosial di suatu wilayah. Tradisi bahuma,
nunu, pamabakng, probasa, dan nokut adalah beberapa tradisi kebudayaan
di Kal-Bar yang mengatur keselarasan hubungan manusia denga lingkungan alam dan
sosial. Bahkan jika masyarakat dan pemerintah mau belajar dan menggunakan
kearifan kebudayaan lokal, maka konflik-konflik kekerasan yang pernah terjadi
di Kal-Bar seharusnya tidak terjadi.
Pendidikan sejarah kebudayaan sebagai pendidikan
kedamaian merupakan alternatif usaha untuk memnghadirkan kondisi damai di
masyarakat. Penerapan model pendidikan ini dapat dintegrasikan ke dalam mata
pelajaran Sejarah Indonesia yang sudah ada dengan memperhatikan beberapa hal
khusus pada strategi pembelajaran. Dengan pendidikan sejarah kebudayaan sebagai
pendidikan kedamaian diharapkan kedamaian yang berkualitas di Indonesia memang
segera terjadi.
DAFTAR
BACAAN
A. Buku dan Jurnal
Al-Hamid, Idrus. Dkk. (2013). Islam Politik di
Papua: Resistensi dan Tantangan Membangun Pendidikan Perdamaian. Jabal Hikmah, Vol 2 No 1, 41-55.
APNIEVE. (1999). Belajar Hidup Bersama Dalam Damai
dan Harmoni. Univeristas Pendidikan Indonesia: Bandung
Azis, Abdul. (2012). Pengintegrasian Nilai
Perdamaian Dalam Pembelajaran Bahasa Arab. Shautut
Tarbiyah, 12-28.
Bamba, John (ed). (2008). Keberagaman Subsuku dan
Bahasa Dayak. Institut Dayakologi: Pontianak.
Hasan, Said H. (2010). Pendidikan Sejarah: Ke Mana
dan Bagaimana?. Seminar Asosiasi Guru
Sejarah Indonesia (AGSI), Jakarta 6 Maret 2010.
Iqbal, Mahathir M. (2014). Pendidikan Multikultural
Interreligius: Upaya Menyemai Perdamaian Dalam Heterogenitas Agama Perspektif
Indonesia. Sosio Didaktika, Vol 1 No
1, 91-98.
Kartadinata, Sunaryo. Dkk. (2015). Pendidikan
Kedamaian. PT Remaja Rosdakarya: Bandung.
Kochhar, SK. (2008). Pembelajaran Sejarah. Grasindo:
Jakarta.
Maunati, Yekti. (2004). Identitas Dayak. LkiS:
Yogyakarta.
Poloma, Margaret M. (2010). Sosiologi Kontemporer.
PT Raja Grafindo Persada: Jakarta.
Raho, Bernard. (2007). Teori Sosiologi Modern.
Prestasi Pustaka: Jakarta.
Riwut, Tjilik. (2003). Maneser Panatau Tatu Huang:
Menyelami Kekayaan Leluhur. Pusakalima: Palangkaraya.
Vinco, Mitchel. (2009). Kebijakan Pemerintah
Republik Indonesia Terhadap PGRS/PARAKU di Kalimantan Barat 1963-1967. (skripsi
tidak dipublikasikan). Universitas Sanata Dharma: Yogyakarta.
Wulandari, Taat. (2010). Menciptakan Perdamaian
Melalui Pendidikan Perdamaian Di Sekolah. Mozaik,
Vol V No 1, 68-83.
B. Nara sumber
YK (67 tahun). Seorang pria berasal dari
sub kelompok etnis Dayak Tamambaloh. Pembicaraan dilakukan dengan waktu yang
tidak teratur pada tahun 2015.
TH (34 tahun). Seorang pria, seniman
etnis, memiliki ayah dari sub kelompok Etnis Dayak Tamambaloh dan ibu dari suk
kelompok etnis Dayak Jangkang. Wawancara dilakukan pada 24 November 2016 pukul
18-21 WIB.
LH (27 tahun). Seorang pria, guru
sejarah, berasal dari sub kelompok Etnis Dayak Kanayatn (Ahe). Wawancara
dilakukan pada 24 November pukul 17 WIB dan 25 November pukul 5 WIB.
Oleh:
Mitchel Vinco[1]
[1] S2 Pendidikan Sejarah
Universitas Pendidikan Indonesia Bandung (2016-…), alumnus S1 Pendidikan
Sejarah Universitas Sanata Dharma Yogyakarta (2004-2009), alumnus Eagle
Institute Indonesia (Metro TV) (2011), guru sejarah: SMA Santo Petrus
(2009-2010); SMA Gembala Baik (2011-2014); SMA Santo Paulus (2011-2016)
Pontianak- KalBar. Email: kamudaponti@gmail.com. Blog: kamudaponti.blogspot.com.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar